Memotret Realitas Secara Cerdas
Judul Buku: Seribu Senyum dan Setetes Air Mata
Penulis: Myra Sidharta
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Edisi: Maret 2015
Halaman: xvi+328 halaman
Peresensi: Ngainun
Naim
Apakah teman-teman sekalian
mengenal penulis Myra Sidharta? Jika belum silahkan mencarinya di Google. Anda akan
memperoleh informasi yang memadai tentang beliau.
Myra Sidharta adalah seorang
psikolog, pakar sastra Tionghoa Melayu, dan juga kolomnis. Karyanya tersebar di
berbagai media. Buku-bukunya bertebaran di berbagai toko buku, termasuk buku
yang sedang saya ulas ini.
Jujur ini merupakan buku pertama
yang saya miliki dari karya perempuan yang menguasai beberapa bahasa ini (Inggris,
Belanda, Jerman, Prancis, Mandarin, dan Indonesia). Awalnya saya melihat cover buku
yang diposting oleh Ngadiyo, pemilik toko buku Diomedia Solo, di facebook. Kebetulan
dia sedang membikin diskon; beli 1 buku gratis 1. Saya memilih buku Myra
Sidharta dengan bonus novel Arafat Nur, Tempat
Paling Sunyi. Setelah saya melakukan pembayaran, buku kemudian dikirim.
Buku ini merupakan kumpulan
artikel beliau di berbagai media massa sepanjang tahun 1983-2011. Penerbitan buku
ini pada tahun 2015 sekaligus sebagai perayaan ulang tahunnya yang ke-88. Tentu
ini merupakan buku luar biasa dari seorang ahli yang menekuni bidang keilmuan
sampai usia senja. Sampai usia yang mendekati 90 tahun, beliau masih terus
membaca, meneliti, dan menulis.
Buku yang sedang saya ulas
ini terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama bertajuk “Handai Tolan”. Bagian
kedua judulnya cukup unik, yaitu “Perantau Merantau”. Bagian ketiga berjudul “Sisi
Lain Renungan”. Dan bagian keempat judulnya “Menjelang Senja”. Pembagian ini
saya kira untuk mengumpulkan tulisan yang memiliki tema berdekatan. Sebagai kumpulan
artikel, tentu tidak mudah berada dalam alur tema tertentu. Tema bersifat umum
dan disesuaikan dengan konteks ketika pembuatan.
Perspektif psikologi dan kisah
tentang orang Tionghoa cukup mewarnai isi tulisan demi tulisan di buku ini. Saya
kira wajar karena konteks eksistensi pemikiran seseorang dipengaruhi oleh latar
belakang keilmuan, pendidikan, lingkungan, dan hal-hal yang menarik minat
perhatiannya. Hal tersebut tampaknya berlaku pada Myra Sidharta. Ia merupakan
seorang ilmuwan yang berlatarbelakang psikologi dan menekuni kajian kebudayaan
Tionghoa, khususnya sastra.
Apa yang ditulis tidak
semuanya baru, tetapi ia mampu menyajikannya secara menarik dan memberikan
perspektif berbeda. Bahasanya sederhana, mudah dipahami, dan menyelipkan humor
di bagian-bagian tertentu. Bukan berarti semuanya bercerita tentang hal yang
membahagiakan. Ada juga tulisan penuh kesedihan. Namun demikian Myra Sidharta
berusaha menghapus kesedihan yang ada dan mengubahnya menjadi kebahagiaan. Saya
kira spirit itu terbaca dari judul buku ini, Seribu Senyum dan Setetes Air Mata.
Kita bisa menyimak hal
semacam ini pada artikel yang berjudul “Mencari Rumah Nenek Moyang di Tiongkok”.
Myra adalah generasi ketiga yang menempati bumi Indonesia. Kakeknya berasal
dari Tiongkok. Irama kehidupan yang dinamis memaksa kakeknya merantau ke
Indonesia. Dan yang menyedihkan, demi perjalanan itu kakeknya harus ‘menggadaikan’
adiknya.
Myra menulis dengan dinamika
naik-turun. Terlihat sekali ia menulis dengan keterlibatan emosi yang tinggi. Saya
kira itu wajar karena melihatkan kehidupan kakeknya. Justru karena itulah ia
ingin melacak jejak nenek moyangnya.
Perjalanan menuju Meixian,
kota kelahiran almarhum kakeknya diuraikan secara panjang lebar. Paparan Myra
Sidharta mengalir lancar. Terlihat bagaimana karakter keilmuan dalam
tulisannya. Selain mempersiapkan aspek teknis, ia juga melakukan dua hal.
Pertama, mencari buku tentang silsilah keluarga. Dan kedua, belajar tentang
sejarah orang Hakka. Modal tersebut berperan sangat penting dalam memperlancar
kegiatannya mengunjungi tanah leluhur. Ada bagian dari tulisan tentang
berkunjung ke tempat leluhurnya tersebut yang menunjukkan karakter kuat tulisan
Myra Sidharta. “Kapal terbang yang saya tumpangi tidak besar dan hanya dapat
mengangkut 48 penumpang. Keadaannya sudah jelek, seperti opelet tua dan
baling-balingnya sudah karatan. Tentu saja saya sangat cemas ketika
terombang-ambing di udara. Tetapi perasaan ini hilang, waktu saya mengingat
cerita kakek almarhum mengenai perjalanannya ke Indonesia.
Waktu itu ia juga mengalami
cuaca buruk dan ia selalu menceritakan dengan penuh semangat, bagaimana kapal
layarnya diombang-ambingkan ombak setinggi rumah dan bagaimana ia hampir
tenggelam karena sudah tidak kuat lagi memegang tali layar (h. 16). Begitulah cara
Myra membalik kesedihan dengan optimisme. Sebuah cara yang saya kira sejalan
dengan posisinya sebagai seorang psikolog.
Perspektif psikologi juga menarik
saat Myra menganalisis tentang perjudian. Hal ini bisa kita kita simak pada
artikel dengan judul “Judi dalam Cahaya Ilmu Jiwa”. Saya mendapatkan perspektif
yang mencerahkan dari artikel ini. Judi, menurut Myra, merupakan aktivitas
sangat kompleks dan tidak dapat dipahami secara rasional. Pendekatan
psikoanalisis dengan menelisik jiwa tak sadar yang digunakan dalam tulisan ini
bisa sedikit mengurai tentang fenomena judi. Salah satu perspektif menarik
menyebutkan bahwa judi diibaratkan oleh Myra seperti buang hajat. Menghabiskan
uang dapat dilihat sebagai buang hajat dan rasa lega yang ditimbulkannya
setelah itu.
Tulisan dengan judul “Apa
Salahnya Bekerja Keras?” menggelitik untuk disimak. Pada paragraf ketiga Myra
menulis, “Mereka telah mengorbankan beberapa tahun kehidupan mereka dengan
belajar, kemudian mereka mengorbankan sisa kehidupan mereka dengan bekerja
tanpa pamrih. Namun, mereka tidak menyesal dengan pekerjaan mereka. Mereka
mungkin bisa mengumpulkan sedikit uang, tetapi jelas tidak akan bisa masuk
dalam daftar nama orang terkaya di Asia yang disusun oleh majalah Fortune (h. 40-41).
Myra juga berbagi kiat
sukses bekerja, yakni menemukan pekerjaan yang menyenangkan dan pekerjaan
tersebut dihormati oleh orang lain. Bagian penutup tulisan sungguh mengesankan.
“Bekerja giat dengan penuh kecintaan, percayalah, akan membuat hidup lebih
bahagia” (h. 47).
Banyak istilah unik yang
digunakan Myra Sidharta di buku ini. Tentu, membacanya membuat tersenyum. Misalnya
saat menceritakan lelaki tua yang mencintai wanita muda, ia menulis membuat
metafor “seekor kambing tua masih doyan kambing muda”. Di saat lain ia menulis
dengan istilah yang tidak kalah lucu, yaitu “manusia musim semi” dan “manusia
musim rontok” (h. 73).
Pada esai yang berjudul
“Hobi Istri Gerutu Suami” diuraikan banyak kasus. Salah satunya seorang suami
yang mengadukan hobi belanja istrinya yang berlebihan kepada Prof. Valentino
dalam suatu seminar. Jawaban Prof. Valentino cukup menghentak kesadaran.
“Menurut saya, yang tidak dapat cukup kasih sayang dari manusia, akan
mencurahkan kekurangan itu kepada benda-benda. Maka, cobalah memberikan kasih
sayang kepadanya. Sedikit perhatian saja sudah cukup” (h. 84).
Aspek penting yang saya kira
sekarang ini semakin jarang dilakukan orang adalah menulis surat. Era sekarang
saya kira memang sudah berkembang pesat dibanding era ketika artikel berjudul “Pos
Sampah” dibuat, yaitu tahun 1993. Saat itu saja Myra sudah membuat tulisan yang
saya kira cukup kritis, yaitu tentang menulis surat.
Myra secara intrinsik
mengajak kita semua untuk rajin menulis surat. Ia mengambil contoh RA Kartini yang
dinilainya sebagai fenomenal. Tokoh lain yang juga rajin menulis surat adalah Psikolog
Sigmund Freud. Meskipun memiliki kesibukan yang sangat tinggi, Freud ternyata
mampu menyisihkan waktunya untuk menulis ribuan surat kepada para pasiennya dan
para rekannya. Surat yang ditulis dapat menjadi media untuk melacak jejak
perkembangan pemikiran dan aktivitas Freud dari waktu ke waktu.
Pada bagian akhir tulisannya
Myra Sidharta menulis dengan nada galau. Menurutnya, generasi sekarang bukan
generasi yang gemar menulis. Mereka gemar mengangkat telepon dan gemar
berbicara selama berjam-jam. “..entah bagaimana generasi mendatang memperoleh
data, bila mereka mau menulis biografi atau sejarah” (h. 122). Jika ditarik ke konteks
sekarang, generasi muda lebih suka bermain gadget daripada menulis.
Banyak hal unik yang mewarnai
isi buku ini. Saat dalam perjalanan menuju Amsterdam, misalnya, Myra Sidharta duduk
satu kursi dengan orang Belanda. Terjadilah perbincangan antara mereka berdua. Persoalan
pertama yang dibincangkan tentu hal yang bersifat pribadi, sekitar nama, tempat
tinggal, dan sebagainya. Saat Myra menyatakan bahwa ia tinggal di Jakarta,
teman sebangku tersebut berkata dengan seru:
“Jakarta!” ia berseru, “mana
mungkin? Jakarta begitu kotor dan begitu banyak pengemis, saya tidak mengerti
bahwa ada orang yang bisa hidup di kota itu.”
Tentu bukan rahasia lagi
bahwa siapa pun tidak suka bila negara atau kotanya dikritik, meskipun
sebetulnya setuju dengan pendapat pengkritik. Jadi saya juga siap mempertahankan
Jakarta tercinta. Saya mengatakan bahwa pasti banyak yang tidak setuju dengan
pendapatnya sebab jutaan orang yang tinggal di Jakarta sepakat bahwa kota itu
nyaman. Bukankah Jakarta merupakan kota dengan cahaya cemerlang dan berkembang
pesat? Begitulah, Myra kemudian menyerang balik si Belanda (h. 135).
Kartu undangan pernikahan
yang sederhana pun di tangan Myra Sidharta menjadi fenomena yang menarik untuk
diamati. Salah satu yang ia cermati adalah tulisan di kartu undangan yang
berbunyi, “Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, kami akan lebih berbahagia bila
tanda kasih sayang yang diberikan tidak berupa cenderamata atau karangan bunga”
(h. 165). Tulisan ini menarik karena meneropong tentang banyak hal secara
kritik dan eksentrik.
Saya suka tulisan Myra
Sidharta yang berjudul “Di Balik Kecanggihan Barang Elektronik”. Di tulisan ini
diceritakan tentang wawancara Myra dengan penulis buku silat fenomenal Kho Ping
Hoo yang pernah menulis 200 judul cerita dalam hidupnya. “Saya tidak pernah
menggunakan komputer. Saya mempunyai mesin tik yang sedang, yang bisa dibawa ke
mana-mana dan saya membawanya kalau saya ke tempat peristirahatan saya di
Tawangmangu. Semua buah karya saya diciptakan dengan alat ini. Saya menyukai
irama dan bunyinya yang memberikan inspirasi kepada saya, maka saya bisa
bekerja cepat. Di depan komputer saya merasa sepi dan blonesome. Pikiran saya
menjadi blank” (h. 172-173).
Begitulah, hal-hal sederhana
dan biasa diteropong secara cerdas oleh Myra Sidharta. Kita layak belajar
banyak kepada perempuan energik yang terus berkarya hingga usia senja. Menurut pengakuannya,
ia puas dengan menulis. “Saya bukan kolomnis besar, tidak kaya, tetapi saya
puas karena nama saya “masuk” surat kabar atau majalah tertentu dan “masuk”-nya
bukan sekadar di iklan duka cita, melainkan sebagai penulis artikel” (h. xi-xii).
Tulungagung,
9 Juni 2017
Tidak ada komentar: