Potret Enam Wajah Islam Indonesia
Judul Buku: Muslim Subjectivity, Spektrum Islam Indonesia
Penulis: Aisyah Arsyad, dkk.
Kata Pengantar: Greg Fealy dan Sally White
Penerbit: Insan Madani, Yogyakarta
Edisi: Maret 2017
Tebal: xviii+334 halaman
Peresensi: Ngainun Naim
Islam itu satu, tetapi
ekspresi sosiologisnya menghasilkan potret yang beraneka ragam. Masing-masing
potret bersifat unik, khas, dan menunjukkan karakteristik yang tidak bisa
disamakan antara satu dengan tempat yang lainnya. Justru karena itulah
diperlukan kajian dan penelitian secara serius jika ingin memahami terhadap
sebuah potret—atau dalam istilah buku ini—“spektrum”.
Buku ini merupakan buku yang
sungguh luar biasa. Saya harus mengatakan ini dengan jujur. Bukan hanya karena
Dr. H. Muhammad Muntahibun Nafis, M.Ag., M.A.—kolega kreatif-produktif dari
IAIN Tulungagung sekaligus salah seorang penulis di buku ini—yang menghadiahi
buku, melainkan juga karena buku ini benar-benar berbobot. Saya harus
menyampaikan ucapan terima kasih setulusnya kepada Kiai Nafis atas perkenannya
memberikan buku yang memperkaya wawasan keilmuan yang saya tekuni.
Buku ini terdiri dari enam
chapter. Masing-masing chapter merupakan ringkasan dari disertasi penulisnya.
Disertasi keenam penulis dikerjakan dengan penuh kesungguhan. Mereka tidak
hanya didampingi promotor, tetapi juga mendapatkan tambahan pengetahuan dan
keterampilan penelitian di Australian National University (ANU) selama dua
semester.
Chapter pertama ditulis oleh
Aisyah Arsyad dengan judul “Polemik Nikah Siri: Dualisme Hukum Memapankan
Sistem Patriarki”, disusul pada chapter berikutnya oleh Muhammad Irfan
Hasanuddin yang menulis “Wajah Kontemporer Dakwah Islam Indonesia: Pengalaman
dari Jamaah Tabligh di Palopo-Sulawesi Selatan Indonesia”, lalu Muhammad
Muntahibun Nafis yang menulis “Pesantren dan Pluralisme: Pendidikan Pluralisme
ala Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan Jawa Timur”, disusul Muhammad Rozali yang
menulis “Kemunduran Tradisi Keulamaan Al Jam’iatul Washliyah Sumatra Utara”.
Chapter lima oleh Rofhani dengan judul “Busana-Hijab: Representasi Diri dan
Hegemoni Budaya Muslim Kelas Menengah Perkotaan”. Chapter penutup ditulis oleh
Siti Mahmudah dengan judul “Pemikiran Khalîl
‘Abd al-Karîm (1930-2002) tentang Reformasi Syari’at
Islam di Mesir dan Pengaruhnya terhadap Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia”.
Keenam penulis buku ini
merupakan peserta Partnership in Islamic Education
Scholarship (PIES) angkatan III tahun 2015. Mereka terpilih setelah lolos
seleksi yang cukup ketat. Program PIES dinilai Dr. Shally White dalam pengantar
buku ini sebagai, “...the most innovative and distinctive of all the
collaborative Islam programs between the two countries...” (h. v). Jadi, saya
kira bukan hal berlebihan jika saya menyebut buku ini memang buku bermutu.
Chapter pertama yang ditulis
Aisyah Rasyad menguraikan tentang problematika nikah siri. Nikah siri semakin banyak
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hadirnya teknologi online ternyata juga diikuti dengan
fenomena nikah siri online. Berbagai
tanggapan pun bermunculan terkait nikah siri jenis baru ini. Pengurus MUI
Pusat, Dr. Asrorun Niam Shaleh menyebutnya sebagai “prostitusi tersembunyi”.
Fenomena nikah siri penting
untuk diteliti karena memiliki dampak sosial yang cukup luas. Pilihan terhadap
tema ini juga diapresiasi oleh Dr. Sally White. Pada pengantar Dr. Sally White
menulis bahwa pilihan tema Aisyah Arsyad merupakan pilihan yang menarik,
““...an issue of great social significance” (h. 4).
Menurut Aisyah Arsyad, nikah
siri seharusnya disikapi secara baik agar tidak memberikan dampak sosial yang
lebih luas. Aisyah menyoroti polemik hukum nikah siri pada dua faktor, yaitu faktor
struktural dan intelektual. Kedua
faktor saling berkait-kelindan. Sayangnya, tiga sumber hukum, yaitu UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan Fatwa MUI dinilai oleh
Aisyah Arsyad tidak memberikan solusi
yang berarti terhadap persoalan nikah siri (h. 3).
Paparan pada chapter ini
menarik karena menguraikan secara detail kisah Machica Muhtar yang berjuang
lewat jalur pengadilan agar Muhammad Iqbal, anak hasil pernikahan siri dengan
Moerdiono, Mantan Menteri Sekretaris Negara, diakui. Proses pengadilan yang
dilakukan Machica sangat panjang. Ujungnya jelas, yakni semua proses selama
lima tahun gagal total. Machica kalah; pernikahannya ditolak; dan keseluruhan
gugatannya pada 22 Juli 2014 ditolah oleh M.A.
Nikah siri tidak boleh
dibiarkan tanpa solusi. Aisyah Irsyad meyakini bahwa solusi untuk problem nikah
siri ini adalah fiqh maqashid (h.
54). Salah satu aspek penting dari fiqh
maqashid adalah menjadikan pencatatan
oleh pemerintah sebagai salah satu rukun nikah (h. 56). Aspek ini menarik
karena rukun nikah yang selama diyakini masyarakat adalah: (1) calon istri; (2)
calon suami; (3) ijab kabul; dan (4) saksi. Jika ditambah dengan pencatatan
oleh pemerintah maka rukun nikah menjadi lima.
Chapter berikutnya ditulis
oleh Muhammad Irfan Hasanuddin. Judulnya “Wajah Kontemporer Dakwah Islam
Indonesia: Pengalaman dari Jamaah Tabligh di Palopo-Sulawesi Selatan Indonesia”.
Jamaah Tabligh (JT) sebagai organisasi dakwah telah berkembang di banyak tempat
di Indonesia. Organisasi yang berasal dari Pakistan ini tidak bersentuhan
secara langsung dengan politik. Orientasi kegiatannya adalah dakwah untuk
meningkatkan kualitas keberagamaan umat.
Riset yang dilakukan oleh
Muhammad Irfan Hasanuddin menghadirkan perspektif baru yang menyegarkan
berkaitan dengan dakwah Islam. JT di berbagai tempat dipahami oleh masyarakat
sebagai organisasi fatalis dan kurang peduli dengan dinamika perkembangan zaman.
Riset di chapter ini membantahnya. JT ternyata menyimpan dinamika sosial
keagamaan yang menarik.
Model dakwah JT disebut
dengan khurûj, yaitu keluar dari
rumah untuk berdakwah. Ini merupakan model paling baru dakwah JT. Saat khurûj, seluruh anggota menetap di
masjid tertentu. Pada malam hari, mereka berdzikir dan shalat malam. Adanya
sikap kusyu’ anggota JT pada malam hari merupakan daya tarik yang cukup kuat
dalam khurûj. Aktivitas
kolektif—seperti khurûj—sangat
penting artinya dalam membangun
kesadaran keagamaan individu. Anggota JT—disebut sebagai karkun—diasah kesadaran keagamaannya
dalam kegiatan komunal seperti khurûj,
ijitmâ, dan salat jamaah.
Ulasan Muhammad Irfan
Hasanuddin secara intrinsik memberikan evaluasi terhadap model dakwah banyak
organisasi sosial keagamaan di Indonesia yang selama ini kurang efektif. Salah
satu sebab dakwah kurang efektif karena kurangnya keterlibatan emosional di
antara jamaah dengan ustad. Model kegiatan dakwah dengan tatap muka—sebagaimana
kegiatan ijitmâ yang dilakukan oleh
JT—merupakan aspek unik dan lebih produktif untuk internalisasi nilai-nilai
agama.
Pilihan untuk melakukan khurûj sesungguhnya bukan pilihan
sederhana. Ia merupakan bagian dari totalitas untuk menjalankan ajaran Islam.
Karena itu bukan hal berlebihan jika khurûj
merupakan intisari JT. Ada dua alasan yang mendasar, yaitu: pertama, khurûj memperkuat rasa memiliki
(sense of belonging) anggota sebagai
bagian tidak terpisah dari komunitas. Kedua,
khurûj menyiapkan lingkungan baru bagi para anggora JT di luar aktivitas regular
sehari-hari (h. 92).
