Menyelamatkan Khazanah yang Terpendam
Oleh Ngainun
Naim
Indonesia
sesungguhnya sangat kaya naskah-naskah kuno tulisan tangan yang sarat informasi
dan pengetahuan. Naskah-naskah yang sangat berharga tersebut sebagian besar
tersimpan di rumah-rumah warga. Mereka memperlakukan naskah tersebut tidak
sebagaimana mestinya. Ada yang tersimpan begitu saja tanpa perawatan memadai. Ada
yang dijadikan sebagai jimat. Dan yang mengenaskan, ada yang menjualnya ke
pihak-pihak asing dengan harga murah.
Kepedulian
terhadap naskah kuno tulisan tangan yang lazim disebut sebagai manuskrip
tersebut masih sangat rendah di masyarakat kita. Selain itu, jumlah mereka yang
memiliki kepedulian secara intelektual karena menekuni bidang ini juga belum
terlalu banyak. Implikasinya, kekayaan khazanah yang sedemikian berharga
kemudian terlantar sia-sia.
![]() |
Peserta mengamati sebuah manuskrip |
Kemajuan
sebuah negara dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah pada
penghargaan terhadap manuskrip. Manuskrip yang dirawat, diterjemahkan,
disosialisasikan, dan dijadikan bacaan oleh masyarakat luas memiliki pengaruh
besar terhadap bangunan pemikiran masyarakat yang membacanya. Justru karena
itulah pemahaman terhadap aspek ini penting untuk disosialisasikan secara luas.
Secara
pribadi saya belum pernah menekuni bidang ini. Membaca buku tentang metode penelitian
atau hasil penelitian tentang manuskrip juga belum pernah saya lakukan secara
intensif. Karena itu, ketika saya mendapatkan wawasan dalam pertemuan selama
sekitar 4 jam pada hari Sabtu 30 Juli 2016 bersama Dr. Fakhriati, MA dari
Puslitbang Kemenag Pusat, saya merasa sangat bersyukur. Sungguh, saya seperti
tersentak mendengarkan paparan-paparan beliau. ”Kajian naskah itu tidak hanya
untuk filolog. Ilmuwan dari bidang-bidang ilmu yang lainnya juga penting
mengkajinya karena di dalam naskah ada banyak informasi yang sangat berharga”,
papar Doktor Filologi dari Universitas Indonesia dan Master dari sebuah
universitas di Belanda tersebut.
Saya memang
belum memiliki kesadaran untuk menicintai naskah klasik. Juga sama sekali belum
memiliki pengetahuan memadai dalam bidang ini. Paparan interaktif perempuan
asal Aceh tersebut seperti membangunkan kesadaran saya. Menurut beliau, menyelamatkan
manuskrip itu sangat penting artinya. Ada beberapa langkah yang beliau
sarankan. Pertama, jangan sampai naskah yang ada terjual ke luar negeri.
Bukan rahasia lagi jika kita tidak memiliki kesadaran untuk merawat
naskah-naskah tersebut. Pihak luar yang justru berburu secara intensif terhadap
naskah-naskah klasik tersebut. Saya pernah membaca jika pusat naskah klasik
khazanah Indonesia justru tidak di Indonesia, tetapi di Belanda. Tentu ini
merupakan sebuah ironi.
![]() |
Manuskrip di sebuah pesantren di Narathiwat, Thailand |
Kedua, jika kita
memiliki naskah klasik, maka naskah tersebut harus dirawat secara baik. Ada berbagai
langkah yang dijelaskan secara sistematis oleh Dr. Fakhriati, yaitu: (1) jika naskahnya
sudah sangat lama maka begitu ketemu naskah tersebut dibiarkan selama beberapa
hari sampai aman. Sebuah naskah yang berpuluh-puluh tahun tidak dibuka
mengandung zat yang berbahaya. Karena itu sebelum dibuka, naskah harus
dipastikan aman. (2) Membersihkan naskah tersebut dari debu dan kotoran dengan
menggunakan kuas. (3) Menaruh naskah tersebut di tempat yang agak dingin. (4) Menaruh
cengkeh atau kapur beras atau bahan lainnya yang memiliki fungsi sama untuk
menghilangkan ngengat.
Setelah
melakukan langkah kedua, maka langkah ketiga yang penting adalah
melakukan digitalisasi. Dr. Fakhriati secara teknis menjelaskan tentang
berbagai langkah melakukan digitalisasi naskah tersebut. Beliau juga memberikan
informasi tentang laman yang berisi naskah-naskah hasil digitalisasi.
![]() |
Sesi foto bersama |
Ada berbagai
informasi dan pengetahuan baru yang saya peroleh dari ceramah yang disampaikan
Dr. Fakhriati. Salah satunya adalah bagaimana semangat menulis dari para ulama
terdahulu di saat teknologi pendukungnya belum ada. Mereka menulis tangan. Sungguh
menulis tangan itu pekerjaan yang tidak sederhana dan mudah, tetapi mereka
ternyata mampu menghasilkan karya yang tidak sedikit.
Realitas
semacam ini bisa menjadi titik pijak untuk refleksi terhadap diri saya secara
pribadi. Secara teknologi, sesungguhnya saya sangat diuntungkan dalam hal
fasilitas menulis. Tetapi dalam produktivitas ternyata masih kalah dengan para
pendahulu yang minim sarana menulis.
Produktivitas
lain yang penting untuk menjadi bahan refleksi adalah tentang tradisi menyalin.
Di zaman dulu, seorang ulama yang menulis karyanya biasanya disalin dalam
tulisan tangan oleh muridnya. Tradisi menyalin tulisan ini merupakan tradisi
reproduksi khazanah intelektual yang sangat penting. Jika salinan itu jumlahnya
banyak maka disebut varian.
Pertemuan
sekitar empat jam tentu masih sangat jauh dari cukup untuk memahami penelitian
manuskrip. Tetapi setidaknya saya secara pribadi mendapatkan wawasan baru untuk
lebih menghargai naskah klasik. Saya membayangkan betapa kayanya khazanah intelektual
Islam kita yang selama ini ada seandanya dikelola secara baik dengan mengikuti
metode penelitian manuskrip.
Ciputat, 30 Juli 2016
Merawat naskah butuh kesabaran, ya Pak Ngainun
BalasHapusBetul Bu Noer Ima Kaltsum. Butuh kesabaran tingkat tinggi.
Hapusterimakasih pak....paparannya lebih segar dan menarik, jadi mengubah image klo penelitian manuskrip "membosankan", ditunggu ulasan2 berikutnya..... :)
BalasHapusSama-sama Bu Needa. Terimaa kasih. Mohon doanya agar selalu istiqamah untuk menulis.
Hapus