Perjalanan, Buku dan Tulisan
Oleh Ngainun Naim
Antara jumlah buku yang saya
miliki dengan kesempatan membacanya ternyata tidak seimbang. Berbelanja buku
menjadi agenda yang cukup sering saya lakukan. Sebulan saya bisa lebih dari
sekali menyambangi toko buku. Buku-buku itu sebagian besar masih teronggok di
lemari. Baru sebagian yang sempat saya cicipi.
Aktivitas harian yang lumayan
padat menjadi alasan utama untuk tidak atau belum membaca. Padahal saya ingin
sekali memiliki kesempatan membaca dan menikmati buku sejak halaman awal hingga
akhir. Membaca buku sampai tuntas itu rasanya sangat menyenangkan. Ada begitu
banyak sketsa pengetahuan, kebijaksanaan hidup dan pembelajaran dalam arti luas
yang bisa dipetik usai menelusuri deretan kata demi kata.
Kesempatan untuk membaca buku
sampai tuntas bagi saya sekarang ini merupakan sebuah kesempatan langka. Pada
hari libur biasanya kesempatan itu terbuka lebar. Tetapi saya tahu diri. Saya
punya keluarga yang membutuhkan perhatian.
Aktivitas membaca dan menulis
biasanya saya lakukan pagi hari. Kondisi tubuh pada pagi hari masih segar. Saat
semacam ini cukup produktif untuk membaca dan menulis. Membaca rasanya begitu
mudah diserap dan menulis bisa cukup lancar. Ide-ide meluncur cepat seolah
tanpa dinding penghalang.
Siang hari saat bekerja,
kesempatan untuk membaca dan menulis sangat terbatas. Selain sibuk mengajar,
kesibukan teknis administratif kantor juga menyita waktu tersendiri. Tidak
jarang saat pulang sore hari kondisi fisik begitu lelahnya. Jika demikian
istirahat adalah pilihan terbaik.
Kesempatan bagus yang bisa
dimanfaatkan untuk membaca dan menulis adalah bepergian saat ada tugas kantor
selama beberapa hari. Saat semacam ini biasanya saya membawa 1 atau 2 buku.
Jika tugasnya agak lama, satu buku biasanya bisa tuntas dibaca.
Saya biasanya mulai "mencicipi" isi buku saat di bus. Jika naik kereta api, saya punya kesempatan yang jauh
lebih luas. Kesempatan membaca juga terbuka luas saat naik pesawat. Apalagi
jika perjalanan jauh yang mengharuskan transit selama beberapa jam.
Perjalanan juga menandai
momentum untuk menulis. Tentu menulisnya di tempat-tempat istirahat; terminal,
stasiun, bandara, hotel atau tempat lain yang memungkinkan. Sesungguhnya bisa
saja saya menulis dalam perjalanan dengan memakai tablet yang ada prpgram
colornote. Tetapi biasanya mata cepat sakit.
Saya memang cukup sering
menulis di tablet saat perjalanan. Apa yang saya tulis biasanya status
facebook semacam ini. Panjangnya antara 2-8 paragraf. Status semacam ini menjadi modal penting untuk kemudian dikembangkan
menjadi tulisan yang lebih utuh.
Menulis tangan cukup saya sukai. Saya berkali-kali menulis di buku tulis untuk kemudian saya pindahkan ke
komputer. Menulis tangan, menurut saya, jauh lebih berkesan.
Saat menulis dengan pena di
buku tulis, saya merasakan adanya keterlibatan fisik-emosional secara utuh.
Karena itu, metode menulis jenis ini masih saya pertahankan sampai sekarang.
Memang tidak semua tulisan karya saya ditulis tangan terlebih dulu. Sebagian
juga saya tulis secara langsung di komputer. Jika berdasarkan berbagai
pertimbangan lebih memungkinkan maka saya menulis tangan.
Jujur, menulis tangan itu mudah capek. Satu halaman saja tangan sudah terasa mulai ngilu. Kondisinya berbeda
dengan menulis di komputer yang capeknya tidak seberapa. Tetapi jika dinikmati,
dihayati, dan sering dilakukan maka menulis tangan cukup mengesankan. Rasanya
berat sekali untuk meninggalkan sama sekali kebiasaan ini.
Saat bepergian, pulpen dan buku
tulis saya usahakan untuk tidak ketinggalan. Fungsinya jelas yaitu untuk
menulis. Buku tulis menurut saya cukup praktis. Ia bisa dibawa ke mana-mana. Ia
juga tidal bergantung pada listrik sebagaimana komputer, laptop, tablet, atau
hp. Begitu ada kesempatan, saya bisa langsung menulis.
Kelemahannya juga banyak.
Selain mudah capek, tulisan di buku tulis masih membutuhkan energi tambahan
saat memindah ke komputer. Selain itu, resiko terbesarnya adalah hilang sebelum
di salin.
Tentu Anda bisa membayangkan
bagaimana rasanya jika tulisan tangan yang kita buat dengan sepenuh perjuangan
hilang entah ke mana. Karena itu cara terbaiknya adalah segera menyelamatkan
manuskrip tulisan tangan tersebut dengan memfoto copy atau segera menyalin
dengan mengetik di komputer.
Tradisi menulis tangan ternyata
juga dilakukan oleh beberapa intelektual terkemuka. Anda yang menekuni bidang
bahasa Indonesia pasti tahu nama Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan. Beliau menulis
lebih dari 60 judul buku. Hebatnya, semua buku yang ditulis tersebut ditulis
tangan semua.
Nama lain yang juga setia menulis tangan adalah Prof. Dr. Seyyed
Hossein Nasr. Saya pernah membaca sebuah disertasi karya Dr. Adnan Aslam yang
topiknya adalah pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan John Hick. Pada salah satu
bagian yang mengulas riwayat hidup Nasr ditulis bahwa semua karya Nasr ditulis
tangan.
Sesungguhnya cukup banyak
intelektual dunia yang terus berkarya dengan tulisan tangan. Karena itu
selayaknya kita mengambil hikmah dari fenomena ini. Produktivitas dan kualitas
karya tidak semata-mata ditentukan oleh alat untuk menulis. Alat itu penting,
tetapi yang jauh lebih penting adalah semangat besar untuk terus berkarya.
Modal pulpen dan buku tulis sudah cukup. Alat-alat untuk menulis--mulai yang canggih sampai yang
sederhana--berfungsi sebagai sarana. Sebagai sarana, ia bersifat pasif. Jika
yang memiliki alat mendayagunakannya untuk produktif menghasilkan karya maka ia
fungsional. Jika tidak maka alat itu sekadar sebagai alat semata.
Kuncinya memang pada diri
penulis. Seorang penulis akan selalu bisa menghasilkan karya dengan sarana apa
pun. Spirit
inilah yang saya kira harus kita rawat. Salam
Kita harus memulai dari hal hal yang kecil dan sederhana dalam menulis...asal kita melakukannya dengan rutin dan rajin...lama kelamaan pasti akan terlihat hasil nya....sembari kita belajar dan belajar memperbaiki isi tulisan kita....tulisan yang bermutu dan berguna bagi banyak orang...Salam Kenal.
BalasHapusMas Bintang Pariang Aruan@ terima kasih berkenan mengunjungi blog saya dan memberikan komentar. Salam kenal kembali.
Hapusjadi pengen seperti Bapak Ngainu Naim yang hebat tulisannya..hehehe
BalasHapusJika Riyasi Etika menulis setiap hari Insyaallah tulisannya jauh lebih hebat dari tulisan saya. Salam.
Hapus