Penelitian ini cukup empatik
dalam memahami fenomena JT. JT merupakan organisasi yang berkembang pesat di
Palopo. Faktor perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari model dakwah yang
dikembangkan, yaitu khurûj, ta’lim-bayan dan ijitmâ (h. 102).
Bagian berikutnya adalah
tulisan Muhammad Muntahibun Nafis, “Pesantren dan Pluralisme: Pendidikan
Pluralisme ala Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan Jawa Timur”. Penelitian Nafis
menarik karena mengungkap fenomena unik yang jarang terdapat pada banyak
pesantren di Indonesia. Di Pesantren Ngalah Pasuruan, pluralisme tidak sekadar
wacana, melainkan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini menarik karena
tidak sedikit pesantren yang alergi—bahkan menolak—terhadap pluralisme. Justru di
Pesantren Ngalah, praktik pluralisme diwujudkan dalam banyak bentuk. Salah satunya
adalah menerima santri nonmuslim untuk live
in. Adanya santri nonmuslim ini menjadikan pengalaman beragama para santri
tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Implikasi dari model ini adalah
“...mereka dapat menyelami lebih dalam sekaligus ikut menyongsong secara aktif
pengembangan nilai perbedaan agama yang telah menjadi sunnatullah ini” (h.
159).
Pilihan Pesantren Ngalah
mengembangkan pluralisme tidak bisa dipisahkan dari sosok pengasuhnya, Kiai
Sholeh. Beliau merupakan kiai yang memiliki pemikiran yang tidak eksklusif. Salah
satu landasan pemikiran beliau adalah tasawuf. Adapun aplikasi tasawuf Pesantren
Ngalah menurut Kiai Sholeh adalah “...Ngalah berusaha mengupayakan berdayanya
pesantren dan lembaga pendidikan yang dipimpinnya untuk dapat mengembangkan
pluralisme agama yang ada dengan penanaman nilai-nilai tasawuf sebagai fondasi
utamanya”(h. 159).
Kesimpulan riset Nafis sangat
menarik. Menurut Nafis, ada ribuan pesantren di Indonesia. Namun demikian Pesantren
Ngalah memiliki keunikan. Pesantren ini berkontribusi penting dalam menciptakan
pemahaman yang positif-konstruktif terhadap pluralisme agama. Aspek yang
memperkuat bagi pengembangan pluralisme agama, pada kasus Ngalah, adalah
tasawuf. Nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin
Ngalah memiliki makna yang berbeda karena merupakan perpaduan antara nilai
lokal Jawa, thariqah, dan pluralisme (h. 166).
Chapter selanjutnya ditulis
oleh Muhammad Rozali. Judulnya “Kemunduran Tradisi Keulamaan Al Jam’iyatul
Washliyah Sumatera Utama”. Pada pengantarnya, Dr. Greg Fealy menyatakan bahwa
riset tentang Al Washliyah jarang dilakukan. Kata Fealy, “Given Al Washliyah’s
rich history, it is surprising that the organization has not been more
intensively studied” (h. 173). Riset Rozali dilakukan secara serius dan
menghasilkan temuan yang menyegarkan. Hal ini ditulis Fealy di pengantarnya. “It
not only presents a fresh view of Al Washliyah but also offers suggestions as
to what the organization should do if it is to avoid further marginalization”
(h. 175).
Al Washliyah merupakan
organisasi sosial keagamaan yang cukup besar. Basisnya di Sumatera Utara. Organisasi
ini dalam sejarah perkembangannya telah berkontribusi penting dalam
menghasilkan kader ulama. Lulusan Al Washliyah banyak yang menjadi ulama dan
tokoh masyarakat.
Posisi ini dalam beberapa
tahun terakhir mengalami kemunduran. Al Washliyah, sebagaimana dipotret dengan
penuh kegelisahan oleh Rozali, sedang berada pada titik degradasi peran dan
eksistensi. Organisasi ini sudah sulit diharapkan untuk menghasilkan kader
ulama seperti masa-masa sebelumnya.
Salah satu indikasi
kemunduran tersebut adalah penguasaan terhadap kitab kuning. Pada masa lalu, tidak
semua guru bebas mengajarkan kitab kuning. Mereka harus dites terlebih dulu dan
siap direview jika melakukan kesalahan. Idealitas semacam ini sudah sulit
ditemukan. Sekarang, kitab kuningnya sudah diterjemahkan. Bahkan yang ironis, tidak
jarang guru yang mengajar tidak menguasai bidang yang diajarkannya. Kondisi ini
diperparah dengan minimnya supervisi dan tumbuhnya budaya nepotisme (h.
