Beragama di Era Internet
Judul Buku: Agama Generasi Elektronik
Penulis: Mujiburrahman
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: 1, Februari 2017
Tebal: vi+329 halaman
ISBN: 978-602-229-694-2
Peresensi: Ngainun Naim
Internet telah mengubah
wajah dunia. Ia tidak hanya menghadirkan informasi, mendekatkan yang jauh, dan
mempermudah komunikasi melainkan juga mendekonstruksi nyaris semua aspek
kehidupan.
Posisi agama juga mengalami
perubahan seiring hadirnya internet. Pemaknaan, apresiasi, dan potret kehidupan
umat beragama mengalami perubahan yang sangat mendasar. Otoritas keagamaan yang
dulu monopoli ulama secara perlahan mengalami pergeseran. Sekarang muncul
berbagai sumber otoritas baru dari situs-situs yang bertebaran luas di
internet.
Beragama di era
internet sekarang ini berbeda dengan beragama di era sebelumnya. Sekarang ini
muncul begitu banyak model, karakter, tipologi, dan ekspresi beragama.
Informasi tentang aspek-aspek agama secara cepat tersebar luas. Realitas
semacam ini berimplikasi terhadap kehidupan sehari-hari umat beragama.
Salah satu bentuk
ekspresi keberagamaan yang semakin semarak adalah radikalisme. Radikalisme
seolah menemukan momentum untuk berkembang berkat jasa internet. Mereka
menjadikan internet untuk berbagai kepentingan, termasuk eksistensi kelompok.
Radikalisme merupakan
salah satu fenomena keberagamaan yang diulas secara kritis dan mendalam oleh
Mujiburrahman. Guru Besar Sosiologi IAIN Antasari Banjarmasin ini menilai bahwa
orang-orang yang radikal itu mengidap penyakit sombong. Kesombongan yang
teraktualisasi secara intelektual melahirkan absolutisme yang memutlakkan
pendapat sendiri. Secara sosial, kesombongan itu melahirkan eksklusivisme.
Sementara secara emosional kesombongan itu mewujud dalam bentuk fanatisme (h.
7).
Fenomena radikalisme
yang semakin hari semakin semarak membutuhkan penanganan secara serius. Ia
tidak bisa dibiarkan. Langkah-langkah strategis perlu disusun secara baik agar
ekses negatifnya tidak semakin menyebar ke berbagai sendi kehidupan.
Salah satu eksesnya
adalah kerentanan terjadinya konflik. Kelompok radikal tidak memiliki paradigma
toleran. Kebenaran hanya ada dalam konsep mereka. Perbedaan tidak untuk
diapresiasi, tetapi untuk diseragamkan agar selaras dengan mereka.
Implikasinya, konflik
begitu mudah tersulut. Rentetan konflik demi konflik yang di berbagai wilayah
Indonesia terjadi karena—salah satunya—pemahaman keagamaan formalistik-simbolis
sebagaimana yang dianut kaum radikal.
Mengembangan pemahaman
keagamaan yang menghargai keragaman merupakan kebutuhan mendasar dalam
menciptakan kehidupan yang harmonis. Pemahaman keagamaan semacam ini harus
terus dikembangkan dan disosialisasikan secara luas agar muncul sikap toleran.
Toleransi, menurut
Mujiburrahman, merupakan sikap minimal yang diperlukan untuk terbangunnya
kerukunan di masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebagai syarat minimal, tentu
saja sekadar toleransi tidak cukup. Karena itu diperlukan syarat lain untuk
melengkapi toleransi. Identifikasi Mujiburrahman menemukan dua sikap pendukung
untuk memperkukuh kehidupan yang harmonis. Pertama,
sikap saling memahami dan menerima. Dan kedua,
bekerja sama mewujudkan cita-cita bersama (h. 212).
Buku ini memotret
secara baik eksistensi agama di era internet. Ada persoalan, tetapi juga
ditawarkan solusi. Melalui perspektif yang kaya, pembaca diajak membaca
berbagai fenomena sosial keagamaan secara kritis dan berupaya menemukan
berbagai kemungkinan solusi atas persoalan yang ada.
Meskipun
buku ini merupakan kompilasi makalah, naskah pidato, dan artikel di berbagai
media massa, namun buku ini tetap menemukan relevansi kontekstualnya.
Kasus-kasus aktual yang menghiasi setiap bagian tulisan menjadikan buku ini
tidak hanya berkutat pada perdebatan teoretis semata. Justru karena itulah buku
ini penting untuk dibaca dan diapresiasi.
Memang akhir - akhir ini kelompok radikal seolah mendapatkan angin segar dalam mengembangkan sayapnya. menurut saya selain kemunculan internet yang menyebarkan informasi seputar pemahaman keagamaan secara bebas, faktor kebijakan juga sangat berpengaruh, terutama kebijakan pendidikan. saat ini diberbagai lemabga pendidikan formal sangat marak sekali kegiatan yang diselenggarakan sehingga menyita banyak waktu bagi para siswa. seolah - olah waktu mereka habis disekolah, sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka belajar agama di pesantren. saat pemahaman agama mereka belum kuat, mereka lari ke internet untuk mendapatkan pengatahuan agama. disinilah pemahaman keagamaan mereka seringkali mudah dipengarui oleh kelompok - kelompok radikal.
BalasHapusBetul Ustad. Terima kasih banyak telah membaca dan memberikan komentar atas tulisan sederhana ini.
HapusSaya yang musti terima kasih ustadz... banyak ilmu yang antum berikan ke saya lewat postingan - postingan antum. hehehe.. besok mampir ustadz ke kantor ma'had kalau pas lagi ngisi di aula lantai lima. sekali - kali heheghe...
BalasHapusSiap
HapusKalau boleh tau, dimana saya bisa pesan buku pak Prof ya?
BalasHapus