Mengekspor Islam, bukan Mengimpor Islam
Oleh Ngainun
Naim
![]() |
Prof. Sumanto (bertopi) saat mengunjungi stand IAIN Tulungagung di Arena AICIS Lampung |
Judul
tulisan ini mungkin terlihat provokatif. Sangat mungkin Anda tidak setuju
dengan judul dan isinya. Saya kira itu wajar dan saya terbuka terhadap
perbedaan pendapat, sepanjang dilakukan dengan baik yang bertujuan untuk menebarkan
kebaikan dan berbagi pengetahuan. Bukan mencerca, apalagi menjatuhkan.
Baiklah,
saya harus jelaskan dulu darimana gagasan untuk judul ini muncul. Jujur, ide
untuk membuat judul ini muncul setelah saya mendengarkan ceramah intelektual
muda Indonesia yang sekarang cukup dikenal karena aktivitasnya di dunia
keilmuan internasional, Prof. Dr. Sumanto Al-Qurtuby. Guru besar sebuah
universitas di Arab Saudi ini semakin dikenal luas karena status facebooknya
yang sangat inspiratif. Beruntung sekali saya bisa mendengarkan ceramahnya saat
ia menjadi pembicara di AICIS ke-16 di IAIN Raden Intan Bandar Lampung.
![]() |
Bersama Dr. Abad Badruzaman |
Sebagaimana
statusnya yang ‘provokatif’, ceramahnya ternyata setali tiga uang. Suaranya
besar menggelegar. Pidatonya sangat menarik sehingga memukau ratusan peserta
yang memenuhi Aula Utama IAIN Raden Intan Lampung.
Pada
pembuka pidatonya, Sumanto Al-Qurtuby menyatakan pendapat yang telah banyak diketahui
oleh kita semua, yakni tentang Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di
dunia. Namun demikian ia menegaskan bahwa yang besar itu belum tentu jadi
pemenang. Realitas semacam ini yang terjadi dengan Islam Indonesia. Di dunia
ternyata tidak banyak yang mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Ini merupakan fenomena yang
meresahkan. Karena itulah Sumanto Al-Qurtuby mempertanyakan: “Ini karena orang
Barat yang kuper atau karena orang
Indonesia yang gagal dalam memarketkan Islam Indonesia?”.
Prof.
Sumanto Al-Qurtuby menyatakan bahwa reputasi Indonesia kalah jauh dengan
negara-negara lain di dunia dalam kerangka pengembangan diskursus keislaman. Posisi
Indonesia tidak banyak mewarnai, tetapi diwarnai. Bahkan secara ‘provokatif’
dinyatakan bahwa, “Indonesia lebih sebagai importir Islam, termasuk Islam yang rongsokan”.
Disebut demikian karena Islam yang di negara asalnya ditolak, justru
mendapatkan pengikut yang cukup banyak di Indonesia. Muslim Indonesia diibaratkan
oleh Prof. Sumanto Al-Qurtuby sebagai lebih bangga menjadi cheerleader organisasi dari luar.
Posisi
yang pasif dalam diskursus keislaman ini menjadikan kita tidak kreatif. Kita
hanya menerima Islam dari luar, bukan justru menawarkan Islam kita kepada pihak
luar. “Kita hanya menjadi pengimpor Islam, bukan pengekspor Islam”, paparnya
secara berapi-api.
Kondisi
ini didukung oleh watak masyarakat kita yang begitu mudah untuk terpecah belah.
Masyarakat kita begitu bersemangat dalam permusuhan, sejak dulu sampai
sekarang. Energi yang semestinya dipakai untuk melakukan berbagai usaha
kreatif, dalam realitasnya justru dicurahkan untuk hal-hal yang tidak
produktif.
Prof.
Sumanto juga mengajak para peserta untuk berpikir kritis. Ada kecenderungan
sekarang ini di mana banyak kampus di Indonesia yang dengan bangganya memanggil
ilmuwan dari luar negeri ke Indonesia. Dalam kerangka pengembangan keilmuan,
hal semacam ini memang baik. Tetapi penting juga untuk berpikir jauh ke depan,
yakni kapan para ilmuwan kita dipanggil di banyak universitas di dunia? Memang
sekarang ini sudah ada ilmuwan kita yang berkelas internasional. Mereka
mengajar di berbagai universitas di dunia. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit.
Karena itulah Prof. Sumanto berharap agar AICIS menjadi media untuk mengembalikan
Islam Indonesian, khususnya para ilmuwannya, agar diperhitungkan di kancah internasional.
“Indonesia di masa mendatang harus menjadi eksportir Islam, bukan importir
Islam”, tegas Prof. Sumanto Al Qurtuby.
Semoga menjadi pelajaran dan mendapat kebaikan yang banyak aamiin
BalasHapusAmin. Terima kasih atas doanya.
HapusBagus sekali tulisannya mas. Izin kushare ya.....
BalasHapusSilahkan. Semoga bermanfaat.
HapusSepintas dari judulnya memang terasa provokatif. Hehehe
BalasHapusTapi jika sudah mengetahui isinya, sungguh di luar dugaan.
Semangat, pak...
Terima kasih banyak mas.
Hapus