Ibuk dan Pendidikan

April 24, 2022
Ngainun Naim


 

Saya anak sulung dari enam bersaudara. Keluarga saya merupakan sebuah keluarga sederhana. Bapak adalah guru MI dan Ibuk merupakan seorang ibu rumah tangga. Kami hidup bahagia dengan keterbatasan yang ada.

Bapak memiliki mimpi besar dalam dunia pendidikan. Cita-cita besar beliau adalah semua anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Cita-cita ini sangat besar dan membutuhkan perjuangan besar pula untuk mewujudkannya. Bisa dibayangkan beratnya perjuangan menyekolahkan anak dengan posisi Bapak sebagai guru MI di masa Orde Baru. Ya, kesejahteraan guru saat itu belum sebagaimana sekarang. Belum ada sertifikasi, misalnya.

Meskipun keuangan terbatas, Bapak tetap berusaha keras menyekolahkan anak-anaknya. Gali lubang tutup lubang menjadi hal yang sulit untuk dihindari. Usaha-usaha kreatif untuk memenuhi kebutuhan juga terus dilakukan. Tujuan utamanya adalah agar sekolah anak-anaknya tetap bisa berlangsung.

Perjuangan besar Bapak ditopang oleh ketabahan dan kegigihan Ibuk. Ibuk sendiri tidak mengenyam pendidikan formal tinggi. Beliau hanya sempat menamatkan SD. Pernah sekolah di kelas 1 SMP tetapi kemudian berhenti karena satu dan lain hal. Setelah mondok, beliau menikah dalam usia muda dengan Bapak. Saat usia Ibu 16 tahun, saya lahir. Beberapa tahun kemudian satu demi satu adik saya lahir. Terakhir lahir adik bungsu saya, Ngainul Yaqin, pada tahun 1997. Saat itu saya sudah menjelang wisuda S-1.

Meskipun tidak mengenyam pendidikan secara memadai, Ibuk adalah pendidik dalam makna yang sesungguhnya. Beliau selalu mengingatkan kami anak-anaknya untuk selalu belajar. Tentu beliau tidak menemani kami belajar. Kami dilatih mandiri dalam keterbatasan.

Beliau juga memberikan teladan lewat aktvitas hidup sehari-hari. Setiap pagi sebelum subuh beliau menyapa kami anak-anak dan para cucu di grup WA keluarga. Sapaan beliau sangat khas, “Ayo bangun pagi. Let’s go”. Kami para anaknya pun segera menyahuti dengan “go”.

Satu aspek yang sangat saya kagumi dari Ibuk adalah spirit silaturrahim. Ya, beliau sangat senang mengunjungi para famili. Dulu saat masih muda beliau bepergian sendiri atau mengajak salah satu anak beliau untuk mengunjungi famili. Satu persatu didatangi, ditanya kabarnya, dan saling mendoakan. Beliau secara fasih menjelaskan jalur nasab famili yang dikunjungi. Kami para anaknya biasanya hanya tersenyum saja mendengar penjelasan ini. Senyum sebagai bentuk kekaguman sekaligus aktualisasi ketidakmampuan kami untuk meneladani beliau.

Ibuk juga teladan dalam hal ingatan. Sangat tajam dan sering kali tidak terduga. Ini berkebalikan dengan kami anak-anaknya yang memiliki sifat pelupa tingkat dewa.

6 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.