Mengolah Catatan Menjadi Buku
Ngainun Naim
Sebuah pertanyaan disampaikan ke saya tentang bagaimana mengolah catatan menjadi buku. Saya senang dengan pertanyaan ini karena menunjukkan bahwa penanya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Jawaban atas pertanyaan tersebut saya tulis singkat yang kemudian saya kembangkan dalam tulisan ini.
Saya mengawali jawaban dengan menunjukkan contoh dari buku terbaru saya, Menulis Itu Mudah, 40 Jurus Jitu Mewujudkan Karya. Buku ini tidak saya desain sejak awal sebagai sebuah buku. Ide untuk menjadikan buku baru muncul setelah mencermati tulisan demi tulisan di blog milik saya yang memiliki tema sama atau mirip. Saya pun kemudian mencermati satu demi satu tulisan yang ada.
Saya memiliki ratusan tulisan di dua blog yang saya miliki. Bagi saya, tulisan di blog itu semacam tabungan. Saat sudah siap, saya akan mengambil dan mengolah menjadi buku.
Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, saya menemukan bahwa gagasan utama tulisan-tulisan saya adalah tentang strategi menulis. Saya pun merenung dan mencari-cari judul yang menarik. Bongkar pasang harus saya lakukan sampai kemudian menemukan judul yang pas.
Setelah menemukan judul, saya cermati tulisan demi tulisan. Awalnya mau saya buat beberapa bab. Setelah saya renungkan akhirnya saya rubah. Saya susun tulisan demi tulisan sebagai "jurus". Karena jumlahnya 40 maka anak judulnya menjadi "40 Jurus Jitu Mewujudkan Karya".
Begitulah salah satu cara mengolah tulisan demi tulisan menjadi buku. Saya susun “jurus demi jurus” sebanyak 40. Jadilah buku sederhana ini. Buku yang tidak istimewa. Buku biasa saja, tetapi sudah menjadi buku. Soal kelemahan itu pasti ada. Tapi bagi saya lebih baik menulis dan menerbitkan buku daripada hanya berpikir saja. Salam.
Tulungagung, 1 Februari 2021
Saya punya rumus, Prof. Bahwa menulis itu berkutat dengan tiga hal; 1. Mengabadikan, 2. Memberi makna, 3. Proses belajar.
BalasHapus1. Mengabadikan segala hal yang dialami, diketahui, dilihat, didengar, dirasakan, dibayangkan, dan yang diharapkan. Jadi, menulis itu mengabadikan apa yang melekat pada diri kita.
2. Sangat mungkin itu semua hanya merupakan kilasan, potongan2, fragmen2, yang cuman sekilas dan berceceran. Agar lebih berarti maka perlu pemanaan yang lebih dalam dan merajutnya menjadi sebuah narasi yang utuh.
3. Jika demikian halnya, maka otomatis ada proses belajar, sebab banyak referensi yang dibutuhkan, agar tulisan menjadi bernas dan berkelas.
Terima kasih Mbah komentar dan tanggapannya.
HapusCore of the core sudah memberi uswah hasanah, tinggal murid ahlinya ahli bagaimana....hehehe.
BalasHapusPencerahan
BalasHapusTerima kasih
HapusIngin rasanya merajut catatan blog saya menjadi sebuah buku.. semoga.. aaamiin...
BalasHapusAamiinnnn
Hapuskeren pak, menginspirasi nih. Pengen juga nih nulis buku
BalasHapusAmin. Semoga segera terwujud.
HapusMencoba selalu mengikuti jalan jenengan...
BalasHapusSaya juga masih terus belajar Mas
HapusTerima kasih prof spirit menulisnya, semoga bisa berkarya lebih baik lagi
BalasHapusAmin.
HapusApa yang saya lakukan selama tiga tahun terakhir ini mirip dengan yang pak doktor Ngainun lakukan. Tulisan-tulisan yang saya posting di media sosial dan blog merupakan bahan baku buku saya, tapi bedanya kalau saya sejak awal menulis artikel sudah memberi topik sebagai calon judul buku. Alhamdulilah dengan strategi seperti ini setiap tahun bisa menerbitkan buku solo. Matur nuwun sanget inspirasinya pak doktor.
BalasHapusSama-sama Mas
HapusTerima kasih bapak Naim...tulisan yang menginspiratif
BalasHapusTerima kasih
Hapus