Berkenalan dengan Etnografi
Oleh Ngainun Naim
Mendalami
bidang baru dalam penelitian dengan berguru langsung kepada ahlinya sungguh
menyenangkan. Saya menjadi sedikit lebih paham dibandingkan sebelumnya yang
sekadar membaca buku saja. Hal itu yang saya rasakan saat mendapatkan materi etnografi
dari Dr. Muhammad Adlin Sila, M.A.
Peneliti
dari Puslitbang Kemenag ini meraih dua gelar doktor, yaitu dari Universitas
Indonesia dalam bidang Sosiologi dan dari Australian National University (ANU)
dalam bidang Antropologi. Meraih dua gelar doktor jelas tidak mudah. Itu
merupakan prestasi akademik yang tidak sederhana. Hal itu juga menunjukkan
bahwa Dr. Muhammad Adlin Sila adalah seorang ilmuwan dengan kapasitas keilmuan
yang tidak perlu untuk diragukan lagi.
Peserta serius mendengarkan paparan narasumber |
Pada
awal sesi, Adlin bertanya secara individual kepada peserta yang duduk di bangku
depan. Dengan sabar ia mendengarkan penjelasan peserta dan bertanya tentang
beberapa hal. Setelah selesai pada barisan pertama, ia kemudian masuk ke
materi, yaitu tentang etnografi.
Menurut
Adlin Sila, substansi etnografi adalah understanding, verstehen, yaitu
membangun pemahaman yang sama dengan orang yang diteliti. Membangun pemahaman
ini jelas bukan pekerjaan sederhana dan mudah. Implikasinya, seorang etnografer
itu harus lebih banyak mendengar, sabar, tidak menggurui, dan tidak ingin cepat-cepat
mendapatkan hasil. Jika pun tidak sepakat dengan pendapat informan, jangan dikonfrontir
secara langsung dengan informan. Adlin Sila secara bagus memberikan contoh apa
yang dilakukannya pada awal sesi. Sabar dan tenang mendengarkan penjelasan
orang lain merupakan aspek yang melekat pada seorang etnografer. Kesabaran ini
akan melahirkan understanding orang atau masyarakat yang diteliti. Seorang
etnografer, karenanya harus ”mendengarkan” atau ”mengorangkan” yang diwawancarai.
Aspek
penting yang menentukan keberhasilan penelitian etnografi adalah kepercayaan.
Adlin Sila menjelaskan satu istilah penting dalam etnografi, yaitu rapport.
Rapport adalah trust building, yaitu membangun kepercayaan orang
yang diwawancarai agar mereka terbuka dan menyampaikan secara jujur, terbuka,
dan apa adanya sesuai dengan yang kita inginkan.
Foto bersama narasumber |
Membangun kepercayaan itu sangat
penting. Saat wawancara, sangat mungkin seseorang memberikan jawaban yang
memerlukan penelusuran lebih jauh. “Belum tentu
jawaban itu seperti yang disampaikan informan karena individu itu subjektif.
Bukan berarti tidak percaya. Jawaban yang diberikan itu masih sementara. Rapport
itu mencari ”apa yang sebenarnya terjadi di lapangan” yang kemudian
memunculkan pertanyaan lanjutan sampai jenuh. Karena itu ketemu dengan informan
bisa berkali-kali”, tegas Adlin Sila.
Dalam
menggali data, ada hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti
etnografi, yaitu pentingnya seorang gatekeeper yang berperan sebagai
perantara antara peneliti dengan informan. Sederhananya, gatekeeper
itu semacam kontak person. Mereka berfungsi sebagai jembatan yang membantu
menghubungkan antara peneliti dengan informan.
Namun
demikian seorang etnografer harus memahami bahwa adanya gatekeeper
bukannya tanpa kelemahan. Kelemahannya biasanya seorang gatekeeper cenderung
mengarahkan ke orang-orang tertentu karena ingin informasi yang diperoleh oleh
peneliti hanya yang baik-baik saja. Seorang etnografer seharusnya mampu
menggali hal-hal yang ada secara lebih mendalam dan apa adanya.
Slide narasumber |
Oleh
karena itu, Adlin Sila memberikan saran agar gatekeeper itu tidak hanya
satu orang saja, melainkan beberapa orang. Beberapa orang memberikan peluang
lebih besar untuk menghadirkan data secara lebih komprehensif.
Selain
itu, hal yang juga penting untuk diperhatikan adalah gatekeeper sebaiknya
berasal dari komunitas yang diteliti. Pertimbangannyaa karena mereka lebih mengetahui
secara detail terhadap kondisi komunitas atau individu yang diteliti.
Adlin
Sila membuat tamsil yang menarik mengenai kerja etnografi, yakni ibaratnya
seperti memasuki rumah. Seorang gatekeeper sangat besar perannya dalam
menentukan agar seorang peneliti bisa masuk ke ”halaman rumah”. Setelah seorang
peneliti bisa masuk ke ”halaman rumah”, maka jangan puas. Harus diusahakan bisa
sampai ke ”teras rumah”. Sekali lagi Adlin Sila mengingatkan agar jangan puas
saat diterima di ”teras rumah” di mana semua pertanyaan sudah terjawab. Itu
baru memperoleh data ”teras rumah”, padahal yang diinginkan adalah understanding
seluruh isi rumah.
Lebih
lanjut Adlin Sila menjelaskan bahwa penelitian etnografi tidak bisa
dilaksanakan hanya dengan sekali kunjungan dan dalam waktu yang singkat.
Dibutuhkan keterlibatan secara intensif
seorang peneliti dan dalam waktu yang lama. Karena itu seorang etnografer harus
memiliki komitmen, passion, dan kecintaan terhadap etnografi.
Implikasinya, seorang etnografer harus sabar dan jujur; sabar karena sekali
datang tidak mungkin mendapatkan semua data dan jujur tanpa menyembunyikan
hal-hal tertentu. Etnografer yang tidak jujur bisa menggugurkan trust yang
sudah diberikan oleh informan atau komunitas tempat dilaksanakannya penelitian.
Etnografi
itu berlandaskan pada filsafat post-positivisme. Apa yang diminta adalah subjektivitas sebagai
peneliti. Dalam analogi yang digunakan oleh Adlin Sila tentang rumah, yang seharusnya
diperoleh dalam penelitian etnografi adalah ”rumah secara keseluruhan”, bukan
sekadar ”teras” atau ”ruang tamu”. Berbeda dengan penelitian kuantitatif, instumen
etnografi adalah adalah peneliti sendiri. Karena itu pada aspek validasi, yang
harus divalidasi adalah diri peneliti sendiri.
Penelitian
etnografi tidak selalu mudah, bahkan pada kondisi tertentu bisa sangat sulit
dan beresiko. Adlin Sila bercerita bagaimana untuk membangun trust saat
ia melakukan penelitian, dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan. Durasi waktu yang
sepanjang itu tentu membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk menjalaninya. Tidak
jarang etnografer yang belum berpengalaman pada akhirnya mundur karena gagal
masuk ke komunitas yang akan diteliti. Ada beberapa kemungkinan negatif yang
harus diterima oleh seorang peneliti, yaitu: (1) dicurigai; (2) ditolak; (3)
diusir; (4) disandera; dan bahkan (5) dibunuh.
Tentu
semua berharap agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Seseorang yang
jelas-jelas memilih melakukan penelitian etnografi harus memahami berbagai
kemungkinan yang ada, baik positif maupun negatif. Pemahaman ini penting untuk
membangun strategi dan berbagai kemungkinan yang akan dihadapi saat
melaksanakan penelitian.
Saat kepercayaan
masyarakat sudah terbangun, penelitian menjadi mudah untuk dijalankan. Peneliti
etnografi akan menjadi bagian dari masyarakat atau komunitas yang ditelitinya. Kepercayaan
itu harus dijaga dan dikelola secara baik. Saat penelitian ditulis, juga harus
mendapatkan persetujuan dari komunitas yang diteliti. ”Itu disebut native
understading”, jelas Muhammad Adlin Sila. Hal ini merupakan manifestasi
dari trust yang sudah terbangun. Sekali kepercayaan ternodai maka tidak
mungkin lagi seorang peneliti etnografi mendapatkan hasil penelitian yang baik
dari komunitas tersebut.
Saat seorang
peserta bertanya tentang batas selesainya penelitian etnografi, Adlin Sila
menjelaskan bahwa penelitian etnografi itu tidak pernah selesai. Jadi semacam
siklus. Suatu saat peneliti akan terus kembali ke daerah itu. Adlin Sila
menyebutnya sebagai prolong engagement. Dan cara ini menjadi metode
memvalidasi.
Bagaimana
cara memutuskan lokasi penelitian? Ada banyak cara yang bisa dilakukan. Adlin
Sila menyarankan agar seorang peneliti etnografi banyak membaca buku-buku
tentang lokasi di mana akan meneliti. Seorang peneliti harus menemukan celah,
lalu buat pertanyaan penelitian yang mensistematisir celah yang akan diteliti. Setelah
semuanya jelas, baru ke lapangan. Karena telah memiliki bekal pengetahuan yang
memadai maka ada proses yang mengalir. Dalam proses mengalir ini seorang
etnografer harus rajin membuat catatan. Terkadang memori memang diandalkan
karena tidak memungkinkan untuk mencatat seketika itu juga. Karena itu seorang peneliti
etnografi harus memiliki ingatan yang kuat. ”Catat saja kata-kata kuncinya,
tetapi detailnya harus diingat. Ada istilah Jotted Notes yaitu catat
ketika ingat. Saat ada kesempatan harus ditulis. Cara membahasakan kembali
disebut paraphrase: menulis dengan bahasa sendiri”, papar Muhammad Adlin
Sila.
Aspek
yang perlu diperhatikan yaitu catatan lapangan harus diberi judul, tempat,
waktu, dan konteks. Hal ini penting agar catatan demi catatan yang ada
tidak kehilangan konteks saat dicermati kembali. Setelah mencatat kemudian dianalisis.
Jika ada yang belum jelas, maka akan muncul pertanyaan lagi. Itu artinya working
rapport, yaitu laporan yang belum selesai. Ada sesuatu yang belum
memuaskan karena kurang. Proses meng-counter dilakukan setelah
menuliskannya.
Sesungguhnya
etnografi tidak cukup dipelajari hanya dalam sebuah pertemuan. Ada begitu
banyak pengetahuan yang penting dipelajari dari bidang ini. Tetapi sebagai perkenalan,
saya mendaapatkan sangat banyak hal berharga dari paparan yang diberikan oleh
Dr. Muhammad Adlin Sila. Semoga suatu saat mendapatkan kesempatan mendalami dan
mempraktikkannya dalam sebuah penelitian.
Ciputat, 30 Juli 2016
Laporan yang sangat bagus, saya pernah praktek etnograf (disertasi) meskipun mungkin belum sempurna.
BalasHapusLaporan yang sangat bagus, saya pernah praktek etnograf (disertasi) meskipun mungkin belum sempurna.
BalasHapusWah, malah baru tahu. Saya harus baca disertasinya Dr. M. Arif Faizin.
Hapus