Membaca Realitas Secara Kritis

Desember 31, 2022


 

Ngainun Naim

Realitas kehidupan itu bersifat dinamis dan kompleks. Dinamis karena realitas kehidupan itu tidak stagnan. Ia terus tumbuh, berkembang, dan mengalami perubahan yang tidak selalu bisa diprediksi. Perubahan berlangsung secara cepat. Bahkan dari waktu ke waktu, perubahan berlangsung lebih cepat (Eisenhardt, 1980).

Perubahan bersifat kompleks karena dipengaruhi dan mempengaruhi banyak aspek yang saling berkait-kelindan. Tidak mudah untuk mengurai sebab dan akibat dari perubahan kehidupan. Namun demikian satu hal yang menjadi aspek fundamental, yaitu perubahan merupakan kemestian yang tidak bisa dihindari (Jirhanudin, 2017). Perubahan adalah kemestian historis yang dihadapi oleh siapa pun. Tidak ada yang tidak berubah. Semua berubah sebagai karakteristik makhluk.

Bagaimana masyarakat merespon terhadap perubahan? Secara sederhana ada tiga sikap dalam merespon perubahan. Pertama, menerima perubahan secara total tanpa ada yang ditolak sama sekali. Perubahan dianggap sebagai kemestian historis. Apa pun bentuk perubahan yang datang dijadikan sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan.

Kedua, menolak perubahan secara total. Perubahan dinilai merusak kehidupan. Perubahan dan segala hal yang berkaitan dengannya harus dihadang. Proteksi pun dilakukan secara rigid dan total (Rudra, 2015). Ketiga, menerima perubahan secara selektif. Perubahan memang tidak mungkin untuk dihindari tetapi menerima begitu saja semua hal tanpa seleksi jelas bukan pilihan yang bijak. Nilai, mekanisme, dan hal-hal lain yang datang membawa perubahan tidak semuanya positif. Justru karena itulah maka diperlukan usaha-usaha serius untuk melakukan seleksi, pemilihan, dan pemilahan terhadap aspek yang mengandung manfaat dan aspek yang merugikan.

Seleksi secara serius penting untuk dilakukan agar basis tradisi tetap terjaga namun juga melakukan adaptasi terhadap perubahan yang ada. Hal ini bermakna bahwa perubahan itu tidak mungkin untuk ditolak sepenuhnya. Respon secara aktif-kreatif merupakan pilihan yang paling rasional. Lewat respon yang semacam ini dimungkinkan untuk dikembangkan aneka potensi yang sebelumnya tidak teridentifikasi, apalagi digali (Neff, 2010). Hal ini membuka peluang pengembangan diri yang acap kali di luar ekspektasi.

Selain ketiga bentuk sikap tersebut sesungguhnya terdapat banyak varian respon yang bisa diidentifikasi. Ketiga bentuk respon tersebut merupakan ikhtiar untuk memudahkan membaca realitas respon yang ada. Lewat pembacaan sederhana ini diharapkan bisa diperoleh potret ringkas yang merepresentasikan realitas yang ada.

Salah satu aspek yang penting sebagai perangkat dalam menghadapi perubahan adalah agama. Tentu agama perlu dibaca secara kontekstual dan kritis agar bisa bersifat operasional dalam kehidupan umat. Pembacaan secara normatif, tentu saja, penting namun biasanya menyisakan ruang yang belum terisi berkaitan dengan relasi antara idealitas dengan realitas. Salah satu eksemplar yang bisa dijadikan contoh adalah apa yang dilakukan Abdul Mu’ti dalam buku yang berjudul Inkulturasi Islam (2009). Buku ini menguraikan—antara lain—aspek penting yang bisa dilakukan dalam menghadapi perubahan. Konflik, kekerasan, dan aneka anomali merupakan ekses negatif yang biasanya mengiringi perubahan. Realitas semacam ini tidak bisa dibiarkan, tetapi perlu direspon secara aktif-kreatif. Salah satu perspektif yang penting dikembangkan adalah ikhtiar mewujudkan apa yang disebut oleh Mu’ti sebagai Caring Society, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kepedulian sangat tinggi terhadap sesama. Agar tumbuh caring society dibutuhkan charity yang bersifat fungsional dan produktif, bukan temporal konsumtif.

Pada titik inilah penting untuk merekonstruksi nilai-nilai positif dalam ajaran Islam untuk kemudian dibumikan dalam perilaku hidup sehari-hari (Gufron, 2018). Salah satu contohnya disiplin. Menepati janji dan menepati waktu merupakan salah satu ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an. Ritual-ritual Islam juga sarat dengan ajaran disiplin. Shalat misalnya, harus dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Demikian juga, sahnya shalat juga telah ditentukan. Mereka yang melanggar ketentuan ini tidak akan sah shalatnya. Ajaran disiplin pada ibadah shalat telah melingkupi hidup seorang Muslim, minimal lima kali sehari semalam. Tetapi disiplin dalam ajaran shalat ini tidak bergerak ke tataran aplikasi kehidupan yang lebih luas. Selesai shalat, selesai juga ajaran disiplinnya.

Puasa juga contoh ibadah yang sarat dengan kedisiplinan. Makan waktunya diatur. Siang hari harus berdisiplin diri yang kokoh untuk tidak makan, tidak minum, dan berhubungan seks. Puasa Ramadhan selama sebulan penuh merupakan wahana disiplin yang luar biasa. Tempaan ajaran ini seyogyanya mampu membentuk kepribadian yang sarat dengan kedisiplinan. Namun realitasnya tidaklah semacam itu (Turner & Asad, 1994).

Jika bicara disiplin, tampaknya umat Islam—khususnya di Indonesia—sangat jauh dari ideal. Ketidakdisiplinan menjadi pemandangan yang sangat biasa. Baru pulang shalat dari masjid dengan naik sepeda motor tanpa helm, misalnya. Ketika sampai di perempuan yang ada traffic light-nya langsung belok kiri, padahal jelas ada rambu yang melarangnya.

Disiplin waktu juga masih menjadi persoalan serius. Nyaris setiap acara selalu molor dari jadwal. Sangat jarang ada kegiatan tepat waktu. Kondisi semacam ini tentu berbeda dengan negara-negara non-Muslim yang memiliki tingkat disiplin sangat tinggi. Dalam hal disiplin, Jepang adalah contoh yang layak untuk ditiru. Kedisiplinan tinggi yang mengantarkan Negeri Matahari Terbit tersebut mampu melaju cepat sebagai negara maju. Begitu disiplinnya hingga kereta api pun berjalan dengan ketepatan tidak hanya pada menit, tetapi hingga ke detik. Luar biasa.

*  *  *

Buku karya A. Hakam Sholahudin yang saya beri kata pengantar ini memang tidak secara spesifik dan sistematis membahas tentang dinamika perubahan sosial politik keagamaan di Indonesia. Ditinjau dari asal-usulnya, buku ini merupakan kumpulan artikel beliau yang kemudian disistematisasi menjadi sebuah buku. Masing-masing judul sesungguhnya berdiri sendiri sesuai dengan konteks yang mengitari.

Namun demikian sesungguhnya dari setiap tulisan terdapat benang merah. Paling tidak, spirit yang diusung buku ini bisa dibaca dalam konteks respon kritis terhadap perubahan yang ada. Penulis buku ini memiliki latar belakang keilmuan dan praktis yang cukup komplit dan itu menjadi modal yang sangat berarti bagi lahirnya tulisan demi tulisan.

Secara personal saya menyampaikan apresiasi dan selamat atas terbitnya buku ini. Buku adalah penanda peradaban. Semakin banyak tulisan dibuat dan semakin banyak buku terbit maka implikasinya akan positif bagi kehidupan masyarakat secara luas. Semoga setelah terbitnya buku ini disusul dengan buku-buku selanjutnya. Selamat Pak Hakam. Sukses selalu.

 

 

Daftar Bacaan

 

Abdullah, M. A. (2020). Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer. (Mu’arif, Ed.) (1st ed.). Yogyakarta: IB Pustaka.

Bahri, M. Z. (2021). Perjumpaan Islam Ideologis & Islam Kultural. (Muhammad Ali Fakih, Ed.) (1st ed.). Yogyakarta: IRCISOD. Retrieved from https://divapress-online.com/portal/detail_buku/perjumpaan-islam-ideologis-islam-kultural

Eisenhardt, K. (1980). Cultural Orientations , Institutional Entrepreneurs , and Social Change: Comparative Analysis of Traditional Civilizations. American Journal of Sociology, 85(4).

Gufron, M. (2018). Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris:Telaah atas Pemikiran Hasan Hanafi. Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities, 3(1). https://doi.org/10.18326/mlt.v3i1.141-171

Neff, K. (2010). Self and Identity Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a HealthyAttitudeToward Oneself. Psychology, (November 2012).

Rudra, N. (2015). Social protection in the developing world: Challenges, continuity, and change. Politics and Society, 43(4). https://doi.org/10.1177/0032329215602884

Turner, B. S., & Asad, T. (1994). Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Sociology of Religion, 55(3). https://doi.org/10.2307/3712068

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.