Menulis Tangan dan Budaya Menulis
Ngainun Naim
Mahasiswa itu harus bisa menulis. Hal ini disebabkan karena menulis merupakan bagian penting dari proses perkuliahan. Tugas perkuliahan lazimnya berkaitan—langsung atau tidak langsung—dengan tugas menulis.
Pada titik ini semestinya mahasiswa memiliki pengetahuan, kesadaran, dan tindakan yang memungkinkannya untuk terus mengasah keterampilan menulis. Jika mahasiswa belum memahami signifikansi keterampilan menulis maka dosen sebaiknya menciptakan berbagai kondisi yang memungkinkan tumbuh berkembangnya keterampilan menulis.
Keterampilan menulis merupakan akumulasi dari proses menulis yang dilaksanakan secara terus-menerus. Seseorang tidak akan bisa menjadi penulis yang profesional dengan kadang-kadang praktik menulis. Wajar jika banyak mahasiswa yang stres saat mengerjakan tugas akhir karena memang tidak ditempa oleh latihan menulis secara intensif.
Stres ini, jika ditelusuri, sangat mungkin disebabkan oleh dua faktor, yaitu metodologi penelitian dan menulis. Metodologi penelitian memang tidak mudah. Ia berkaitan dengan berbagai teori penelitian. Perkuliahan metodologi penelitian sesungguhnya sudah cukup memberikan bekal untuk melakukan penelitian.
Persoalannya tidak sesederhana itu. Teori penelitian tidak selalu mudah diterjemahkan secara praktis oleh mahasiswa. Banyak mahasiswa yang mengalami kebingungan melakukan sinkronisasi teori dan praktik penelitian.
Jika pun penelitian sudah dilakukan bukan berarti persoalan selesai. Proses mengolah data dan menulis laporan itu kerja sangat berat. Jika tidak sabar, banyak yang gagal.
Menulis laporan akhir memerlukan modal keterampilan menulis yang kuat. Akan berat bagi seorang mahasiswa untuk menulis tugas akhir tanpa keterampilan menulis yang kuat. Di sini biasanya cara-cara yang kurang bijak ditempuh.
Misalnya kopi paste dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bisa juga menggunakan jasa orang lain. Saya dengar mereka menyebutnya dengan penjahit. Disebut demikian karena para penjahit itu mengerjakan permintaan sebagaimana kerja penjahit, yaitu mengolah kain menjadi baju.
Fenomena penjahit ini tampaknya semakin banyak. Ini seperti fenomena gunung es. Fenomena ini sesungguhnya, menunjukkan bahwa mahasiswa kurang memiliki kompetensi dalam menulis tugas akhir. Jika mereka kompeten, semua akan dilaksanakan sendiri.
Realitas lemahnya kompetensi menulis mahasiswa sesungguhnya telah menjadi pengetahuan bersama. Bukan berarti belum ada langkah-langkah untuk mengatasi. Namun demikian sejauh ini kondisinya masih belum terlalu menggembirakan.
Langkah apa pun dan sesederhana apa pun tetap harus diapresiasi. Merubah kondisi itu tidak mudah. Namun demikian sepanjang ada upaya konsisten untuk perbaikan, hasil itu pasti ada.
Memang tidak selalu mudah. Waktu perubahannya juga tidak pendek. Justru karena itulah langkah perubahan seharusnya diapresiasi dan didukung.
Saya memiliki kolega dosen yang memiliki perhatian khusus terhadap literasi. Perhatiannya diaktualisasikan dalam sebuah kebijakan dalam perkuliahan. Ia menyebut langkahnya ini sebagai langkah tradisional. Hal ini disebabkan karena ketika generasi sekarang semakin jarang yang menulis di buku tulis, ia justru mewajibkan mahasiswa untuk menulis di buku tulis.
Apa yang harus ditulis? Hasil perkuliahan. Selama proses perkuliahan, mahasiswa ditugaskan mencatat hal apa pun yang ditangkap dari proses perkuliahan. Bisa materi, diskusi, dan suasana perkuliahan.
Terlihat sederhana namun (mungkin) berat bagi generasi digital yang jarang menulis di atas kertas. Padahal tradisi menulis di atas kertas telah teruji oleh sejarah dalam menghasilkan karya-karya monumental. Sebelum ditemukan komputer, tulisan tangan adalah media untuk menghasilkan karya.
Menurut cerita kolega tadi, satu buku tulis tipis cukup untuk mengerjakan tugas selama satu semester. Ada juga satu dua mahasiswa yang menulis panjang lebar sehingga halaman yang dihasilkan lebih tebal dibandingkan kawan-kawannya. Namun ada juga yang minimalis.
Aktivitas ini menurut saya cukup menarik. Menulis tangan memang semakin ditinggalkan. Banyak generasi milenial yang tulisan tangannya acakadut. Sulit dibaca dan tidak rapi.
Saya tidak tahu pasti apakah di sekolah dasar tidak ada lagi pelajaran menulis halus. Tulisan tangan sambung saya sekarang ini adalah produk pembelajaran menulis halus saat sekolah dasar. Juga teladan dari Almarhum Bapak saya.
Sungguh disayangkan jika menulis halus tidak lagi diajarkan. Keterampilan ini merupakan fondasi bagi aktivivitas menulis. Jika keterampilan menulis tangan mapan, seseorang tetap bisa berkarya tanpa tergantung terhadap teknologi.
Tentu bukan berarti tidak menerima dan mengikuti perkembangan teknologi. Sebagai bagian dari dinamika perkembangan zaman, ia harus tetap diikuti. Adaptabilitas merupakan salah satu karakter yang membuat seseorang tetap bisa eksis di tengah arus perubahan yang sangat dinamis.
Keseimbangan antara keterampilan menulis tangan dan penguasaan teknologi terkini merupakan perpaduan yang indah dan saling melengkapi. Teknologi tergantung listrik. Ketika tidak ada listrik, ia tidak berfungsi. Jika ingin tetap kreatif maka menulis tangan adalah solusi yang penting dicermati. Menulis tetap bisa dilakukan tanpa bergantung listrik.
*78#
Trenggalek, 3.6.2023
Inspiratif...
BalasHapusMatur nuwun
HapusTerima telah berbagi infonya P Prof
BalasHapusSama-sama Pak
HapusSaya menulis online sudah cukup lama
BalasHapustapi ya itu, tetap belum bisa mahir
masih keluar dari EYD
tapi tak apalah ya, yang namanya belajar
Terus saja menulis. Nanti akan semakin sempurna
HapusBagus menginspirasi
BalasHapusTerima kasih
HapusSubhanalloh..semoga generasi atau anak cucu saya terinspirasi menjadi penulis seperti profesor
BalasHapusAmin
Hapus