Ziarah Kubur dan Mensyukuri Kesempatan
Ngainun Naim
Hari
Senin [8
April 2024] yang redup.
Semalam hujan turun meskipun
tidak deras. Lumayan membasahi bumi yang kering kerontang. Panas yang biasanya mewarnai hari demi hari di bulan Ramadan
menjadi tergantikan dengan suasana sejuk. Sungguh menggembirakan.
Sejak
semalam saya sudah berniat untuk berziarah ke makam leluhur. Ke makam Almarhum
Bapak dan kedua orang tua Bapak cukup sering saya lakukan. Setiap ada kesempatan saya berziarah. Kadang
seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Ini karena lokasi makam yang hanya
sekitar 500 meter dari rumah Ibuk.
Namun ada beberapa makam yang lokasinya berjauhan. Mbah
Buyut Sabari dan Mbah Mustamar (Bapak angkat Ibuk) ada di Makam Umum Desa Sambijajar
Sumbergempol Tulungagung. Mbah Putri Hj. Sringatun dan saudara serta leluhurnya
ada di Makam Desa Bendiljati Wetan Sumbergempol. Makam Mbah Kakung, Budhe, dan
Pak Dhe ada di Makam Lak Alung Ngunut. Jadi ada tiga lokasi yang kami ziarahi
paling tidak setahun sekali. Kadang juga lebih dari sekali.
Ketika ada kesempatan ziarah, itu harus dimanfaatkan
sebaik mungkin. Kesempatan itu mahal harganya. Bukan soal jarak tetapi
kesempatan.
Jam
10.22 saya berkabar di Grup WA keluarga. ”Adakah yang minat ikut ziarah kubur? Mumpung
matahari redup. Jika ada, sejam lagi mobil nyampai Sambidoplang”.
Ibuk
ternyata berkenan ikut. Sungguh menyenangkan. Maka saya pun segera meluncur ke
rumah Ibuk. Pada
akhirnya ada empat orang yang berziarah: saya, Ibuk, Mas Qubba, dan Adik
Hafidz.
Suasana
berangsur panas. Matahari tampil dengan garangnya. Tetapi
semangat tetap tidak berkurang. Banyak orang yang tidak memiliki kesempatan
untuk menziarahi makam leluhurnya. Bisa jadi karena jarak tinggal yang jauh.
Bisa juga karena satu dan lain hal. Maka, kesempatan menziarahi makam leluhur
merupakan anugerah hidup yang harus disyukuri. Caranya adalah dengan ziarah dan
berdoa kepada mereka.
Suasana
akhir Ramadan menjelang lebaran memang sudah
sangat terasa. Jalanan padat merayap. Pusat-pusat belanja dipenuhi pengunjung. Di sini tetiba saya teringat nasihat
yang ditulis oleh Kiai M. Faizi di status FB beliau.
Puasa dengan
mencukupkan pada kriteria tidak makan/minum dan bersetubuh sejak subuh sampe
magrib itu hanyalah puasa ala-ala kewan, kaya kambing aja. Ini kata ulama, dan
ini level terendah.
Apa kita
kebanyakan di level ini?
Kalau
mempertimbangkan arogansinya di jalan raya, sepertinya level kita di bawah itu
lagi, level yang (menurut saya) tidak pernah dibayangkan oleh Al-Ghazali bakal
pernah ada di muka bumi.
Status
sederhana namun mendedahkan ruang refleksi yang mendalam. Puasa itu bukan hanya
dalam hal mencegah makan,
minum, dan hubungan seks tetapi juga mencegah dalam
seluruh aspek kehidupan. Dalam soal lalu lintas juga harus mampu menahan
diri. Aturan ditaati. Itu adalah aktualisasi dari ibadah puasa dalam
kehidupan secara lebih luas.
Melihat
cara orang berkendara sekarang ini sungguh meresahkan. Tidak hanya sepeda motor
tetapi hampir semua moda transportasi. Mencari bentuk pelanggaran itu mudah.
Sangat mudah. Nyaris di setiap titik ada pelanggaran.
Sepanjang
perjalanan dari Rumah Ibuk ke beberapa makam, saya menyaksikan aneka bentuk
pelanggaran. Macam-macam bentuknya. Ada yang menerobos lampu merah, ada yang
mendahului dari arah kiri, ada yang mengambil jalan lawan arah, dan banyak lagi
lainnya.
Melihat
fenomena ini, saya merasakan pentingnya ziarah. Ya, lewat ziarah kubur, saya
diingatkan untuk belajar menjalani kehidupan secara lebih baik. Hidup yang
harus disyukuri dengan kesempatan berkendara secara baik dan tidak merugikan
orang lain. Setiap kebajikan pasti akan memberikan kebajikan demi kebajikan
berikutnya.
Satu
kesempatan yang mahal adalah menemani Ibuk dalam berziarah. Sepanjang
perjalanan, saat di kendaraan, beliau berkisah tentang banyak hal. Berkisah
tentang keberuntungan dan ketidakberuntungan. Berkisah para tetangga dan handai
taulan. Bersyukur atas perjalanan hidup yang sekarang ini dialami.
Ziarah
kubur bukan sebatas berdoa tetapi ada dimensi lain yang mengiringi. Ia berupa buncah-buncah
spirit kebahagiaan dan kebersamaan. Mengajak anak dan kemenakan juga merupakan
upaya memperkenalkan kepada leluhur. Kisah-kisah yang dituturkan sepanjang
perjalanan, meskipun sepintas, adalah suluh yang setidaknya memberi terang,
meskipun tidak benderang. Pada dimensi yang substantif, ziarah kubur adalah upaya menyambung tradisi agar tidak
berhenti. Ini tradisi yang menyalakan spirit kontinuitas kehidupan.
Tulungagung, 8 April
2024
Perjalanan ziarah yang mengesankan dan menginspirasi Prof. Semoga setiap kita mampu mengambil pelajaran dan hikmahnya.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan, komentar, dan doanya.
HapusAssalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh...
BalasHapusTerimakasih pak Kyai... Tulisannya sederhana, tertata rapi, enak dibaca, dan Selalu menginspirasi
Waalaikumsalam. Terima kasih Bu.
Hapus