Kisah Imam Al-Ghazali sebagai Wali
Judul Buku: Kisah-kisah Ajaib Imam Al-Ghazali
Penulis: Mukti Ali
Penerbit: Mentari Media Depok
Edisi: Mei 2017
Tebal: xii+404 halaman
ISBN: 9786026940735
Dunia Islam, khususnya
Sunni, pasti tidak asing lagi dengan nama Imam Al-Ghazali. Pengaruh hujjatul
Islam tersebut sedemikian besarnya sehingga banyak kisah dan mitos yang
berkaitan dengan beliau. Saya kira hal itu wajar mengingat Imam Al-Ghazali
adalah sosok yang memang istimewa.
Keistimewaan Imam
Al-Ghazali bisa disimak juga pada kitab-kitab karya beliau yang hampir semuanya
monumental. Ratusan karyanya yang penuh kandungan ilmu dan sangat bermutu
menjadi bahan kajian dan penelitian yang tidak pernah surut. Sudah tidak
terhitung lagi jumlah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di seluruh
dunia terkait sosok Imam Al-Ghazali dan pemikirannya.
Namun demikian selalu saja
terdapat sisi unik yang belum terungkap. Perkembangan zaman yang dinamis juga
memiliki potensi kontekstualisasi gagasan dan pemikiran Imam Al-Ghazali.
Buku yang ditulis oleh
seorang kiai muda ini, Mukti Ali, semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan
tentang Imam Al-Ghazali. Fokus kajiannya adalah karomah-karomah yang dimiliki
oleh Imam Al-Ghazali.
Saya cukup menikmati
membaca buku ini. Mukti Ali cukup rajin menelaah buku-buku dan kitab-kitab yang
berkaitan dengan topik ini lalu menyajikannya dalam tulisan yang cair dan
mengalir lancar. Bahasanya runtut, enak dan sederhana.
Satu demi satu kisah
disajikan. Bahasan demi bahasan dipaparkan. Membaca bagian demi bagian buku ini
akan mengantarkan para pembaca, khususnya saya, menemukan banyak informasi
baru.
Al-Ghazali sebagai ulama
besar memiliki pemikiran yang mencerahkan umat Islam sejak masa hidupnya sampai
sekarang. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada orang yang tidak
menyukainya. Di dunia ini sebaik apapun manusia, selalu ada saja yang tidak
menyukainya. Begitu juga dengan Imam Al-Ghazali. Di buku ini diulas tentang
bagaimana orang tidak suka dengan Imam Al-Ghazali. Juga bagaimana ketidaksukaan
itu diwujudkan dalam banyak aksi, bahkan hingga ratusan tahun setelah ulama
dengan banyak karya ini wafat.
Penulis buku ini berhasil
menyajikan berbagai kisah ajaib sebagai tanda karamah kewalian Imam Al-Ghazali
yang belum banyak diulas oleh para penulis lainnya. Setidaknya sepengetahuan
saya.
Meskipun judul buku ini
adalah Kisah-Kisah Ajaib Imam Al-Ghazali, bukan berarti isinya melulu
tentang karamah Imam Al-Ghazali. Ada banyak kisah yang berkaitan—langsung atau
tidak langsung—dengan sosok yang sangat besar pengaruhnya di dunia Sunni ini.
Misalnya tentang riwayat hidupnya, proses kreatifnya, perjalanan spiritualnya,
para ulama yang terpengaruh oleh pemikirannya, geneologi pemikirannya di
Indonesia, dan berbagai aspek lainnya.
Pada titik inilah buku ini
menyajikan ruang-ruang yang belum banyak disentuh oleh para penulis yang
lainnya. Secara jeli Mukti Ali memetakan pengaruh Imam Al-Ghazali semenjak
Walisongo, khususnya Sunan Bonang dengan naskah Primbon Bonang, lalu
seabad kemudian pengaruh itu terlihat pada kitab Al-Jawiyyah karya
Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Allan al-Shiddiqi al-Asy’ari al-Syafi’i (1588-1647 M).
Pada akhir abad ke-19,
jejak pengaruh Imam Al-Ghazali tampak jelas pada kitab-kitab karya Syekh Abdus
Somad al-Palimbani. Al-Palimbani bahkan disebut sebagai “penerjemah paling
diandalkan dari karya-karya Al-Ghazali” (h. 33).
Beberapa ulama yang berjasa
besar menjelaskan dan menyebarkan ajaran dan pemikiran Al-Ghazali adalah: Syekh
Nawawi Banten, Syaikhuna Khalil Bangkalan, KH Sholeh Darat, Syekh Ihsan Jampes,
dan Syekh Hasyim Asy’ari.
Pembahasan tentang aspek
ini mempertegas besarnya pengaruh Imam Al-Ghazali di Indonesia. Riset Mukti Ali
di berbagai pesantren yang menjadikan kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali sebagai
objek studi menunjukkan bahwa pengaruh Imam Al-Ghazali sangat kuat di
Indonesia.
Pemikiran Imam Al-Ghazali
juga memiliki pengaruh di Barat. Konteks pentingnya pemikiran Al-Ghazali bisa
dilihat dengan kekawatiran orang Barat terhadap pengaruh pemikiran Ibn Rusyd.
Konstruksi pemikiran Al-Ghazali yang berhasil mendamaikan antara rasionalitas
dan tekstualitas menginspirasi pemikir Yahudi dalam mendamaikan agama dan
filsafat. Beberapa tokoh Barat yang dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali
adalah Thomas Aquinas, Rene Descartes, Pascal, David Home, Hegel, dan Immanuel
Kant.
Pada paparan tentang
pengaruh tasawuf Al-Ghazali di Barat sayangnya sangat singkat. Jika mau
menelusuri lebih jauh sesungguhnya ada peluang lebih besar untuk mengeksplorasi
pembahasan pada topik ini.
Aspek yang saya kira khas
dan penting pada diri Imam Al-Ghazali adalah Ilmu Laduni. Ilmu Laduni adalah
ilmu yang diberikan langsung oleh Allah. Ada dua cara untuk mendapatkannya.
Pertama dengan riyadhah (ritual spiritual) yang benar, mengamalkan ilmu
yang didapatkan, ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, tafakkur,
berpikir, dan merenungkan ilmu yang diperoleh secara benar. Dengan bertafakkur
secara sungguh-sungguh, seseorang akan diberikan anugerah oleh Allah berupa
penyingkapan terhadap hal-hal yang gaib (h. 59).
Buku ini memetakan secara
menarik berbagai bentuk karamah yang dimiliki oleh Imam Al-Ghazali. Misalnya,
Imam Al-Ghazali mendapatkan kebutuhan dan rezeki secara tidak terduga selama
masa pengembaraan untuk menempuh jalan sufi. Di luar itu, ada sangat banyak
jenis karamah yang lainnya.
Karamah yang dialami oleh
Imam Al-Ghazali tidak bisa dipahami oleh mereka yang menganut paradigma
positivis. Mungkin saja kalangan positivis akan menilai sebagai hal yang
khayal—bahkan mungkin menilai sebagai rekayasa. Penilaian semacam ini wajar
karena epistemologi positivis memang tidak mengakui terhadap dimensi
non-rasional dan non-empiris.
Namun demikian, ditinjau
dari perspektif tertentu, ada beberapa bagian yang terlihat berlebihan.
Misalnya, pada halaman 327 ada penjelasan tentang kesaksian sebagian besar ulama
yang menyatakan bahwa seandainya ada Nabi setelah Nabi Muhammad adalah
Al-Ghazali. Pada halaman 331 ditulis bahwa Imam Nawawi menyatakan, “Hampir saja
Kitab Ihya’ Ulumuddin Imam Al-Ghazali posisinya sama dengan Al-Qur’an”.
Penilaian semacam ini
sebenarnya sah-sah saja. Hanya memang menimbulkan perdebatan—bahkan
penolakan—bagi kalangan yang kurang sepakat. Dalam kerangka keilmuan, realitas
semacam ini sesungguhnya wajar saja. Justru dari perdebatan semacam ini
keilmuan bisa tumbuh dan berkembang.
Buku ini cukup bagus. Jika
dicetak ulang, saya mengusulkan beberapa hal. Pertama, perlu editing
lagi secara lebih optimal untuk meminimalisir salah ketik. Kedua, perlu
penataan ulang kalimat yang “agak mbulet” dengan kalimat yang lebih sederhana
agar mudah dipahami. Ketiga, tulisan Arab terlalu tebal dan besar
sehingga—menurut saya—kurang indah, meskipun tentu saja lebih enak untuk
dibaca.
Demikian catatan sederhana
saya. Terima kasih Kiai Mukti Ali atas bukunya yang sarat makna. Salam.
Tulungagung, 11-10-2017
Mantap Prof.
BalasHapusMatur suwun Mas Agus Taufik
HapusSosok al-Ghazali memang sangat menarik untuk diteliti gagasan dan pemikirannya. Bagian yang menerangkan tentang pengaruh al-Ghazali di barat, mungkin bisa diusulkan untuk diperluas prof. Saya jadi tertarik pengen membaca bukunya.
BalasHapusIya mas. Sudah saya usulkan ke penulisnya.
HapusSaya punya buku Imam Ghozali, walaupun terjemahan, Ihya' Ulumudin, disana sarat filsafat ilmu dan kesucian hati
BalasHapusAlhamdulillah
Hapus