Menyimpan Kenangan, Menebarkan Kebajikan

Oktober 12, 2024

Ngainun Naim

 


Salah satu tindakan tersulit dalam hidup sebagai manusia adalah melihat tanpa mengingat (Wattimena: 2019, 125). Hal ini disebabkan karena manusia diberikan anugerah oleh Allah berupa kemampuan untuk mengingat. Meskipun demikian, tidak semua hal yang dilihat bisa diingat. Hanya hal-hal tertentu dan mozaik yang menjadi perhatian saja yang terlintas. Selebihnya lupa atau terlupakan seiring dengan perjalanan waktu.

Mengingat itu penting karena satu dan lain kepentingan. Salah satu hal signifikan dari aktivitas mengingat adalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Mengingat bukan sekadar mengingat itu sendiri tetapi mengingat juga menjadi media menyerap energi untuk transformasi menuju kehidupan yang lebih berkualitas.

Tentu tidak semua aktivitas mengingat bisa memberikan kebajikan. Ingatan terhadap hal-hal buruk dan traumatik dalam realitasnya memberikan efek yang negatif terhadap diri pengingat. Aneka persoalan psikologis, sosial, dan kemanusiaan dipengaruhi—antara lain—oleh ingatan-ingatan negatif yang terus mengiringi setiap jejak kehidupan.

Pada perspektif inilah perlu diupayakan untuk menghadirkan dimensi-dimensi positif yang penting untuk diingat. Sebagaimana disampaikan oleh Clear (2019: 35) bahwa perubahan dalam diri seseorang itu tidak harus bermula dari hal-hal spektakuler. Memperbaiki hal-hal sederhana dalam kehidupan pun mampu memberikan dampak besar dalam kehidupan jika dilakukan secara konsisten.

Interaksi dengan seseorang itu terlihat biasa tetapi bisa juga luar biasa. Kuncinya adalah kemauan untuk memberikan ruang refleksi dari interaksi yang dilakukan. Dimensi refleksi ini memang semakin jarang dilakukan oleh manusia sekarang karena tuntutan kehidupan yang semakin dinamis dan kompleks. Hari demi hari manusia sekarang ini diisi dengan aneka kegiatan yang seolah tanpa henti. Begitu terus berlangsung seolah tanpa jeda.

Modernitas memang menyajikan logika kehidupan yang mekanis-pragmatis. Satu sisi banyak kemajuan dan kemudahan hidup yang telah dirasakan dengan kehadiran modernitas. Namun ekses negatif dalam berbagai bentuknya menjadi aspek yang tidak bisa diabaikan. Aneka persoalan sosial, politik, budaya, dan—bahkan—agama menjadi sisi lain yang perlu dipahamai secara objektif dan kritis.

Realitas semacam ini perlu dibaca secara kritis-objektif. Model pembacaan kritis-objektif memberikan peluang untuk menemukan langkah-langkah yang konstruktif dalam menghadapi persoalan yang ada.

Langkah yang ditemukan mungkin tidak harus ilmiah dan metodologis. Langkah yang terlihat sederhana bisa saja menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan karena memiliki kontribusi konstruktif yang mencerahkan. Di antara langkah ini adalah dengan menulis kisah-kisah yang inspiratif.

Menulis kisah hidup seorang tokoh, misalnya, ternyata memiliki pengaruh yang besar. Pengaruh ini tidak hanya bagi penulisnya saja tetapi juga bagi pembaca secara luas. Banyak mozaik pengalaman hidup dan interaksi personal yang tidak diketahui oleh orang lain. Di sinilah menuliskannya menjadi penting.

Menulis tentang seorang tokoh, termasuk yang telah berpulang, cukup signifikan dalam konteks yang luas. Ada banyak jejak hidup yang telah ditorehkan oleh sang tokoh. Interaksi dengan sang tokoh adalah pengalaman yang sangat penting. Sebagaimana dijelaskan oleh Hadi (2016: 1) bahwa pengalaman itu merupakan pengetahuan yang sangat berharga.

Tentu disayangkan jika pengalaman itu hanya milik personal. Padahal ada banyak manfaat yang diperoleh ketika ada upaya menulis kenangan yang telah dialami. Bisa jadi dari interaksi yang telah ditulis itu akan memberikan inspirasi bagi orang lain.

Berkaitan dengan menulis tentang seorang tokoh, ada banyak dimensi yang bisa ditulis. Kebaikan, kedermawanan, kesabaran, dan hal-hal lain dalam dimensi hidup seorang tokoh. Aspek positif apa pun yang ditulis adalah upaya untuk menyimpan kenangan sekaligus menebarkan kebajikan.

Menuliskan tentang kenangan dan kebajikan harus hati-hati dan cermat. Sebagaimana diingatkan oleh Shihab (2003: 15) bahwa menulis itu jangan asal menulis, apalagi menulis mengenai hal-hal yang tidak bermanfaat atau hal-hal negatif dari seseorang. Shihab menyatakan bahwa menulis itu mengandung ketelitian dan pemeliharaan. Ini bermakna perlunya hati-hati dalam menulis, termasuk tentang kehidupan seorang tokoh, agar tujuan mulia yang dimaksudkan bisa tercapai.

Jika sebuah tulisan sudah selesai maka penting untuk dicermati kembali apa yang sudah ditulis. Apakah sudah seperti itu yang dimaksudkan? Apakah sudah tidak ada kesalahan teknis? Beberapa aspek lain juga penting dicermati. Selain itu menulis mengandung pemeliharaan dalam makna apa yang ditulis itu akan abadi. Ide kita dipelihara lewat tulisan. Ia tetap ada bahkan ketika kita mungkin sudah lupa bahwa kita telah menuliskannya.

Jika semua itu sudah dilakukan maka tulisan bisa disebarluaskan. Bisa dicetak, bisa juga disebar secara online. Tulisan itu nantinya akan menemukan takdir pembacanya sendiri. Ketika sudah dibaca orang, posisi penulis pasif. Pembaca memiliki otonomi untuk memahami dan menafsirkan apa yang dibacanya.

Tulisan yang berisi kebajikan akan menebarkan energi. Ia bisa menjadi pemicu untuk terjadinya transformasi, baik personal maupun sosial. Kekuatan tulisan itu memang tidak bisa ditebak secara pasti tetapi sejarah membuktikan bahwa transformasi—personal dan sosial—banyak yang bersumber dari tulisan.


Bacaan Pendukung

          James Clear, Atomic Habits Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: Gramedia, 2019).

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,  Volume 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2003).

Reza A.A. Wattimena, Protopia Philosophia, Berfilsafat Secara Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2019).

Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016).

6 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.