Saat Membaca Buku Pahamilah Proses Membuatnya
Oleh Ngainun Naim
Sebagian
orang melihat sebuah buku hanya sebagai produk. Padahal, proses terbitnya
sebuah buku itu penuh perjuangan. Ada perjalanan panjang yang melelahkan sejak
menemukan ide, menyusun konsep outline, mencari referensi, menuliskan bagian
demi bagian, mengedit, mengirimkan ke penerbit sampai akhirnya terbit menjadi
buku yang bisa dibaca oleh masyarakat luas.
Ini
pengalaman saya. Orang lain mungkin memiliki pengalaman lain yang berbeda.
Misalnya, mulai menemukan ide sampai menulisnya mudah-mudah saja. Semuanya
lancar-lancar saja tanpa hambatan yang berarti.
Membuat
buku itu perjuangan bagi saya karena beberapa sebab. Pertama, saya tidak pernah mengenyam bangku pendidikan menulis.
Selama kuliah saya tidak pernah mendapatkan matakuliah yang berhubungan dengan
menulis. Memang ada satu dua dosen yang menyinggung persoalan menulis, tetapi
itu biasanya muncul dalam dialog-dialog di kelas. Karena itu, untuk menguasai
keterampilan menulis saya harus berjuang keras.
Kedua, saya tidak memiliki teman yang membimbing dan mengarahkan saya secara
terstruktur, sistematis, metodologis dan aplikatif tentang bagaimana menulis
buku. Semuanya mengalir secara alamiah dengan belajar dari buku, dari dialog,
dari membaca di internet dan dari sumber-sumber yang lainnya.
Memang,
saat awal menekuni menulis saya memiliki beberapa teman yang berproses bersama.
Mereka—beberapa nama yang bisa kusebut—adalah Khoirudin Abbas (Mantan anggota
DPRD I Jawa Timur) dan Kholilul Rohman Ahmad (kini Staf Ahli DPR RI di
Jakarta). Sejauh yang saya ketahui, kedua sobat saya itu sekarang sudah tidak
menulis lagi. Mungkin menulis memang kurang menarik lagi bagi keduanya.
Ada
faktor lain—sebagai faktor ketiga—yang
juga cukup berpengaruh terhadap beratnya proses menghasilkan buku, yaitu tempat
tinggal. Sehari-hari saya bekerja sebagai tenaga pengajar sebuah PTAIN di
Tulungagung. Tulungagung—juga Trenggalek di mana sekarang ini saya
tinggal—adalah kota-kota kecil dengan dinamika intelektual yang—mohon
maaf—”rendah”. Jarang sekali ada kegiatan ilmiah yang menarik perhatian publik.
Dunia
pendidikan secara umum juga tidak seberapa dinamis mendiskusikan bidang-bidang
keilmuan secara diskursif. Suasana akademis yang semacam itu menjadikan intuisi
menulis tidak selalu tajam. Bahkan jika belum memiliki kesadaran bahwa menulis
itu penting, mungkin lebih baik tidak menulis.
Menulis baru dilakukan jika berkaitan dengan kepentingan-kepentingan
tertentu, seperti untuk kenaikan pangkat.
Faktor keempat adalah akses buku. Saya kira
faktor ini berkaitan dengan faktor ketiga,
walaupun mungkin keterkaitannya tidak terlalu erat. Sampai hari ini
Tulungagung belum memiliki toko buku yang representatif dalam menghadirkan
bahan bacaan bermutu sesuai keperluan masyarakat. Memang kini sudah ada Togamas
dan Salemba, tetapi koleksi bukunya masih perlu ditingkatkan lagi.
Kondisi
yang semacam itu membuat dinamika persebaran ilmu juga kurang dinamis. Coba
Anda simak kota-kota besar lain di Indonesia di mana pusat-pusat buku
bertebaran hingga gang-gang kecil. Kondisi ini memudahkan persebaran ilmu
pengetahuan.
Jika
dibuat daftar hambatan, jumlahnya bisa lebih banyak lagi. Tetapi saya tidak mau
terjebak pada hambatan. Dua tulisan sebelum ini saya maksudkan sebagai bagian
dari titik pijak untuk membangun optimisme. Keterbatasan bukan halangan untuk
menulis, khususnya menulis buku. Jika kita terus menulis, Insyaallah
menerbitkannya hanya persoalan waktu.
Pasti
terbit? Belum tentu. Jangan pernah bermimpi semua karya yang sekarang kita
nikmati itu proses terbitnya sederhana dan mudah. Ada yang ditolak berkali-kali
oleh penerbit, baru bisa terbit. Konon novel spektakuler Harry Potter ditolak
berpuluh-puluh kali sebelum akhirnya terbit. Prinsipnya adalah terus mencoba
menawarkan naskah ke penerbit.
Berkali-kali
ditolak itu biasa. Menurut saya, tugas penulis itu ya menulis. Maksudnya,
walaupun terus ditolak oleh redaksi koran atau penerbit, jangan menyerah.
Teruslah menulis. Bahkan saat sudah terbit pun bukan berarti selalu sesuai
harapan. Beberapa penerbit ada yang bahkan tidak pernah memberikan laporan
penjualan sama sekali.
Persoalan
demi persoalan seharusnya tidak menyurutkan langkah kita untuk menekuni dunia
menulis. Sesungguhnya persoalan dan hambatan itu selalu ada di semua lini
kehidupan. Tugas kita bukan menolak hambatan dan halangan, tetapi bagaimana
menghadapi dan menakhlukkannya. Melalui cara semacam inilah maka kita akan
semakin tangguh.
Sebuah
buku yang kita baca hakikatnya adalah akumulasi perjuangan penulisnya. Ada
kesulitan ide, ada kesulitan membangun susunan isi, dan seterusnya. Karena
itulah kalau seorang teman menerbitkan buku akan lebih baik jika diapresiasi
dengan membeli karyanya. Bukan maksud saya sok material. Sama sekali bukan.
Tetapi lebih sebagai bentuk penghargaan kita atas perjuangannya menghasilkan
buku.
Parakan Trenggalek, 9-11 Januari 2015
Tidak ada komentar: