SEKARANG MENULIS, NANTI DITULIS

April 18, 2020

Ngainun Naim


Work From Home (WFH) karena wabah Corona membuat saya memiliki waktu bersama keluarga yang sangat melimpah. Sungguh ini merupakan hikmah luar biasa yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ketika kondisi normal, saya relatif sibuk. Istri juga begitu. Anak yang sulung juga sibuk sekolah. Sangat jarang kami memiliki waktu untuk bersama, kecuali pada hari minggu.
Sekarang ini nyaris setiap hari kami bersama. Memang tidak setiap hari sepenuhnya karena saya harus piket pada hari tertentu. Demikian juga dengan istri. Tetapi volume piket tidak sebanyak waktu ketika keadaan normal.
Kami berusaha menikmati keadaan sekarang ini. WFH yang berlangsung nyaris sebulan ini sudah mulai menimbulkan titik jenuh. Saya juga mengamati orang semakin kurang peduli dengan wabah ini. Tempat-tempat juga mulai ramai. Orang berkerumpul mulai banyak ditemukan. Entahlah, tampaknya orang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Orang juga jenuh dengan tanpa aktivitas yang memadai.
Saat WFH semacam ini saya lebih sering bekerja—mengajar daring dan menulis—dari teras rumah. Di teras ini suasana cukup cerah. Saya bisa melihat halaman dan juga lalu lalang orang yang lewat gang depan rumah. Kadang saya menemani anak main bola atau berlarian.
Suasana semacam ini sungguh sangat berharga. Relasi kami sebagai orang tua dengan anak-anak semakin dekat. Sebuah kondisi yang rasanya agak sulit kami peroleh kalau tidak ada wabah Corona.
Siapa pun tidak ada yang menyukai situasi semacam ini. Sekarang ini mulai muncul kerinduan untuk kembali ke keadaan normal. Rindu berangkat kerja di pagi hari. Rindu bertemu rekan kerja. Rindu bepergian. Dan rindu melakukan aktivitas apa pun sebagaimana biasa dilakukan sebelum “negara api menyerang”.
Jumat siang (17 April 2020) sekitar pukul 10.00 tiba-tiba tukang pos datang. Sangat jarang saya menerima paket dengan alamat rumah. Biasanya paket saya alamatkan di kantor. Namun dalam kondisi WFH sekarang ini, paket—rata-rata buku—saya alamatkan ke rumah. Kalau saya alamatkan ke kantor berarti harus menunggu seminggu karena jadwal piket saya memang seminggu sekali. Kebijakan pimpinan, pegawai yang tinggalnya di luar kabupaten jadwal piket hanya seminggu sekali. Sementara yang dalam satu kabupaten seminggu dua kali.
Saya lihat paket bersampul putih. Tertulis nama pengirimnya: Abd. Azis Tata Pangarsa. Ya, saya langsung tahu isinya. Buku antologi mengenang kepergian sahabat kami, Dr. H. M. Taufiqi, S.P., M.Pd. Saya kebetulan memang menyumbang tulisan di buku yang diedit doktor muda dari Malang, Abd. Azis Tata Pangarsa. Buku ini ditulis dalam rangka mengenang kepergian beliau.
Para penulis buku ini adalah anggota Sahabat Pena Kita. Ini merupakan organisasi para penulis yang berbasis WhatApps. Dr. H. M. Taufiqi, S.P., M.Pd. adalah inisiator sekaligus penasihat organisasi ini. Beliau berjuang sepenuh jiwa agar SPK terus tumbuh dan berkembang sehingga bisa memberikan kontribusi bagi semakin suburnya budaya literasi di Indonesia.
Literasi itu identik dengan membaca dan menulis. Saat salah seorang penasihat SPK tersebut berpulang maka mengabadikannya dalam tulisan merupakan sebuah keharusan. Bagaimana pun juga, menuliskan kenangan tentang seseorang yang berjasa besar dalam perjalanan SPK adalah perwujudan spirit literasi dalam makna yang sesungguhnya.
Ada 22 orang yang memberikan sumbangan tulisan di buku ini. Masing-masing penulis memberikan kesaksian bahwa Mr. Vicky atau Kiai Vicky—sapaan akrab Dr. H. M. Taufiqi, S.P., M.Pd—adalah orang baik. Tulisan demi tulisan di buku ini menuliskan kesan kebajikan yang ditanamkan Mr. Vicky. Tentu saja, kesan dan ingatan serta kenangan masing-masing penulis sifatnya personal. Memang ada persentuhannya dengan anggota lainnya, tetapi karakter personalitasnya tidak hilang.
Buku antologi ini saya khatamkan hanya dalam beberapa jam setelah buku ini saya terima. Tetiba terlintas dalam pikiran saya bahwa sekarang saya memang menulis di buku ini. Suatu saat saya ingin ditulis sebagaimana Mr. Vicky. Saya ingin dikenang sebagai orang baik, sebagai orang yang menebar kebajikan.
Kematian itu pasti. Hanya soal waktu saja. Kata Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, kematian bukan akhir kehidupan. Ia adalah etape dalam tahapan kehidupan. Justru karena itulah diperlukan persiapan dalam menghadapinya. Caranya adalah dengan beribadah sebaik mungkin.
Ibadah itu maknanya luas. Selain ibadah ritual, menebar kebajikan dalam bentuk tulisan juga merupakan ibadah. Karena itulah maka mari membudayakan menulis. Mari terus menulis, sesederhana apa pun tulisan kita. Tidak perlu malu. Justru seharusnya kita malu kalau tidak menulis. Kalau hari ini kita tidak menulis, kecil kemungkinannya suatu saat kita akan ditulis.

Trenggalek, 17 April 2020.
Ditulis secara ngemil sejak pagi. Selesai jam 21.35.

14 komentar:

  1. Ketika anda berfikir anda mnulis. Ktik anda mnulis anda berfikir. Good

    BalasHapus
  2. Awal menulis memang bingung dalam penyusunan kata-katanya namun seiring berjalannya waktu kebingungan itu perlahan hilang dan di ganti dengan kemudahan dan keasyikan menulis.
    Terimakasih Bapak Dr. Ngainun Naim ilmunya.

    BalasHapus
  3. menulislah setiap harilalu perhatikan apa yg terjadi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Omjay. Spirit Omjay sungguh luar biasa.

      Hapus
  4. Setelah berminggu2 WFH emg mulai terasa bosan dan mengganggu ya maka kita rindu kehdupan normal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya kira wajar. Meskipun demikian, kita tetap harus menjalani WFH secara produktif, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

      Hapus
  5. Ternyata salah satu manfaat dari WfH itu bisa menuntaskan buku bacaan pak hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayanlah walaupun tentunya belum maksimal.

      Hapus
  6. Terimakasih Pak ..sangat mengispirasi🙏

    BalasHapus
  7. Menulis dan menulis, barang siapa istoqomah menulis suatu saat nanti kan menikmati berkahnya menulis. Bahkan tak harus menunggu nanti, saat itu juga.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.