Aku, Pesantren, dan Dunia Buku
Dunia pesantren telah menjadi bagian tidak terpisah dari perjalanan hidupku. Meskipun masa belajar di pesantren hanya tiga tahun, tetapi pengaruhnya sangat kuat. Bahkan hingga hari ini, aku masih merasakan resonansi pesantren dalam diriku. Sesungguhnya aku sangat sadar bahwa apa yang kuperoleh—ilmu, kearifan, dan tingkah laku—masih jauh dari harapan. Aku belum mampu mereguk dan menerapkan secara maksimal apa yang kuperoleh dari pesantren dalam kehidupan sehari-hari.
Justru karena itulah aku harus terus belajar. Tanpa belajar, aku menjadi beku. Mungkin juga terjangkiti sindrom sombong.
Ada banyak cara belajar. Cara yang paling efektif untuk belajar—menurutku—adalah dengan membaca buku. Ya, membaca buku adalah cara belajar yang harus terus dirawat dan dikelola secara baik. Dalam tujuan terus belajar inilah, buku demi buku aku beli. Aku berusaha menyisihkan uang khusus untuk membeli buku. Setiap ada kesempatan, aku berusaha membaca buku yang memang sengaja aku usahakan dekat dengan diriku.
Aktivitas sehari-hari yang tidak jarang padat merayap memang membatasi kesempatan mereguk ilmu dari deretan kata dan kalimat di buku. Tetapi tidak mengapa. Aku akan terus berusaha belajar. Sepanjang masih ada kesempatan, aku ingin memanfaatkannya dengan belajar. Bagiku, itu lebih baik daripada tidak melakukannya. Menanti waktu senggang dan memanfaatkannya khusus untuk membaca juga semakin mahal dan sulit kutemukan.
Aku mencintai membaca karena pengaruh—antara lain—guru dan kiaiku di pesantren. Tiga tahun belajar di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang (1991-1994) memberiku pembelajaran dan inspirasi literasi tak bertepi. Beberapa kiai dan guru adalah role model belajar yang tidak tertandingi. Mereka terus saja membaca di sela-sela aktivitas mengajar dan aktivitas lainnya yang sangat padat. Sebagai santri aku acapkali menyaksikan atau mendengar cerita kawan tentang bagaimana kiai dan ustad yang gigih dalam belajar. Informasi semacam ini telah menginjeksi spirit meniru yang sangat besar.
Di pesantren tempatku belajar, ada banyak legenda hidup dalam hal membaca. Kisah keakraban beliau-beliau dengan dunia buku berkembang menjadi cerita yang nyaris menjadi mitos. Beberapa dari kami menyaksikan sendiri bagaimana beliau-beliau membaca. Gigih. Getol. Tak kenal lelah. Hal itu diperkuat dengan keluasan wawasan beliau-beliau saat mengajar kami. Keluasan wawasan adalah buah membaca yang sesungguhnya. Bagi kami para santri, realitas semacam itu menjadi spirit keteladanan yang sungguh luar biasa.
Aku akan menyebut tiga figur sebagai eksemplar. Bukan berarti tidak ada yang lainnya. Banyak, bahkan sangat banyak. Tiga yang aku sebut ini hanya ingin meneguhkan bahwa beliau-beliau adalah representasi dunia membaca yang pengaruhnya sangat luar biasa, termasuk kepada diriku.
Figur pertama yang harus aku sebut adalah K.H. A. Aziz Masyhuri. Aku kira hampir semua kalangan pesantren di Indonesia mengetahui bahwa beliau adalah orang alim. Ya, beliau memang kiai yang cukup terkenal. Karya tulisnya sampai beliau wafat konon lebih dari 200 judul.
Produktivitas beliau dalam menulis ditunjang oleh tradisi membaca yang sangat kuat. Para santri menjadi saksi bagaimana beliau gigih membaca dan menulis. Jika tidak ada agenda keluar kota, seusai ngaji di malam hari, beliau masuk kamar kerja. Membaca dan menulis. Kami para santri mengetahuinya dari luar. Lampu kamar beliau yang menyala adalah penanda bahwa beliau sedang kusyuk membaca-menulis. Dan itu berlangsung hingga jauh malam. Tidak jarang hingga pagi menjelang.
Figur lain yang juga sangat menginspirasi adalah K.H. Wazir Ali. Kakak kandung Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag ini juga pembaca kitab dan buku yang tangguh. Ndalem beliau penuh sesak dengan kitab-kitab klasik dan buku-buku kontemporer. Saat senggang, beliau membaca di teras ndalem. Kami para santri yang menjadi saksinya.
Tradisi membaca yang beliau miliki menjadikan beliau memiliki khazanah pengetahuan yang luas tak bertepi. Saat ngaji Fathul Mu’in, penjelasan beliau sungguh sangat luas. Beliau mampu menkontekskan apa yang tertuang dalam teks klasik tersebut dengan realitas dan pemikiran kontemporer.
Sosok ketiga yang sangat besar pengaruhnya pada kecintaanku pada dunia membaca adalah Ustad Romli Ilyas. Beliau memang tidak pernah mengajarku di kelas. Saat itu beliau menjadi guru di sekolah lain. Tapi pada sore harinya beliau mengajar kitab kuning di madrasah diniyah pondok.
Aspek yang melekat kuat dalam ingatan adalah kebiasaan Ustad Romli yang menenteng beberapa buku saat mengajar. Buku-buku itu akan beliau baca saat senggang atau saat ada kesempatan. Tradisi membaca yang beliau lakukan membawa implikasi pada luasnya wawasan yang beliau miliki. Rasanya sangat bangga melihat beliau ke mana-mana menenteng buku dan membacanya saat istirahat. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa.
Catatan sederhana ingin menegaskan bahwa dunia pesantren telah memberiku inspirasi tak bertepi tentang dunia literasi. Figur-figur kiai dan ustad banyak memberikan inspirasi tentang bagaimana menekuni dunia membaca-menulis. Semua ini akan semakin kuat jika tidak berlangsung secara alami, tetapi didesain sebagai sebuah sistem. Pada gilirannya, peradaban yang kokoh bisa lahir dari dunia pesantren. Semoga.
Ngainun Naim lahir di Tulungagung pada 19 Juli 1975. Sehari-hari menjadi pengajar di IAIN Tulungagung. Aktif menulis buku dan melakukan penelitian. Beberapa buku karyanya yang telah terbit adalah Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), The Power of Reading (2013), Islam dan Pluralisme Agama (2014), Teologi Kerukunan (2011). Buku bersama, baik sebagai editor maupun memberikan kata pengantar yang terbit tahun 2017 adalah Inspirasi dari Ruang Kuliah (Kata Pengantar), Resolusi Menulis (Editor), IAIN Tulungagung, Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban (Editor), Perjuangan Memberdayakan Masyarakat, Catatan Dosen IAIN Tulungagung (Editor), dan Aku, Buku dan Membaca (Editor). Penulis bisa dihubungi di Nomor WA 081311124546, atau email: naimmas22@gmail.com
Subhanallloh sangat menyentuh banget tulisannya.. Tulisan ini memberikan semangat bagi santri untuk literasi
BalasHapusTerima kasih
HapusSangat inspiratif pak Naim, semoga bisa menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
BalasHapusAmin.
HapusMasya Allah..inspiratif Pak..
BalasHapusTerima kasih
HapusSaya juga menjadi saksi bahwa beliau bertiga sangat menekuni dunia baca... Alhamdulillah selama tiga tahun saya pernah di ajar oleh beliau..kyai aziz mengajar fiqh ,kyai wazir qowaidul fiqhiyah dan ust romli spesial dengan pelajaran faroid
BalasHapusPesantren merupakan tempat yang cocok untuk mendalami dan mempertajam keilmuan dengan sangat baik. Serta bimbingan para Kyai yang telah bersanad sampai Rasulullah..
BalasHapusSemoga tetap konsisten dalam membaca dan menulis serta membumikan literasi..
Inspiratif Prof.
Terima kasih
HapusSubhanallah ... Sucses selalu, menunggu karya berikutnya mas. Bisa jadi tambahan sebuah buku referensi ttg pesantren
BalasHapusTerima kasih Mbak
HapusSemoga Sehat selalu dan terus menjadi inspirator bagi semua
BalasHapusAmin
HapusTrimakasih pak, motifasi penyemangat jiwa jiwa yang tertidur ini dan ilmu panjenegan selalu di nanti serta keteladanan yang baik.
BalasHapusAmin
HapusSantri yang paling beruntung adalah bertemu dengan ustadz yang hebat
BalasHapusBetul sekali Pak KS
HapusMembumikan literasi di Pesantren.Inspiratif, pak. Thanks.
BalasHapusTerima kasih Bu.
HapusSubhanallah..cerita bapak sungguh menginspirasi dan sangat memotivasi..terimakasih pak
BalasHapusSama-sama
HapusSelalu hbt dalam ulasan tulisan bapak. Teori n lapangan diramu jadi tesis baru
BalasHapusTerima kasih Pak Dail
HapusMantap
BalasHapusMasya Allah sgt inspiratif Gus
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusInspiratif prof
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusSangat menginspirasi kita. Smg genesari penuerus bisa meneladani. Aamiin Yra
BalasHapuskISAHNYA SANGAT LUAR BIASA DALAM LITERASI MEMBACA BUKU. Mohon izin saya muat kisah ini di FB saya, Terimakasih telah mengispirasi. Salam Literasi Pak
BalasHapusMonggo. Semoga bermanfaat
HapusSangat menarik dan membangkitkan semangat terus belajar
BalasHapusTerima kasih Pak Pri
HapusCatatan keren prof. Saya hanya sebatas sebagai santri pesantren kilat pondok Romadhon.
BalasHapusTerima kasih Mas
Hapus