184-185).
Era reformasi ternyata
berkontribusi memperburuk keadaan. Pertumbuhan partai politik berimplikasi pada
keterlibatan para pengurus Al Washliyah dalam partai politik. Sayangnya, organisasi
hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Bisa dikatakan organisasi
sekadar sebagai batu loncatan (h. 189). Keterlibatan para pengurus Al Washliyah
dalam politik diuraikan secara panjang lebar oleh Rozali. Realitas ini yang
menjadikan organisasi terbesar di Sumatera ini mengalami semakin terpuruk.
Rozali memetakan penyebab
kemunduran Al Washliyah menjadi: pertama,
penyebab secara internal. Termasuk dalam aspek ini adalah: (1) manajemen;
tidak ada keseriusan dalam mengurus organisasi. Berbagai program terbengkalai.
(2) Politik: hasrat politik para pengurusnya dengan mengorbankan organisasi.
(3) ekonomi: ulama Al Washliyah kurang peduli dengan majelis keilmuan dan lebih
mengikuti selera masyarakat yang menyukai pengajuan yang banyak humornya.
Kedua,
penyebab
eksternal. Termasuk dalam penyebab ini adalah: (1) kurikulum pendidikan yang berubah dengan memberi porsi
pendidikan agama minim dibandingkan masa sebelumnya. (2) intervensi pemerintah,
seperti lahirnya SKB Tiga Menteri Tahun 1975 tentang Madrasah di Indonesia yang
meregulasi madrasah secara integral-komprehensif. Implikasi SKB Tiga Menteri
ini, orientasi madrasah mengalami perubahan dari yang sekadar mencetak bibit
ulama yang menguasai ilmu-ilmu yang memadai menjadi sekolah umum plus madrasah.
Penguasaan ilmu agama melemah dan penguasaan ilmu umum juga kurang maksimal.
Dunia hijab diulas secara
menarik oleh Rofhani. Judul risetnya adalah “Busana-Hijab: Representasi Diri
dan Hegemoni Budaya Muslim Kelas Menengah Perkotaan”. Tulisan Rofhani diberi introduction oleh Dr. Sally White.
Menurut Dr. Sally White, Muslim fashion
and the hijab cannot be separated from the life-style and personal expression
of the Muslim middle class (h.
226). Pada bagian lainnya, Sally
menulis bahwa Rofhani’s work provides a
fascinating insight into the perceptions, motives and religious understanding
of her informants. Her interdisciplinary approach in this chapter brings
together sociology, ethnography, and anthropology. Rofhani’s work will take its
place among other scholars of expressions of Islamic piety and dress, such as
Carla Jones and Suzanne Brenner (h. 228).
Hasil riset Rofhani
menyebutkan bahwa busana Muslim dan hijab tidak hanya menjadi identitas, tetapi
juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari gaya hidup. Tulisan Rofhani
menggunakan metode etnografi dengan menganalisis individu mengenai pandangan
perempuan kelas menengah tentang busana Muslim dan hijab yang kemudian
dikombinasikan dengan analisa fenomena yang terjadi di Surabaya. Menurut
Rofhani, “...terjadi hegemoni dan dominasi budaya berhijab pada kelas menengah
Muslim perkotaan. Mereka mempresentasikan diri sebagai social agency yang membawa perubahan budaya kesalehan dalam koridor
syar’i.” Lebih jauh dijelaskan bahwa Busana Muslim dan hijab dinilai oleh
Rofhani telah beralih fungsi sebagai “komoditas agama”. Kondisi ini terjadi
karena pilihan memakai busana Muslim dan berhijab tidak semata-mata berdasarkan
kesadaran, melainkan juga dipengaruhi oleh struktur sosial dengan kepentingan
materi (h. 235).
Pilihan terhadap Surabaya sebagai
lokasi riset juga menarik karena biasanya pilihannya jatuh ke Jakarta,
Yogyakarta, dan Bali. Justru karena itulah riset Rofhani yang memilih Surabaya
menemukan posisi penting.
Dalam risetnya Rofhani
menyatakan bahwa, “Busana dan hijab menunjukkan penegasan orientasi kelas
menengah antara nilai-nilai Islam dan kelas sosial yang memperlihatkan status
mereka sebagai bagian dari budaya modern” (h. 254).
Busana-hijab syar’i secara
intrinsik memiliki nilai sakral, diukur dari kesalehan dan wujud ketaatan yang bersifat
teologis dan dogmatis. Secara ekstrinsik busana dan hijab syar’i memiliki nilai
profan yang menunjukkan budaya yang sedang populer, tetapi masih memiliki
nilai-nilai religius yang bersifat etis sekaligus tetap mengandung unsur
estetika (h. 270).
Bagian terakhir buku ini
adalah riset Dr. Siti Mahmudah. Judul risetnya adalah “Pemikiran Khalîl
‘Abd al-Karîm (1930-2002) tentang Reformasi Syari’at
Islam di Mesir dan Pengaruhnya terhadap Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia”. Prof. Virginia Hooker dalam kata pengantarnya menyatakan bahwa,
“Dr. Siti Mahmudah has chosen an ambitious and unusual topic for her research.
The thinking of an Egyptian scholar, whose writings are little known among
non-Muslim scholars, and the influence of those writings on several influential
Indonesian scholars seems to be drawing a long-bow” (h. 281).
Argumentasi studi Dr. Siti
Mahmudah bahwa isu pemahaman dan praktik syariat Islam telah melahirkan
kontroversi panjang antara kelompok Islamis/fundamentalis dan liberal Muslim,
baik di Mesir maupun di Indonesia (h. 283). Khalil dipilih karena memiliki pemikiran
yang konsen terhadap reformasi syariat Islam di Mesir. Syariat Islam menjadi
perdebatan berkepanjangan antara kelompok Islamis, kelompok kiri, dan rezim.
Menurut Khalil, syariat
Islam itu dipahami sama dengan kelompok Islamis. Bedanya, Islamis memahami
syariat secara historis-tekstual, sedangkan Khalil memahaminya secara historis
kontekstual. Menurut Khalil, “...syariat Islam yang benar adalah apa yang sudah
dipraktikkan oleh Nabi Saw. Di Mekah dan Madinah dan bersumber dari wahyu
Allah” (h. 286).
Posisi Khalil sangat unik
dan keluar dari pemikiran pada umumnya. Metodologi yang digunakan dalam
mengkaji sejarah syariat Islam paralel dengan perkembangan yang berlangsung,
baik dari dunia Islam maupun dari luar. Keunikan pemikirannya terletak pada
pendekatan sejarah yang digunakan. Ia menjadikan Mekah dan Madinah untuk
meneliti pergolakan Islam dari titik awal sampai berakhirnya masa Nabi. Tokoh
pembaru lain—An-Naim misalnya—hanya menggunakan sejarah Islam Mekah dalam
dekonstruksi syariah (h. 299-300).
Riset Dr. Siti Mahmudah
sangat menarik karena memetakan relasi pengaruh Muhammad Abduh. Menurut dosen
UIN Raden Intan Lampung ini, posisi Abduh unik karena ia menjadi inspirasi para
pembaru. Abduh memengaruhi tiga orang: Khalil, Cak Nur, dan Gus Dur. Ketiga
tokoh ini memengaruhi terhadap JIL.
Keenam tulisan di buku alumni
PIES ini memperkaya kajian Islam. Ada banyak wawasan, pengetahuan, perspektif,
dan metodologi yang ditawarkan. Membaca buku ini bisa memperkaya pengetahuan
kita dalam kajian Islam. Saya merekomendasikan teman-teman sekalian memiliki
buku ini. Selamat membaca.
Trenggalek, 6-6-2017.
Assalamu'alaikum. Pak Dr. Naim, terimakasih atas postingannya yang sangat bagus.
BalasHapusWassalamualaikum Wr. Wb. Terima kasih juga telah berkenan mengunjungi blog sederhana ini.
BalasHapusSaya sudah membaca sejak kemarin tentang resensi Bapak. Hal yang paling menarik buat saya dalam postingan tersebut adalah penelitian tentang pluralisme di pesantren dan model dakwah yang dikembangkan oleh JT. Pluralisme di pesantren merupakan sesuatu yang sangat langka di Indonesia yang ber-Bhineka Tungggal Ika. Tentu ada pelajaran yang sangat berharga bagi umat Islam khususnya pesantren bahwa betapa indahnya toleransi dalam Islam. Selanjutnya tentang model dakwah dengan tiga model khuruj, ta'lim bayan dan ijtima' juga merupakan hal baru yang bisa saya jadikan sebagai referensi.
BalasHapusAkhirnya kembali saya ucakan terima kasih atas postingannya dan jazakallah ahsanal jaza'.