Hidup Adalah Proses
Oleh Ngainun
Naim
Dikutip dari Bulu Self Development, halaman 37-41.
”Untuk perubahan perilaku, hidup sendiri merupakan
”ruang kelas” sejati untuk mempelajarinya, dan ini menuntut latihan
berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang”—Daniel Goleman
Salah seorang filosof yang banyak membahas tentang ”proses”
adalah Alfred North Whitehead. Pandangan filsafatnya adalah dunia aktual itu
merupakan sebuah proses. Dunia aktual yang dia maksudkan ialah seperti:
’kemarin’, ’besok’, ’yang telah lalu’, ’yang akan datang’, atau ’akan terjadi’.[1]
Pandangan Whitehead ini dapat
dijadikan sebagai salah satu landasan filosofis tentang hidup. Hidup manusia
berada di dunia aktual. Sebagai proses, segala hal mengalami perjalanan,
dialektika, persentuhan, dan perubahan. Perubahan harus dibaca, dipahami, dan
dikritisi. Melalui cara semacam ini diharapkan proses hidup dapat bergerak ke
arah yang lebih baik.
Salah satu persoalan yang
menjadikan bangsa ini terpuruk adalah karena semakin tumbuh dan berkembangnya mentalitas
instan. Mentalitas instan merupakan mentalitas ingin mencapai dan memperoleh segala
hal secara cepat, meskipun jalan yang ditempuh melanggar aturan. Sebenarnya
mentalitas instan tidak berkembang begitu saja. Ada banyak aspek yang saling
memengaruhi. Salah satunya adalah globalisasi.
Kunci globalisasi adalah
kompetisi. Ini meliputi kompetisi dalam menghadapi hukum rimba ketika satu
nilai budaya atau agama berbenturan dan bersaing dengan nilai budaya atau agama
yang lain. Yang satu akan terkalahkan oleh yang lain; atau akan muncul nilai
baru sebagai antitesa atau sintesa dari nilai-nilai yang berbenturan atau
berkompetisi tersebut. Ketika kompetisi itu berkaitan dengan nilai budaya atau
agama, maka persiapan mentalitas umat menjadi sangat penting.[2] Tanpa
persiapan mentalitas yang baik, umat akan mudah terbawa arus. Nilai agama yang
dianut dapat luntur dan tergantikan oleh nilai-nilai asing yang liar.
Mentalitas instan merupakan manifestasi melemahnya nilai agama dan budaya dari
kehidupan umat.
Selain globalisasi, mentalitas
instan bisa ”mewabah” secara akut karena sistem memang memungkinkan setiap
orang untuk melakukannya. Praktik jalan pintas dalam realitasnya telah menjadi
bagian yang sulit dilepaskan dari sistem birokrasi, perusahaan, maupun sistem
yang lainnya. Bukti paling fenomenalnya adalah korupsi. Maraknya korupsi
menunjukkan bahwa orang ingin menikmati kekayaan melalui jalan pintas. Semakin
mewabahnya kejahatan juga menjadi indikasi mental instan.
Koentjaraningrat lewat buku
klasiknya, Kebudayaan, Mentalitas, dan
Pembangunan,[3] jauh hari sebelum korupsi sedemikian
membudaya, sudah mengingatkan apa yang disebutnya ”Mentalitas Menerabas”, yaitu
bentuk mentalitas yang menyukai jalan-jalan pintas yang keluar dari prosedur. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Bung Hatta di awal tahun 1970-an. Waktu itu
beliau membuat karangan yang isinya memperingatkan mengenai bahaya korupsi yang
mulai tumbuh dan berkembang. Tetapi peringatan para tokoh bangsa ini tampaknya
tidak memperoleh sambutan. Para pemimpin bangsa dari segala level justru
memberikan teladan terhadap mental instan.
Pada titik inilah diperlukan
usaha serius untuk kembali menawarkan perspektif proses. Saya tidak tahu
namanya. Mungkin saja bisa disebut ”Mental Proses”, yaitu mental yang memahami
dan menyadari bahwa untuk meraih sesuatu itu membutuhkan proses yang wajar dan
masuk akal. Mentalitas semacam ini harus diperkenalkan, diperjuangkan, dan
dibudayakan. Implementasi mentalitas ini menunjukkan bahwa hidup itu
membutuhkan proses yang normal agar tidak terjebak dalam kehancuran.
Pengembangan diri dilakukan
berdasarkan konsep bahwa hidup ini adalah proses. Ya, segala sesuatunya harus
diletakkan dalam kerangka proses. Hasil itu penting, tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana hasil itu diperoleh.
