Ziarah Kubur, Dimensi Spiritual, dan Kesadaran Ekologis
Ngainun Naim
Ziarah kubur menjadi tradisi yang telah mengakar kuat
di masyarakat Muslim, khususnya di Jawa. Ada banyak hari-hari istimewa yang
biasanya dipilih oleh masyarakat untuk melaksanakan ziarah, seperti hari kamis
sore, satu muharram, menjelang puasa ramadan, menjelang idul fitri, dan setelah
shalat idul fitri.
Jika Anda melakukan ziarah kubur, misalnya beberapa hari
menjelang lebaran, bisa dipastikan kuburan ramai oleh peziarah. Ada yang
merupakan penduduk desa tempat makam berada. Namun ada juga dari sanak famili
yang sudah tersebar di berbagai wilayah.
Tradisi ini sudah berlangsung sangat lama. Tidak ada yang
tahu secara pasti kapan dimulainya. Beberapa riset menyebutkan bahwa tradisi
ini sudah ada ketika Islam mulai masuk ke Jawa. Interaksi antara Islam dengan
budaya lokal memunculkan tradisi ziarah kubur sebagaimana yang sekarang ini
kita saksikan.
Beberapa Bentuk
Jika kita cermati, ziarah kubur merupakan fenomena yang
biasa. Namun di tangan peneliti, ada saja dimensi menarik yang ditemukan. Salah
satunya adalah aneka bentuk ziarah kubur.
Muhammad Sholikin (2012) membagi fenomena ziarah kubur ke
dalam bentuk. Pertama, ziarah kubur yang dilakukan oleh orang-orang
mulia kepada orang sesama orang mulia yang sudah meninggal dunia. Kedua, ziarah
kubur yang dilakukan oleh orang awam kepada sesama orang awam. Ketiga, ziarah
yang dilakukan oleh orang mulia ke kuburan orang awam. Dan keempat, ziarah
yang dilakukan oleh orang awam ke kuburan orang-orang yang mulia.
Fenomena ziarah wali yang belakangan semakin marak
merupakan aktualisasi bentuk ziarah keempat. Ziarah ini dilakukan kepada wali,
ulama, kiai, dan orang-orang alim. Setiap daerah memiliki wali yang makamnya
menjadi tujuan berziarah.
Riset yang dilaksanakan oleh Chaer dan Setiawan [2017]
menemukan bahwa ziarah memberikan pengalaman dan andil besar dalam pembentukan
dan pembaruan tatanan sosial. Hal ini bermakna bahwa ziarah itu tidak hanya
memberikan makna dan implikasi secara personal tetapi juga secara sosial.
Hikmah
Ziarah kubur memberikan banyak hikmah. Pertama, pendidikan.
Kita sekarang ini bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan memiliki pertautan
dan kaitan dengan orang tua, guru, kerabat, dan orang-orang yang banyak. Keberadaan
kita dipengaruhi oleh banyak pihak dalam proses interaksi kehidupan yang dinamis.
Lewat ziarah, kita menjalani ”pendidikan” tentang penghormatan kepada
orang-orang tertentu tidak hanya semasa hidup, tetapi juga ketika sudah wafat.
Kedua, doa terhadap orang yang sudah dikubur. Ini penting sekali
karena doa itu merupakan pengharapan kita kepada Allah agar mereka yang sudah meninggal
diampuni dosanya, pahalanya diterima, dan mendapatkan tempat terbaik di sisi
Allah.
Sumanto Al-Qurtuby [2022] menulis bahwa ziarah kubur adalah
bagian dari cinta kasih, kebaktian, dan ”upaya spiritual” untuk merawat
silaturrahmi dengan mereka yang sudah berpulang terlebih dulu.
Ketiga, refleksi tentang diri untuk menjadi lebih baik. Kita harus
mempersiapkan diri ketika suatu ketika dipanggil Allah. Caranya dengan beribadah
dan berbuat kebajikan dalam kehidupan.
Kesadaran Ekologis
Ziarah kubur bukan sebatas tradisi, namun ada dimensi
yang lebih substansi, yakni transformasi diri. Hikmah penting yang perlu
dibangun setelah ziarah kubur adalah bagaimana menjadi diri yang lebih baik. Diri
yang suatu saat akan juga menjadi bagian dari mereka yang dimakamkan.
Setiap yang hidup pasti akan mati. Tidak ada yang bisa
menolaknya. Bahkan sekadar meminta menunda waktu saja tidak bisa. Jika takdir
sudah menentukan, tinggal menjalani.
Justru karena itulah, kita perlu membangun pengetahuan
dan kesadaran agar menjadi diri yang lebih baik. Ziarah kubur adalah momentum
untuk kembali meneguhkan diri untuk menjadi diri yang siap bertransformasi. Menjadi
diri yang siap menjadi lebih baik dengan aneka pikiran, ucapan, dan perbuatan
yang semakin baik.
Kebaikan ini tidak hanya dalam ibadah sebagaimana yang
umumnya kita pahami. Perilaku-perilaku ketika ziarah semestinya juga
mencerminkan kebaikan atau kesalehan. Merupakan sebuah kenaifan manakala kita
berdoa kepada leluhur namun kita menyisakan sampah dan plastik di area makam.
Bunga biasanya menjadi bagian penting dalam ziarah. Usai berdoa,
bunga ditaburkan di atas makam. Ada banyak nilai dan makna dari tabur bunga
ini. Juga banyak perspektif yang bisa ditawarkan.
Saya tidak ingin masuk dalam perdebatan terkait tradisi
tabur bunga. Fokus saya pada kesadaran ekologis, yakni bagaimana ziarah kubur
tidak menyisakan persoalan sampah bagi lingkungan.
Usai tabur bunga, daun dan plastik semestinya dibawa ke
tempat sampah. Tidak dibiarkan berserakan di sekitar makam. Ini bisa mengganggu
keindahan. Juga menimbulkan persoalan bagi lingkungan, khususnya sampah plastik
yang tidak mudah untuk diurai.
Pertautan antara agama dan lingkungan belakangan ini
semakin semarak dibicarakan. Hal ini disebabkan karena aktualisasi beragama
bisa memberikan kontribusi secara destruktif atau konstruktif terhadap
lingkungan.
Puasa ramadan, misalnya, ternyata berdampak negatif pada
meningkatkan jumlah sampah masyarakat. Sementara upaya-upaya konstruktif terhadap
ekologis juga banyak dilakukan, misalnya melalui pembelajaran, pesantren tanpa
plastik, dan aneka kegiatan lainnya.
Fenomena ini menjadi penegas bahwa kesadaran ekologis itu
sesungguhnya memiliki pertautan yang erat dengan ibadah. Ziarah kubur tentu
akan lebih bagus lagi ketika dilakukan dengan pengetahuan dan kesadaran
ekologis.
Daftar Bacaan
Moh. Thoriqul
Chaer dan Wahyudi Setiawan, Ziarah Barakah dan Karamah, [Ponorogo: Wade
Group, 2017].
Muhammad
Sholikin, Makna Kematian Menuju Kehidupan Abadi, [Jakarta: Quanta,
2012].
Sumanto Al-Qurtubi,
Agama, Politik, dan Politik Agama, [Semarang: Lawwana, 2022].
Tidak ada komentar: