Mudik dan Berkumpulnya Semua Saudara
Ngainun Naim
Kebersamaan secara fisik di dalam satu rumah itu
ternyata tidak lama. Jika saya renungkan, tinggal bersama dengan orang tua dan
adik-adik itu tidak lebih lama dibandingkan dengan waktu tidak bersama.
Saya merupakan sulung dari enam bersaudara.
Meskipun demikian, terhitung hanya pada momentum tertentu bisa berkumpul enam saudara lengkap. Selebihnya kami
berdiaspora dengan kehidupan masing-masing.
Dulu kami terpencar karena studi. Satu pulang ke rumah, lainnya masih di tempat kuliah
atau mondok. Lebaran dan
momentum tertentu saja yang mempertemukan kami lengkap. Itu hanya
berlangsung beberapa hari. Selebihnya kami kembali menjalani kehidupan
masing-masing.
Saya jadi teringat pernyataan Jalaluddin
Rakhmat yang menyebut bahwa mudik saat lebaran itu tidak hanya berdimensi
sosial ekonomi. Ada dimensi spiritual yang tidak bisa digantikan. Kerinduan
terhadap masa lalu, orang tua, lingkungan, dan keluarga besar adalah hal
esensial dari kehidupan manusia.
Meskipun sesama mudik,
jika dilakukan di luar waktu lebaran, nuansanya berbeda. Mudik saat lebaran
memiliki dimensi, rasa, dan cita yang khas. Sebagaimana pernah ditulis oleh Sastrawan
Jamal D. Rahman bahwa orang bisa pulang kampung kapan saja tetapi dia tidak
akan sampai pada esensi mudik sebagai ritus budaya yang sakral. Dalam
mudik orang menemukan makna pulang dalam keutuhan arti esensial dan simboliknya
yang paling dalam. Menemukan juga makna merayakan hari raya yang paling
mengesankan. Kampung halaman adalah tempat wisata rohani yang
sesungguhnya paling dirindukan.
Kini kami semua sudah berkeluarga.
Konsekuensinya, kami berpisah dari rumah orang tua dan membangun hidup bersama
keluarga masing-masing, kecuali Kikin yang menemani Ibuk. Jarak tempat tinggal
kami beragam. Ada yang dekat, namun ada yang sangat jauh.
Tidak ada yang perlu disesali. Jalan takdir
tinggal dijalani dan disyukuri. Cara semacam ini yang membuat hidup semakin bermakna.
Tahun lalu kami berenam berkumpul. Bukan saat
lebaran tapi saat nikah Si Bungsu, Kikin. Tapi tetap belum lengkap karena ada
anggota keluarga yang tidak bisa ikut.
Lebaran kali ini sungguh istimewa. Seluruh
anggota keluarga bisa hadir lengkap. Bisa dibayangkan betapa riuhnya. Dari Bapak
Kalip Surjadi dan Ibu Wajiati beranak pinak. Enam anak, enam menantu, sembilan
cucu. Rumah besar kami sesak. Total dua puluh satu orang.
Masa kebersamaan ini sungguh bermakna.
Kesempatan yang sangat mahal karena tidak terjadi setiap tahun. Sungguh anugerah
hidup yang harus disyukuri.
Tulungagung, 13 April 2024
Barakallah fiikum prof. Ngainun Naim beserta keluarga. (Abdisita)
BalasHapusAamiinnn. Terima kasih Bu Abdisita.
HapusBerkah selalu Prof, semoga kapan saatnya saya bisa silaturrahmi ke panjenengan Prof (faliqul isbah)
BalasHapusAmin. Semoga.
Hapus