KH. Harun Ismail dan Pentingnya Ngaji
Ngainun Naim
Saya memiliki
kenangan tentang KH. Harun Ismail, Pengasuh PP Al-Iflah Selopuro Blitar. Saat
itu, sekitar tahun 1990, saya masih sekolah di MTsN Tunggangri
Kalidawir. Bersama seorang kawan saya diajak untuk membantu menghias panggung pengajian.
Kiai yang mengaji adalah KH. Harun Ismail.
Saat itu saya senang
sekali karena bisa menyimak pengajian KH. Harun Ismail. Sayang tidak ada yang
bisa saya ingat sama sekali. Mungkin jarak waktu yang sudah sedemikian
lama. Mungkin juga kapasitas otak untuk
mengingat yang memang terbatas.
Sekitar tahun 2004—semoga
saya tidak salah—saya menyimak pidato KH. Harun Ismail di PP Hidayatul
Mubtadiin Ngunut Tulungagung. Acaranya adalah walimatul ‘urs KH. Muhson
Hamdani.
Satu yang saya ingat
adalah kisah KH. Harun Ismail tentang seorang santri yang sangat taat. Ngaji dengan
tekun dan khidmah yang dilakukannya memberikan berkah kepada santri
tersebut. Kisah tersebut ternyata menjadi pengantar untuk KH. Muhson Hamdani
yang menjadi cucu menantu KH. Ali Shodik Umman.
Pada minggu tanggal
16 Februari 2025, KH. Harun Ismail mengaji di PP Darul Falah Parakan
Trenggalek. Saya suka sekali dengan ceramah beliau yang memang penuh bobot dan
banyak memberikan ilmu baru.
Salah satunya adalah
analisis nahwu yang sangat kuat. Saat pembukaan beliau menyebut mutakharijin. Disebut
demikian karena lahirnya sudah tidak di pondok namun makna dan batinnya tetap
tertaut erat dengan pondok.
Beliau menyebut bahwa
istilah viral untuk mutakharrijin adalah alumni. Dawuh beliau, alumni itu “alum”
tapi “muni”. Sebuah penjelasan yang menurut saya cukup menarik.
Pada pengajian ini
KH. Harun Ismail menekankan tentang pentingnya ngaji. Beliau menjelaskan tentang
beberapa hal sebagai penegas pentingnya ngaji. Pertama, ada sebuah hadis
yang penting diviralkan. Bunyinya: innama buistu muallima, Sesungguhnya
aku diutus untuk mengajarkan ilmu agama. Ini bermakna bahwa visi dan misi dari
risalah Nabi adalah ngaji.
Kedua, ngaji itu meneruskan pekerjaan Allah. Ibadah unggulan itu
ngaji. Hadir dalam majelis ngaji itu sudah ibadah berpahala. Belum lagi pahala
ilmunya. Lebih jauh ditegaskan bahwa pahala ngaji itu di atas pahala shalat
sunnah, puasa sunnah, haji sunnah, dan jihad sunnah.
Ketiga, barangsiapa yang istighal ngaji maka mendapatkan
pahala yang besar. Cakupan kata istighal itu luas, mencakup mengaji,
muthalaah, mendengarkan, menulis kitab, menerbitkan tulisan, dan hal-hal lain
yang terkait dengan ngaji.
Keempat, di kalangan Nahdliyin ada yang disebut Thariqat Mu’tabarah
An-Nahdliyah. Setelah menyebut beberapa nama tarekat, KH. Harun
Ismail menyebut tarekat ke-46, sebagaimaka keputusan Muktamar NU 1931, yaitu
mendawamkan membaca Al-Quran, Dala’il Khairat, Fathul Qarib, Kifayatul Awam,
dan sejenisnya yang juga dipandang mengikuti thariqat
mu’tabarah.
Kelima, orang yang mengaji itu seperti Allah. Sama tetapi tidak
sama. Tidak sama tetapi sama, yaitu sama dalam mengaji. Mengaji yang membuat
seseorang bisa menjadi mulia. Mengaji yang membuat seseorang bisa katutan sifat
Allah.
Salah satunya adalah
sifat kuasa. Beliau mencontohkan Gus Akif. Jika bukan karena modal ilmu karena tekun mengaji maka tidak mungkin bisa membuat pondok, memiliki santri
banyak, dan juga mengadakan pengajian yang dihadiri oleh orang yang sedemikian
banyak.
Keenam, ngaji itu
mengungguli wiridan. Karena itu ngaji harus dijadikan sebagai amaliah. Bentuk ngajinya
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Aspek yang penting adalah ngaji
sepanjang mampu.
Tulungagung, 17 Februari 2025
Terima kasih banyak atas tulisannya, Prof.
BalasHapusSama-sama
Hapus