KH. Harun Ismail dan Pentingnya Ngaji

Februari 17, 2025

Ngainun Naim

 

Saya memiliki kenangan tentang KH. Harun Ismail, Pengasuh PP Al-Iflah Selopuro Blitar. Saat itu, sekitar tahun 1990, saya masih sekolah di MTsN Tunggangri Kalidawir. Bersama seorang kawan saya diajak untuk membantu menghias panggung pengajian. Kiai yang mengaji adalah KH. Harun Ismail.

Saat itu saya senang sekali karena bisa menyimak pengajian KH. Harun Ismail. Sayang tidak ada yang bisa saya ingat sama sekali. Mungkin jarak waktu yang sudah sedemikian lama. Mungkin juga kapasitas otak untuk mengingat yang memang terbatas.

Sekitar tahun 2004—semoga saya tidak salah—saya menyimak pidato KH. Harun Ismail di PP Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung. Acaranya adalah walimatul ‘urs KH. Muhson Hamdani.

Satu yang saya ingat adalah kisah KH. Harun Ismail tentang seorang santri yang sangat taat. Ngaji dengan tekun dan khidmah yang dilakukannya memberikan berkah kepada santri tersebut. Kisah tersebut ternyata menjadi pengantar untuk KH. Muhson Hamdani yang menjadi cucu menantu KH. Ali Shodik Umman.

Pada minggu tanggal 16 Februari 2025, KH. Harun Ismail mengaji di PP Darul Falah Parakan Trenggalek. Saya suka sekali dengan ceramah beliau yang memang penuh bobot dan banyak memberikan ilmu baru.

Salah satunya adalah analisis nahwu yang sangat kuat. Saat pembukaan beliau menyebut mutakharijin. Disebut demikian karena lahirnya sudah tidak di pondok namun makna dan batinnya tetap tertaut erat dengan pondok.

Beliau menyebut bahwa istilah viral untuk mutakharrijin adalah alumni. Dawuh beliau, alumni itu “alum” tapi “muni”. Sebuah penjelasan yang menurut saya cukup menarik.

Pada pengajian ini KH. Harun Ismail menekankan tentang pentingnya ngaji. Beliau menjelaskan tentang beberapa hal sebagai penegas pentingnya ngaji. Pertama, ada sebuah hadis yang penting diviralkan. Bunyinya: innama buistu muallima, Sesungguhnya aku diutus untuk mengajarkan ilmu agama. Ini bermakna bahwa visi dan misi dari risalah Nabi adalah ngaji.

Kedua, ngaji itu meneruskan pekerjaan Allah. Ibadah unggulan itu ngaji. Hadir dalam majelis ngaji itu sudah ibadah berpahala. Belum lagi pahala ilmunya. Lebih jauh ditegaskan bahwa pahala ngaji itu di atas pahala shalat sunnah, puasa sunnah, haji sunnah, dan jihad sunnah.

Ketiga, barangsiapa yang istighal ngaji maka mendapatkan pahala yang besar. Cakupan kata istighal itu luas, mencakup mengaji, muthalaah, mendengarkan, menulis kitab, menerbitkan tulisan, dan hal-hal lain yang terkait dengan ngaji.

Keempat, di kalangan Nahdliyin ada yang disebut Thariqat Mu’tabarah An-Nahdliyah. Setelah menyebut beberapa nama tarekat, KH. Harun Ismail menyebut tarekat ke-46, sebagaimaka keputusan Muktamar NU 1931, yaitu mendawamkan membaca Al-Quran, Dala’il Khairat, Fathul Qarib, Kifayatul Awam, dan sejenisnya yang juga dipandang mengikuti thariqat mu’tabarah.

Kelima, orang yang mengaji itu seperti Allah. Sama tetapi tidak sama. Tidak sama tetapi sama, yaitu sama dalam mengaji. Mengaji yang membuat seseorang bisa menjadi mulia. Mengaji yang membuat seseorang bisa katutan sifat Allah.

Salah satunya adalah sifat kuasa. Beliau mencontohkan Gus Akif. Jika bukan karena modal ilmu karena tekun mengaji maka tidak mungkin bisa membuat pondok, memiliki santri banyak, dan juga mengadakan pengajian yang dihadiri oleh orang yang sedemikian banyak.

Keenam, ngaji itu mengungguli wiridan. Karena itu ngaji harus dijadikan sebagai amaliah. Bentuk ngajinya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Aspek yang penting adalah ngaji sepanjang mampu.

 

Tulungagung, 17 Februari 2025

 

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.