Ziarah Kubur dan Mensyukuri Kesempatan

April 11, 2024

Ziarah di makam KHM. Ali Shodik Uman PPHM Ngunut Tulungagung

Ngainun Naim

 

Hari Senin [8 April 2024] yang redup. Semalam hujan turun meskipun tidak deras. Lumayan membasahi bumi yang kering kerontang. Panas yang biasanya mewarnai hari demi hari di bulan Ramadan menjadi tergantikan dengan suasana sejuk. Sungguh menggembirakan.

Sejak semalam saya sudah berniat untuk berziarah ke makam leluhur. Ke makam Almarhum Bapak dan kedua orang tua Bapak cukup sering saya lakukan. Setiap ada kesempatan saya berziarah. Kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Ini karena lokasi makam yang hanya sekitar 500 meter dari rumah Ibuk.

Namun ada beberapa makam yang lokasinya berjauhan. Mbah Buyut Sabari dan Mbah Mustamar (Bapak angkat Ibuk) ada di Makam Umum Desa Sambijajar Sumbergempol Tulungagung. Mbah Putri Hj. Sringatun dan saudara serta leluhurnya ada di Makam Desa Bendiljati Wetan Sumbergempol. Makam Mbah Kakung, Budhe, dan Pak Dhe ada di Makam Lak Alung Ngunut. Jadi ada tiga lokasi yang kami ziarahi paling tidak setahun sekali. Kadang juga lebih dari sekali.

Ketika ada kesempatan ziarah, itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Kesempatan itu mahal harganya. Bukan soal jarak tetapi kesempatan.

Jam 10.22 saya berkabar di Grup WA keluarga. ”Adakah yang minat ikut ziarah kubur? Mumpung matahari redup. Jika ada, sejam lagi mobil nyampai Sambidoplang”.

Ibuk ternyata berkenan ikut. Sungguh menyenangkan. Maka saya pun segera meluncur ke rumah Ibuk. Pada akhirnya ada empat orang yang berziarah: saya, Ibuk, Mas Qubba, dan Adik Hafidz.

Suasana berangsur panas. Matahari tampil dengan garangnya. Tetapi semangat tetap tidak berkurang. Banyak orang yang tidak memiliki kesempatan untuk menziarahi makam leluhurnya. Bisa jadi karena jarak tinggal yang jauh. Bisa juga karena satu dan lain hal. Maka, kesempatan menziarahi makam leluhur merupakan anugerah hidup yang harus disyukuri. Caranya adalah dengan ziarah dan berdoa kepada mereka.

Suasana akhir Ramadan menjelang lebaran memang sudah sangat terasa. Jalanan padat merayap. Pusat-pusat belanja dipenuhi pengunjung. Di sini tetiba saya teringat nasihat yang ditulis oleh Kiai M. Faizi di status FB beliau.

Puasa dengan mencukupkan pada kriteria tidak makan/minum dan bersetubuh sejak subuh sampe magrib itu hanyalah puasa ala-ala kewan, kaya kambing aja. Ini kata ulama, dan ini level terendah.

Apa kita kebanyakan di level ini?

Kalau mempertimbangkan arogansinya di jalan raya, sepertinya level kita di bawah itu lagi, level yang (menurut saya) tidak pernah dibayangkan oleh Al-Ghazali bakal pernah ada di muka bumi.

 

Status sederhana namun mendedahkan ruang refleksi yang mendalam. Puasa itu bukan hanya dalam hal mencegah makan, minum, dan hubungan seks tetapi juga mencegah dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam soal lalu lintas juga harus mampu menahan diri. Aturan ditaati. Itu adalah aktualisasi dari ibadah puasa dalam kehidupan secara lebih luas.

Melihat cara orang berkendara sekarang ini sungguh meresahkan. Tidak hanya sepeda motor tetapi hampir semua moda transportasi. Mencari bentuk pelanggaran itu mudah. Sangat mudah. Nyaris di setiap titik ada pelanggaran.

Sepanjang perjalanan dari Rumah Ibuk ke beberapa makam, saya menyaksikan aneka bentuk pelanggaran. Macam-macam bentuknya. Ada yang menerobos lampu merah, ada yang mendahului dari arah kiri, ada yang mengambil jalan lawan arah, dan banyak lagi lainnya.

Melihat fenomena ini, saya merasakan pentingnya ziarah. Ya, lewat ziarah kubur, saya diingatkan untuk belajar menjalani kehidupan secara lebih baik. Hidup yang harus disyukuri dengan kesempatan berkendara secara baik dan tidak merugikan orang lain. Setiap kebajikan pasti akan memberikan kebajikan demi kebajikan berikutnya.

Satu kesempatan yang mahal adalah menemani Ibuk dalam berziarah. Sepanjang perjalanan, saat di kendaraan, beliau berkisah tentang banyak hal. Berkisah tentang keberuntungan dan ketidakberuntungan. Berkisah para tetangga dan handai taulan. Bersyukur atas perjalanan hidup yang sekarang ini dialami.

Ziarah kubur bukan sebatas berdoa tetapi ada dimensi lain yang mengiringi. Ia berupa buncah-buncah spirit kebahagiaan dan kebersamaan. Mengajak anak dan kemenakan juga merupakan upaya memperkenalkan kepada leluhur. Kisah-kisah yang dituturkan sepanjang perjalanan, meskipun sepintas, adalah suluh yang setidaknya memberi terang, meskipun tidak benderang. Pada dimensi yang substantif, ziarah kubur adalah upaya menyambung tradisi agar tidak berhenti. Ini tradisi yang menyalakan spirit kontinuitas kehidupan.

 

Tulungagung, 8 April 2024

2 komentar:

  1. Perjalanan ziarah yang mengesankan dan menginspirasi Prof. Semoga setiap kita mampu mengambil pelajaran dan hikmahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungan, komentar, dan doanya.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.