Menjalani proses itu ibarat
menjalani pertarungan. Ini sejalan dengan filosofi hidup manusia yang selalu
berproses dan berjuang dalam pertarungan antara akal sehat dengan hawa nafsu. Pertarungan
ini terjadi sepanjang hidup manusia. Agar selalu terjaga maka manusia harus
mewaspadai terhadap hawa nafsunya sepanjang hidup. Perlu ada perbaikan
terus-menerus terhadap hati dan pikiran kita, sehingga setiap saat bisa selalu
waspada terhadap godaan nafsu yang ada di sekeliling kita.[4]
Proses hidup memang
membutuhkan kewaspadaan secara terus-menerus. Kewaspadaan ini secara implisit
mengimplikasikan perlunya untuk pengembangan diri. Pengembangan diri
memungkinkan manusia untuk selalu belajar, memperbaiki diri, dan siap
menghadapi berbagai dinamika hidup yang ada.
Berkaitan dengan mentalitas
proses ini, ada berita menarik yang penting untuk direfleksikan di Harian Jawa Pos edisi 2 Mei 2013. Berita tersebut
berkaitan dengan usaha ”menggampar” mental instan. Berita ini saya temukan di
sebuah kolom Close Up With......
Beritanya tentang novelis Iwan Setyawan.
Di berita tersebut ditulis
bahwa sukses tidak bisa diraih secara instan. Terdapat proses perjuangan untuk
mencapai hal tersebut. Melalui buku 9
Summers 10 Autumns,[5] Iwan Setyawan mengingatkan generasi
muda yang kerap berpikir instan. Kisah Iwan adalah kisah nyata mengenai
perjuangannya untuk meraih kesuksesan. Ia merupakan anak sopir angkot di Kota
Batu Jawa Timur. Namun karena mimpi besarnya, ia mampu melanjutkan studi di New
York.
Berkaitan dengan novelnya, Iwan
menyatakan, ”Saya pengen nulis itu
buat gamparin ponakan saya, pengen gamparin anak-anak muda. Sukses
itu ada perjuangan hidup di dalamnya”.
Kata-kata Iwan Setyawan ini
menarik dalam konteks mentalitas instan yang kian praktis. Buku Iwan merupakan
sebuah contoh bagaimana kesuksesan yang diraihnya tidak datang dalam sekejap.
Semuanya diraih melalui perjuangan dan kerja keras.
Iwan menegaskan bahwa sukses
akan lebih bermakna jika diraih dengan perjuangan. Jika sesuatu diraih dengan
berdarah-darah maka kebahagiaan lebih dapat terasa. ”Sukses kerasa manis kalau diraih dengan sepenuh
hati. Kita harus berani hidup susah untuk hidup bahagia,” kata Iwan Setyawan.
Lebih jauh Iwan menegaskan
bahwa sukses tidak dapat sendirian. Networking
merupakan bagian penting dalam kesuksesan. Selain itu, setiap kesuksesan
itu dapat memberikan kebahagiaan pula bagi orang lain.
Pengembangan diri berarti
usaha yang dilakukan secara sadar untuk berubah, yakni berubah menjadi diri
yang lebih berkualitas. Perubahan sendiri sesungguhnya merupakan bagian tidak
terpisah dari kehidupan ini. Menghadapi perubahan, pilihan terbaik adalah
mewarnainya. Larut dalam perubahan akan membuat kehilangan identitas diri.
Sementara bertahan dan mengabaikan perubahan, justru akan menjadikan diri kita
”makhluk aneh”.
Mewarnai perubahan ternyata bukan
hal mudah. Realitas kehidupan sekarang ini justru menunjukkan betapa banyak
yang larut dalam perubahan. Gaya hidup, misalnya, menjadi bukti konkrit betapa
banyak orang yang ikut arus terhadap model-model baru yang tidak selaras dengan
budaya bangsa dan ajaran agama. Fashion juga bisa dijadikan contoh lain
untuk hal ini.
Salah satu aspek penting yang
dapat menjadi modal untuk mewarnai perubahan adalah pendidikan. Pendidikan
memberikan modal besar—pengetahuan, sikap, dan keterampilan—sehingga
memungkinkan seseorang dapat menjadi manusia yang selalu eksis menghadapi
setiap perubahan. Bahkan, sangat mungkin ia mampu menjadi pionir perubahan itu
sendiri.
Perubahan
memang menjadi realitas yang harus disikapi secara bijak. Harus disiapkan berbagai
perangkat untuk melakukan transformasi dalam era ini. Pilihan menghadapi
perubahan secara ekstrim hanya dua, ”Change
or Die!”, ”Berubah atau Mati”.
[1]Damardjati Supadjar, Filsafat
Ketuhanan Menurut Alfred North Whitehead (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000),
hlm. 21.
[2]A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran
Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hlm. 26.
[3]Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1986).
[4]Akbar Zainuddin,
Man Jadda Wajada, The Art of Excellent
Life (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 11.
[5]Lihat novel Iwan Setyawan, 9 Summers 10 Autumns (Jakarta: Gramedia, 2012).
Tidak ada komentar: