Hidup Itu Indah

Januari 07, 2021

 

Ngainun Naim

 

 


Buku dengan judul Life is Beautiful, Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia karya Arvan Pradiansyah (2012) ini sesungguhnya sudah cukup lama saya miliki. Saya tidak ingat persis dulu belinya di mana. Seingat saya, saya membelinya secara online.

Seperti biasa, kesempatan membaca memang tidak selalu dipastikan. Prinsip saya memang memiliki buku itu penting. Membacanya tergantung waktu dan kesempatan.

Saat mulai menelusuri halaman demi halaman buku ini, saya menemukan sesuatu yang sangat menarik. “Hidup ini indah”, demikian kata Arvan. Ungkapan ini diulang-ulang dan bisa dikatakan menjadi spirit utama buku ini. Siapa pun ingin menjalani hidup secara indah, tetapi sayangnya banyak yang tidak bisa menemukannya. Hidupnya justru diwarnai dengan masalah demi masalah.

Hidup indah tidak identik dengan uang banyak atau harta berlimpah. Maknanya, hidup indah tidak ditentukan oleh sesuatu, melainkan ditentukan oleh cara pandang.  Mengutip pemikir Cina, I Tjing, Arvan menyatakan bahwa, “Peristiwanya sendiri tidaklah penting. Yang penting adalah bagaimana kita memandang dan memaknai peristiwa tersebut” [xv].

Pada bagian awal buku ini, Arvan sudah mengajak kita untuk merenungkan perjalanan hidup kita. Ya, sekali lagi ini menekankan pentingnya merubah cara pandang. Cara pandang serba negatif membuat semua hal menjadi negative. Sebaliknya, cara pandang positif juga membuat segala hal menjadi positif. Ketika kita menghadapi masalah maka harus dihadapi  dengan tenang. Masalah, jika menggunakan cara pandang positif, adalah kesempatan untuk bertumbuh.

Cara pandang positif itu yang membuat kita Bahagia. Namun kita menemui kenyataan—termasuk kita sendiri—yang merasa tidak Bahagia. Di sini Arvan menelusuri lima hal yang menjadi penyebab tidak Bahagia. Pertama, keyakinan tidak bisa bahagia tanpa hal-hal yang bernilai dan membuat kita terikat. Diri senantiasa merasa kekurangan. Tidak bahagia terjadi karena kita senantiasa memusatkan perhatian pada sesuatu yang tidak kita miliki, bukan mensyukuri apa yag telah kita miliki. Kita selamanya tidak akan Bahagia jika terus memikirkan apa yang tidak kita miliki. Bukan berarti kita tidak berusaha untuk mencapai sesuatu yang ideal. Itu tetap harus kita perjuangkan secara maksimal, namun dalam mencapainya tetap mensyukuri apa yang sudah kita capai.

Kedua, percaya bahwa kebahagiaan itu di masa depan, bukan sekarang. Padahal Bahagia itu ya sekarang ini, apa pun dan bagaimana pun kondisi kita. Arvan menyarankan kepada kita untuk menata diri dan membangun kebahagiaan berdasarkan apa yang telah kita capai dan miliki.

Ketiga, kita tidak Bahagia karena senantiasa membandingkan dengan apa yang telah orang lain. Pikiran kita terus panas dan terbawa emosi untuk mengejar apa yang telah dicapai oleh orang lain.

Keempat, penyebab lain ketidakbahagiaan adalah pandangan bahwa bahagia itu akan datang jika berhasil mengubah situasi dan orang-orang yang ada di sekitar. Padahal yang justru lebih penting dirubah adalah diri sendiri. Merubah diri sesungguhnya kunci Bahagia.

Dan kelima, keyakinan akan bahagia kalau semua keinginan terpenuhi. Padahal ini justru membuat cemas dan kuatir. Itu hal yang mustahi terwujud (hal. 10-13).

Kata kunci yang saya temukan dari buku ini adalah: Hidup yang nikmat adalah hidup yang dijalani dengan penuh kesadaran, dari waktu ke waktu, detik ke detik. Kesadaran adalah kunci kenikmatan hidup.

8 komentar:

  1. ah sayav sukav poin "bahagia itu ya sekarang". Tentunya dgn mensyukuri apa yang kita punya ya

    BalasHapus
  2. Hidup di dunia ini hanya sekali, maka bahagialah...

    BalasHapus
  3. saya juga berpendapat bahagia itu terletak pada rasa menerima dan mensyukuri apa yang ada, hehehe

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.