Literasi Sebagai Gaya Hidup

Februari 15, 2019

Ngainun Naim
 
Bersama para anggota SPK
Awalnya hanyalah sebuah keinginan pribadi saya. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, saya mengambil sebuah keputusan yang sifatnya nekat, lalu melangkah. Jadilah Kopdar Sahabat Pena Kita berlangsung di IAIN Tulungagung pada tanggal 27 Januari 2019.
Sahabat Pena Kita (SPK) adalah organisasi para penulis. Anggotanya sangat beragam, mulai beragam pendidikan, latar belakang, hingga beragam tempat tinggal. Tetapi kami dipersatukan oleh satu hal, yaitu niat membangun dunia literasi sehingga bisa memberikan manfaat kepada anggota dan masyarakat luas. Saya kebetulan menjadi anggota organisasi ini.
Mendapatkan hadiah buku dari Dosen UNS, Agung Nugroho SC, M.Sc.

Kenekatan saya untuk menyelenggarakan Kopdar SPK di IAIN Tulungagung dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, Tulungagung belum pernah menjadi tempat Kopdar SPK (maupun SPN). Kondisinya berbeda dengan Surabaya, Malang, Bondowoso, atau Yogyakarta. Karena itu saya sangat berharap jika dilaksanakan di Tulungagung maka Kopdar SPK Kedua akan menjadi momentum yang sangat berharga. Tidak hanya buat anggota SPK, tetapi juga buat keluarga besar IAIN Tulungagung dan warga Tulungagung yang lainnya.
Kedua, di arena kopdar saya membayangkan akan berkumpul para penulis dari berbagai wilayah. Kehadiran mereka, saya kira bukan hanya sebatas kehadiran secara fisik semata. Mereka bisa memberikan inspirasi kepada para peserta seminar yang hadir. Penulis itu bisa membangun imajinasi pembacanya. Dan kopdar adalah sarana verifikasi imajinasi yang telah terbangun.
Ketiga, anggota SPK memiliki tingkat keragaman. Sebagian besar dari anggota SPK belum pernah mengunjungi “Kampus Dakwah dan Peradaban” IAIN Tulungagung. Karena itu, SPK adalah media yang bagus untuk mengenalkan para anggota SPK terhadap IAIN Tulungagung. Kehadiran para penulis itu—menurut saya—sangat penting artinya bagi IAIN Tulungagung. Penulis memiliki peranan penting dalam memperkenalkan IAIN Tulungagung kepada masyarakat luas. Lewat tulisan mereka, IAIN Tulungagung akan lebih dikenal luas oleh masyarakat.
Rektor IAIN Tulungagung, Dr. Maftukhin, M.Ag saat memberikan sambutan

Setelah IAIN Tulungagung ditunjuk secara resmi sebagai tempat dilaksanakannya Kopdar, saya membentuk panitia lokal. Tentu, orang pertama yang saya hubungi adalah Dr. Eni Setyowati, Kajur Biologi IAIN Tulungagung yang juga anggota SPK. Nama lain yang saya ajak menjadi panitia adalah Ahmad Mustamsikin, Ahmad Fahrudin, dan Eka Sutarmi. Mereka bertiga adalah anggota SPK yang kebetulan dulunya pernah menjadi mahasiswa saya. Peran total seluruh panitia sungguh sangat berarti bagi suksesnya acara.
Alhamdulillah, acara akhirnya betul-betul terlaksana. Saya sangat bahagia dengan berbagai respon yang diberikan oleh para peserta. Ruang pertemuan Rektorat Lantai 3 IAIN Tulungagung penuh sesak oleh peserta. Tidak kurang dari 200 orang hadir dan menyimak secara antusias acara demi acara.
Sebagai Ketua Panitia Kopdar, saya merasa bahagia tidak terkira. Kesuksesan acara tidak lepas dari dukungan semua pihak. Tanpa mereka, saya bukan apa-apa. Saya juga bukan siapa-siapa. 
Dari kiri ke kanan: 1. Haidar Musyafa; 2. Yayan bin Mansur; 3. Gunarto. 4. Syahrul Al-Makassari. 5. KH Masruri Abdul Muhid. Dan 6. Febri Suprapto.

Kini, Kopdar SPK di IAIN Tulungagung telah usai. Saya ingin merefleksikan apa yang selama ini saya lakukan berkaitan dengan dunia literasi. Refleksi ini penting sebagai media muhasabah sekaligus sebagai titik pijak untuk membangun langkah berikutnya secara lebih strategis.
Mimpi. Mungkin ini kata yang bisa mewakili jejak keterlibatan saya dengan dunia literasi. Awalnya adalah keinginan untuk membangun iklim literasi di kampus tempat saya bekerja, STAIN Tulungagung yang kini bertransformasi menjadi IAIN Tulungagung. Sepulang studi di UIN Sunan Kalijaga, saya bermimpi untuk membangun iklim literasi sebagaimana kampus UIN Sunan Kalijaga. Tentu bukan hal mudah. Bergerak. Terantuk. Jatuh. Dan mencoba untuk bangkit kembali.
Mungkin ungkapan Gola Gong di buku yang ditulisnya, Menggenggam Dunia, Bukuku Hatiku: Catatan Seorang Avonturir, (Bandung: Dar!, 2006) berikut ini bisa mewakili bagaimana perjuangan membangun literasi itu. Ia menulis, “Mimpi adalah semacam rangsangan hebat untuk menuju kesuksesan. Atau juga, mimpi adalah kesuksesan yang tertunda. Percayalah, dengan berusaha dan berdoa, tinggal menunggu waktu saja; kesuksesan pasti akan kita raih” (h. 87-88).
Bersama narasumber: Yusri Fajar dan Wawan Susetya

