Guru, Kreativitas, dan Pemberdayaan Potensi Diri

Desember 24, 2020

 

Dr. Ngainun Naim

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Tulungagung Jawa Timur

 


Ada seorang penulis perempuan yang cukup produktif dari Surabaya. Namanya Sinta Yudisia. Ia telah menulis puluhan buku dan novel. Produktivitasnya sungguh luar biasa. Satu pendapatnya yang saya sukai adalah menulis itu mencerahkan. Buat siapa? Buat diri sendiri dan pembaca (2003: 187).

Menulis itu dunia unik. Dunia yang tidak selesai dengan hanya diceritakan. Sama seperti orang berenang. Sensasi renang tidak bisa diwakili dengan cerita orang yang berenang. Berenang hanya bisa dirasakan setelah dipraktikkan. Mencebur ke kolam dan berenang. Di situlah berbagai pengalaman muncul. Tidak selalu menyenangkan dan tidak selalu menyusahkan. Dinamis saja karena itulah karakter kehidupan ini.

Jika ingin mengetahui sensasi menulis ya harus dengan praktik menulis. Cerita saja tidak cukup. Itu imajiner. Anda hanya akan hidup dalam bayang-bayang. Padahal bayang-bayang itu tidak akan membuat Anda bisa menulis. Hanya menulis dan praktik menulis saja yang bisa membuat Anda bisa menjadi seorang penulis.

Ada begitu banyak alasan yang disampaikan oleh orang yang akan menekuni dunia menulis. Bisa alasan kesibukan, tidak punya teman, bingung memulai, tidak berbakat, dan sejuta alasan lainnya. Daftarnya bisa diperpanjang sesuai dengan alasan setiap orang. Banyaknya alasan tidak akan membuat seseorang bisa menjadi penulis selain mencari apologi dan legitimasi untuk tidak menulis. Abaikan segenap alasan dan mari mulai menulis.

Saya memiliki seorang kolega yang sangat produktif menulis dari Universitas Negeri Surabaya. Namanya Much. Khoiri. Saya biasa menyapa beliau dengan Pak Emcho. Salah satu buku karya beliau berjudul SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016). Buku tersebut membahas tentang berbagai strategi yang penting dilakukan agar bisa menulis di tengah kesibukan yang padat merayap. Sesungguhnya tidak ada alasan untuk tidak menulis. Sesibuk-sibuknya kita, selalu saja ada waktu luang yang bisa dimanfaatkan menulis.

Persoalannya ada pada cara berpikir. Jika cara berpikirnya pasif maka waktu luang tidak akan pernah tersedia. Kita akan selalu didera kesibukan dan mengeluh tidak memiliki waktu untuk menulis. Jika pun ada waktu luang, energi sudah habis. Jangankan untuk menulis, untuk aktivitas lainnya pun belum tentu mampu dilakukan. Paling sering waktu luang yang tersedia dimanfaatkan untuk makan bersama atau pergi rekreasi bersama keluarga. Menulis tidak ada lagi dalam daftar.

Kondisinya akan berbeda jika cara berpikirnya berubah menjadi aktif. Tidak perlu menunggu waktu luang tetapi berusaha setiap harinya untuk meluangkan waktu. Di sini bedanya: waktu luang versus meluangkan waktu. Sama-sama “waktu luang” tetapi konteks dan pelaksanaannya jelas berbeda. Meluangkan waktu adalah wujud dari komitmen untuk menulis. Kesibukan tetap dijalani sebagaimana biasanya tetapi selalu berusaha menyediakan waktu khusus untuk menulis. Mungkin tidak terlalu lama untuk menulis, tetapi ketika sudah menjadi komitmen, menulis akan selalu dilakukan.

Sekarang ini era pandemi Covid-19 masih mengharuskan kita melakukan aktivitas sehari-hari dengan taat pada protokol kesehatan. Satu fenomena yang muncul di era ini adalah kegiatan berbasis online. Bisa dalam bentuk webinar atau lainnya. Aplikasinya bisa zoom, google meet, WA grup, telegram, dan berbagai jenis aplikasi lainnya. Ini merupakan kesempatan emas yang semestinya dimanfaatkan secara maksimal. Mengeluh terhadap pandemic yang kita tidak tahu kapan akan berakhir tidak banyak memberikan manfaat.

Saya tetiba teringat tulisan sastrawan Aceh Musmarman Abdullah. Ia menulis bahwa, “Banyak orang yang menghabiskan waktu berdinamika di dunia maya karena kecewa dengan dunia nyata” (2016: 276). Nah, jika Anda sepakat dengan pendapat ini semestinya dunia maya dijadikan pelecut untuk memberdayakan potensi diri. Salah satu yang penting adalah potensi menulis.

Potensi menulis itu perlu dilejitkan. Jika tidak maka potensi akan sebatas sebagai potensi. Apa yang bisa ditulis? Banyak. Apa pun bisa ditulis. Pengalaman menjadi moderator kegiatan pelatihan menulis via aplikasi WA pun bisa diolah menjadi tulisan. Ini bukti kreativitas. Bu Aam Nurhasanah, penulis buku ini, merupakan sosok guru kreatif. Buku ini adalah buktinya.

Pengalaman akan segera hilang jika tidak dibukukan. Menulis dan membukukan pengalaman adalah bagian dari ikhtiar literasi yang penting untuk terus disemai. Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Mari terus berproses dan mengembangkan budaya literasi. Inilah kunci penting kemajuan, baik pada diri sendiri maupun pada negeri.

 

Trenggalek, 22-12-2020

 

Bacaan

 

Sinta Yudisia, “Pamitan Tanpa Siapapun Menduganya!”, dalam Salman Iskandar (ed), Dapur Kreativitas Para Juara, Bandung: Dar!, 2003.

Much. Khoiri, SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan, 2016.

Musmarman Abdullah, Dijamin Bukan Mimpi, Kumpulan Cerita Satiris & Inspiratif, Jakarta: Gramedia, 2016

16 komentar:

  1. Semoga virus literasi terus berkembang lebih dahsyat dari virus Corona hehehe

    BalasHapus
  2. Tulisan menginspirasi... Salam literasi pak

    BalasHapus
  3. Luar biasa ada kemauan ada jalan. Apapun bisa ditulis yg penting kuatkan niat untuk menulis sy yakin lama2 bisa terbitakan buku.Slm literasi Prof. Ngainun Naim

    BalasHapus
  4. Mantap. Terima kasih kata sambutannya Prof.

    BalasHapus
  5. Mantap, terima kasih inspirasinya Prof Ngainun Naim.

    BalasHapus
  6. Mantap pak Naim.. sangat menginspirasi tulisannya

    BalasHapus
  7. Virus literasi banyak menular dari arah Kota Trenggalek, hingga dari Jakarta pun datang, selamat Bu Aam Nurhasanah moderator hebatnya Omjay

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.