Mau dan Mampu Menulis

Agustus 13, 2020

 Ngainun Naim

 

Sebuah tayangan via akun YouTube tentang strategi menulis artikel jurnal internasional memiliki penonton yang sangat banyak. Setiap kali acara tersebut tayang, pemirsa selalu aktif mendengarkan paparan demi paparan. Diskusi pun berlangsung secara produktif.

Program menulis berbayar yang diselenggarakan sebuah Lembaga diikuti puluhan peserta. Kontribusinya sesungguhnya tidak murah tetapi ternyata tetap ada peminatnya. Tentu ini merupakan fenomena menarik di tengah membanjirnya kegiatan sejenis yang diselenggarakan secara gratis.

Seseorang mengirimkan pesan WA ke HP saya agar dimasukkan ke grup menulis. Tiga persyaratan harus dipenuhi, yaitu memiliki blog, siap mengisi blog minimal seminggu sekali, dan membayar kontribusi rutin sebulan Rp. 25.000. Persyaratan tersebut siap dipenuhi dan masuklah si pengirim pesan ke grup WA kepenulisan.

Tiga paragraf di atas menjelaskan tentang satu hal, yaitu MAU. Ya, mereka yang bergabung dalam acara demi acara di atas adalah orang-orang yang “mau” dalam menulis. Artinya, mereka memiliki keinginan untuk bisa menulis. Tentu ini harus diapresiasi karena “mau” mereka tidak hanya berhenti sebatas “mau”, tetapi ditindaklanjuti menjadi aksi. Tidak sedikit orang yang “mau” menulis tetapi malu, takut, tidak berani, dan sejuta alasan lainnya sehingga “mau” itu sebatas sebagai “mau” yang berhenti di dalam pikiran.

Keberanian untuk bergabung dalam acara di YouTube, Webinar, ikut kelas menulis, atau ikut bergabung dengan komunitas menulis di WA merupakan langkah maju yang sangat berharga dalam proses menulis. Lewat langkah tersebut diharapkan mereka bergerak selangkah lagi untuk mewujudkan “mampu” dalam menulis.

“Mau” tanpa tindak lanjut dalam tindakan hanya sebatas angan-angan. Saat ikut webinar, misalnya, keinginan menulis begitu menggembu-gebu. Tetapi keinginan itu perlahan mundur teratur saat menghadapi sulitnya praktik menulis. Indahnya paparan pemateri tak seindah saat dipraktikkan dalam aksi.

Jika ada yang bilang bahwa menulis itu mudah itu sesungguhnya bisa benar, bisa juga salah. Benar bagi orang yang terbiasa dan memiliki kemampuan mengurai topik. Tapi bagi yang tidak pernah atau jarang menulis bisa pusing tujuh kelililing. Maka “mau” yang diikuti dengan latihan secara terus-menerus adalah langkah untuk “mampu” menulis. Perpaduan antara “mau” dan “mampu” adalah perpaduan ideal dalam menulis.

Ada juga orang yang sesungguhnya “mampu” tetapi tidak “mau” menulis. Misalnya kisah seorang penulis yang pernah merajai media massa pada tahun 1990-an. Kini namanya hilang bak ditelan bumi. Tidak ada lagi karyanya yang muncul. Rupanya ia telah meninggalkan dunia menulis. Dunia menulis sudah menjadi masa lalunya.

Sesungguhnya di sekitar kita—atau jangan-jangan Anda juga—banyak yang “mampu” untuk menulis. Namun karena satu dan lain hal tidak juga menulis. Ada saja alasan pembenar untuk tidak menulis. Alasan yang cukup dominan adalah: pertama, alasan psikologis. Malu, takut, kuatir, dan segenap keluhan psikologis lain menjadi penghambat untuk mengeksplorasi “mampu” dalam aksi. Akibatnya, “mampu” pun tidak bergerak menjadi “mau”.

Kedua, kesibukan. Ini alasan yang juga cukup banyak terdengar. Padahal kalaupun sedang tidak sibuk ternyata juga tidak menulis. Sejuta alasan bisa dicari tetapi satu tindakan akan lebih berarti. Jika alasan terus dicari maka tulisan tidak akan pernah jadi.

Ketiga, merasa tidak berbakat. Mereka yang berpendapat semacam ini melihat hanya orang-orang yang mendapatkan anugerah Allah saja yang bisa merengkuhnya. Padahal, anugerah itu bisa taken for granted, tetapi bisa juga berupa potensi. Usaha-usaha yang dilakukan secara aktif, kreatif, dan konsisten juga merupakan aktualisasi anugerah.

Ada banyak lagi alasan yang bisa didaftar. Muaranya sesungguhnya satu, yaitu “mampu” menulis tetapi tidak juga “mau” menulis. Sebuah perpaduan yang sesungguhnya tidak ideal.

Perpaduan terparah ada pada level ketiga, yaitu “tidak mau” dan “tidak mampu”. Ini perpaduan yang melengkapi tidak bergeraknya kreativitas. Tentu kita harus memaklumi karena tidak semua orang itu sama. Persoalannya, kondisi semacam ini juga melanda dunia pendidikan yang seharusnya menumbuhkembangkan tradisi literasi. Kemajuan, apa pun bentuknya dan di mana pun adanya, semuanya berbasis tradisi literasi. Karena itulah mari membangun “mau” dan “mampu” agar bisa menghasilkan karya. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, terus siapa lagi?.

 

Trenggalek, 13 Agustus 2020

32 komentar:

  1. Terima kasih pencerahannya pak. Memang "mau" dan "mampu" harus jadi bukti nyata tidak hanya sebatas angan-angan.

    BalasHapus
  2. Keren . . .
    Mau . . .
    Mampu . . .
    Malas . . . Juga harus ada pak. He he he ...

    Salam literasi
    Dari Flobamora
    Nusa Tenggara Timur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam Bu. NTT luar biasa. Semoga saya bisa ke sana lagi. Ini catatan saya saat ke NTT awal tahun lalu. https://ngainun-naim.blogspot.com/2020/02/senja-di-pantai-warna-oesapa.html

      Hapus
  3. Betul banget pak, kunci utama untuk mencapai sesuatu adalah mau dan ada kemauan untuk menggelutinya.

    BalasHapus
  4. Merasa dicubit dengan tulisan ini Pak. Saya masih sering berdalih keteteran mencari waktu untuk menulis, padahal sebenarnya saya yang belum mampu mengolah waktu dengan baik. Terimakasih untuk nutrisinya Pak..

    BalasHapus
  5. Terima kasih Prof atas pencerahannya

    BalasHapus
  6. Aku mau dan mampu dengan syarat menulislah. Terima kasih Pak Naim

    BalasHapus
  7. Kalau ada mau berarti harusnya ada usaha

    Terima kasih motivasinya pak dosen...

    BalasHapus
  8. Siap pa doktor... Menginspirasi bangetts

    BalasHapus
  9. Semoga berjalan seiring, kemampuan dan kemauan

    BalasHapus
  10. Jika ada kemauan dan mampu merealisasikan, maka pasti bisa. Apapun itu, termasuk menulis. Thanks, pak.

    BalasHapus
  11. Terimakasih pak... Menginspirasi untuk terus berlatih dalam menulis...🙏

    BalasHapus
  12. Pasangan ideal 'mau' dan 'mampu' dalam menulis. Terimakasih prof untuk spirit dan energi untuk istikomah menulis.

    BalasHapus
  13. Joss pa Dr. Ngainun..salut. Tak henti2nya memotivasi untuk menulis..👍👍

    BalasHapus
  14. Terimakasih prof..semoga saya bisa terus menulis

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.