Saya kira kini saya sedang berusaha dan terus berdoa. Belum sampai pada taraf sukses. Setidaknya kini saya bisa bercerita bahwa di kampus tempat saya bekerja, iklim literasi sudah cukup lumayan kondisinya. Semakin hari semakin banyak dosen yang menulis dan menerbitkan karyanya. Mahasiswa juga semakin banyak yang berkarya dan menjadi juara dalam berbagai perlombaan. Kelompok-kelompok studi tumbuh subur dengan hasil-hasil tulisannya yang semakin intensif dipublikasikan.
Apakah saya puas? Tentu belum. Apa yang sekarang telah berkembang sesungguhnya sudah cukup menggembirakan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika di Tulungagung bisa tumbuh iklim literasi seperti sekarang ini. Tradisi menulis semakin berkembang. Tradisi menerbitkan buku juga cukup menggairahkan. Bagaimana dengan tradisi membaca?
Saya belum tahu secara pasti. Tetapi setidaknya lewat buku-buku yang semakin banyak diterbitkan oleh warga IAIN Tulungagung diharapkan khazanah kehidupan semakin kaya. Lagi-lagi saya ingin meminjam ungkapan Gola Gong. Ia menulis, “Buku adalah pintu menuju hal-hal baru, yang akan membelit tubuh dan jiwa kita begitu memasukinya. Buku juga jendela. Dari keempat sisinya, kita bisa menjelajah ke negeri impian dan menjadikan kita berpikir cerdas, kritis, serta membangun rasa percaya diri” (h. 249).
Bersama anggota SPK di Hotel Surakarta Tulungagung

Senada dengan Gola Gong, Hernowo lewat karya monumentalnya, Mengikat Makna Update, Membaca dan Menulis yang Memberdayakan, (Bandung: Kaifa, 2009) menyatakan bahwa:
Membaca bukan sekadar membuat diri kita kaya akan pengetahuan. Membaca juga bukan sekadar meluaskan wawasan kita. Bahkan membaca tidak harus berhenti hanya untuk keperluan studi, misalnya, membuat skripsi atau karya tulis ilmiah yang lain. membaca lebih dari itu. Membaca, seperti kata Iqbal, menjadikan diri kita sebagai “tenaga kreatif, ruh yang membubung tinggi, yang dalam bergerak maju, bangkit dari satu keadaan menuju keadaan yang lain”. atau membaca akan membuat diri kita, sebagai manusia, dapat “menyelidiki kebenaran” (h. 94).

Literasi tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Harus ada inisiatif untuk mengenalkan dan terus menyuarakannya. Tanpa upaya ini, literasi sebatas wacana. Riuh berbicara literasi, tetapi tidak membaca dan menulis. Kampanye tentang pentingnya membaca-menulis, tetapi aktivisnya sendiri jarang membaca, apalagi memiliki karya. Tentu ini merupakan sebuah kenaifan.
Literasi akan tersemai melalui proses yang panjang dan berkelanjutan. Aspek ini yang saya garis bawahi selama ini. Ya, proses dan berkelanjutan. Tidak ada yang instan dalam literasi. Kata Peng Kheng Sun dalam buku Succes Through Reading & Writing (2013: 154), hasil membaca-menulis itu baru bisa dinikmati setelah kita membaca ratusan buku dan menulis puluhan buku. Sebelum kita menjalani kemampuan menikmati hasil, kita harus menjalani proses.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan Peng Kheng Sun. Mungkin saja tidak harus ratusan buku dan puluhan buku. Tetapi saya setuju sepenuhnya bahwa literasi itu membutuhkan proses, ketekunan, dan kesabaran menjalaninya. Aspek inilah yang harus terus diperjuangkan agar literasi tidak mati.
Agung Nugroho di Pintu Gerbang IAIN Tulungagung

Kopdar SPK, saya kira, memiliki konteks makna dan manfaat yang sangat luas. Buat IAIN Tulungagung, masyarakat yang hadir di acara, juga buat SPK sendiri. Acara tersebut adalah bagian dari upaya untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas terkait dunia literasi secara umum. Juga sebagai upaya menumbuhkembangkan literasi dalam konteks dan makna yang luas. Tentu akan luar biasa jika suatu saat nanti literasi bisa menjadi gaya hidup. 

Mungkinkah? Segalanya mungkin asal dibangun dengan sepenuh jiwa dan secara konsisten. Semoga.

Tulungagung, 15-2-2019

3 komentar:

  1. Sudah berubah dari Sahabat Pena Nusantara jadi sahabat Pena Kita ya pak?

    BalasHapus
  2. Menulis memang memerlukan ekosistem yang baik, saling belajar, saling memberi dan saling menguatkan. Terutama yang sedang belajar, banyak kesibukan dan hidupnya dirimbuni masalah.😀👍

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.