BANK IDE
Oleh
Ngainun
Naim
Tulisan ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari dua tulisan saya
sebelumnya, yaitu Sumber Ide.
Istilah Bank Ide ini saya pinjam
dari Edy Zacques, seorang mentor menulis yang telah membesut puluhan penulis
handal di Indonesia.
Di buku yang ditulisnya, Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller, Cet. III (Jakarta:
Fivestars, 2008), Edy mengulas tentang pentingnya bank ide. Seorang penulis
harus memiliki bank ide yang menampung ide apapun yang masuk ke dalam
pikirannya. Adanya bank ide memungkinkan seorang penulis selalu memiliki bahan
untuk ditulis.
Cara mengisi ‘rekening bank ide’ adalah dengan—salah satunya—rajin mencatat
berbagai hal yang berhasil kita tangkap. Ketika saya membaca tulisan di koran
dan menemukan informasi penting, maka informasi tersebut saya catat. Saya
memiliki catatan kutipan dari tulisan atau berita di koran. Misalnya adalah
catatan saya atas artikel Abdul Wahid yang berjudul, “MK di Rimba
Mafia”, Jawa Pos, Kamis, 4 Nopember 2010, h. 4:
The danger of small mistakes is that
those mistakes are not always small=bahayanya kesalahan-kesalahan kecil adalah
kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil. Kesalahan kecil bisa mengakibatkan
kesalahan yang lebih besar atau bencana mengerikan. Kesalahan jenis apa pun,
jika tidak sesegera mungkin dibetulkan, tidak hanya menyebabkan terjadinya
akumulasi kesalahan, tetapi bisa pula membentuk kulturalisme dan absolutisme
dalam menoleransi kejahatan.
Status di
facebook yang menarik pun acapkali saya kopi. Saya yakin, suatu saat saya dapat
memanfaatkannya untuk kepentingan menulis. Bahan-bahan resumen dari berbagai
sumber, termasuk FB, menjadi modal penting untuk mengembangkan tulisan-tulisan
saya. Contoh status FB yang saya kutip adalah miliknya Alfatri Adlin yang
diposting pada jum’at, 31 September 2011:
Kemarin, sewaktu berbicara berdua dengan Kang
Yudi Latif, saya bertanya tentang bagaimana proses dia menulis. Maklum, saat S3
dia membuat disertasi yang tebal dan diterbitkan jadi buku berjudul
"Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad ke-20" setebal 760 halaman. Lalu di tengah aktivitasnya yang seabrek,
dari talk show atau komentator di TV, seminar atau studium ...generale, dan
lain sebagainya, dia masih bisa menulis buku "Negara Paripurna :
Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila" setebal 698 halaman.
Kang Yudi menjelaskan bahwa dia mendisiplinkan diri untuk selalu menulis di
pagi hari minimal dua paragraf, dan setelah satu bulan seminimalnya Kang Yudi
sudah menulis sebanyak 60 paragraf. Lalu di malam hari atau di saat senggang,
dia akan menyempatkan diri untuk membaca minimal satu jam. Dia bilang, satu jam
membaca saja sudah bisa membuat kita menangkap ide suatu buku kalau dasar-dasar
teorinya sudah kita kuasai.
Buku menjadi sumber ilmu yang paling banyak saya
catat. Tentu tidak semua buku yang saya baca kemudian saya catat. Hanya buku
tertentu yang—secara feeling—menarik
yang kemudian saya catat poin-poin pentingnya.Karena itu, buat para
sahabat sekalian, jika ingin banyak mendapatkan ide, maka mencatat apapun
informasi penting yang kita peroleh sangat penting artinya. Ini artinya sama
dengan ”menabung di bank ide”. Salam [Parakan, Trenggalek, Selasa Pagi, 4
Juni 2013].
Tidak ada komentar: