Membangun Kerukunan di tengah Keragaman
Judul Buku: Harmoni di Negeri Seribu Agama
(Membumikan Teologi dan Fikih Kerukunan)
Penulis: Abdul Jamil Wahab
Penerbit: Quanta, Jakarta
Cetakan: 1, 2015
Tebal: xxii+174 halaman
ISBN: 978-602-02-6974-0
Peresensi:
Ngainun Naim, Pegiat Literasi, Tinggal di Trenggalek.
Keragaman itu fitrah. Betapa
indahnya hidup ini jika kita membuka hati dan kesadaran untuk menikmati dan
menghayati keragaman. Jika ini bisa dilakukan secara baik maka khazanah hidup
kita akan kaya warna. Selain itu, kita juga akan semakin bersyukur kepada Allah
atas anugerah hidup yang sungguh luar biasa ini.
Jika keragaman dianggap
sebagai anomali, apalagi ditolak keberadaannya, maka kekayaan khazanah hidup
menjadi hilang. Hidup hanya berisi perjuangan untuk mewujudkan satu warna saja.
Padahal, perjuangan semacam ini hampir pasti gagal dan selalu membawa korban.
Sudah tidak terhitung lagi jumlah korban akibat tidak mengapresiasi secara
konstruktif terhadap keragaman yang ada.
Cara pandang terhadap
keragaman berpengaruh pada pola relasi antarsesama. Jika cara pandang sebagian
besar masyarakat terhadap keragaman bersifat apresiatif-konstruktif maka
keragaman akan menghasilkan harmoni sosial. Sementara jika cara pandang
sebaliknya yang dominan maka konflik sosial akan menjadi fenomena yang mudah
untuk disulut.
Indonesia sesungguhnya sangat
kaya pengalaman dengan keragaman. Keragaman seharusnya memang dikelola secara
baik agar memperkaya khazanah kehidupan. Kegagalan mengelolanya bisa
menghasilkan riak dalam berbagai skala. Realitas semacam ini seyogyanya
dijadikan sebagai pelajaran untuk perbaikan di masa-masa selanjutnya.
Rukun itu indah. Tetapi
mewujudkan kerukunan sungguh tidak mudah. Ia tidak mungkin terwujud secara
natural. Dibutuhkan berbagai pemikiran, stratategi, dan usaha yang tidak kenal
lelah agar tercipta kehidupan yang harmonis. Pada titik inilah, usaha Abdul
Jamil Wahab lewat buku ini menemukan titik signifikansinya.
Buku tentang keragaman
sesungguhnya sudah cukup banyak ditulis. Tetapi buku yang berangkat dari
penelitian lapangan bisa dikatakan belum terlalu banyak. Buku ini mengisi ruang
kajian kerukunan dengan titik pijak fenomena kerukunan di berbagai wilayah di
Indonesia.
Penulis buku ini adalah
seorang peneliti muda di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang)
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama. Sebagai
peneliti, Jamil Wahab memiliki data-data yang kaya terkait kehidupan keagamaan
di Indonesia. Data-data yang dipaparkan menjadi titik pijak untuk
merekonstruksi apa yang disebut ”teologi kerukunan” dan ”fikih kerukunan”.
Ada lima lokasi yang
dijadikan eksemplar kerukunan, yaitu Kampung Jawa Tondano Minahasa Sulawesi
Utara, Dusun Susuru Ciamis Jawa Barat, Desa Banuroja Pohuwato Gorontalo, Kota
Tjina Peunayong Banda Aceh, dan Kampung Teluk Gong Penjaringan Jakarta Utara.
Lima lokasi ini memiliki keragaman agama yang cukup kompleks, namun mereka
mampu hidup rukun. Jamil Wahab berhasil mendeteksi faktor-faktor perekat relasi
antarwarga, manajemen kerukunan, dan berbagai pernik-pernik unik yang
mengokohkan kerukunan.
Berbasis potret
keanekaragaman di beberapa wilayah tersebut, Jamil Wahab kemudian
merekonstruksi dua tawaran menarik, yaitu teologi kerukunan dan fikih
kerukunan. Teologi kerukunan adalah kerangka pemahaman yang disusun dengan
merekonstruksi aspek-aspek teologis yang kompatibel dengan realitas
keanekaragaman. Menurut Jamil Wahab, teologi kerukunan sesuai dengan kondisi
sosiologis masyarakat Indonesia (h. 106). Karena itulah, teologi kerukunan
penting untuk dibumikan. Buku ini memuat berbagai langkah praktis-stratategis
untuk membumikan teologi kerukunan.
Sementara fikih kerukunan
disusun dengan mempertimbangkan aspek-aspek fikih yang diharapkan berkontribusi
dalam membangun kerukunan. Menurut Jamil Wahab, ada banyak persoalan fikih yang
harus direspon secara kreatif. Fikih kerukunan dibuat dengan merekonstruksi pemahaman
terhadap berbagai aspek fikih yang terkait dengan kerukunan.
Namun demikian Jamil Wahab
menyadari bahwa pemahaman masyarakat Muslim atas fikih klasik sedemikian kuat.
Pemahaman berbeda bisa jadi ditolak, termasuk tawaran fikih kerukunan. Realitas
semacam ini tidak boleh mengendurkan semangat untuk terus membumikan fikih
kerukunan. Harus terus dilakukan sosialisasi, diskusi, dan pengembangan fikih kerukunan
sampai menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan masyarakat.
Buku ini penting karena tidak
hanya bersifat teoretis semata, melainkan juga didukung dengan data-data
empiris hasil penelitian lapangan. Kerangka teori dan analisisnya yang tajam
menjadikan buku ini memiliki nilai lebih tersendiri. Di tengah keragaman
kehidupan sosial keagamaan yang tidak jarang diwarnai konflik maka dibutuhkan
kontribusi dari berbagai pihak untuk menciptakan kerukunan. Pada titik inilah
buku ini menemukan relevansinya karena memberikan kontribusi konstruktif.
Tidak ada komentar: