Pemuda, Media Online dan Deradikalisasi
Oleh
Ngainun
Naim
![]() |
Dari kiri ke kanan: Saya, M. Aminuddin Jabir, Nunung Rodiyah, dan Saivol Firdaus. |
Hari minggu tanggal
19 Desember 2016 saya mendapatkan amanah untuk menjadi pembicara Seminar
Nasional yang dilaksanakan oleh KNPI Tulungagung di Hotel Narita Tulungagung.
Tema seminar adalah “Peran Pemuda dalam Pengawasan Penyiaran Sebagai Pilar
Penjaga Moralitas Bangsa”. Pembicara yang lain adalah Nuning Rodiyah dari
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat) dan Ketua PWI Tulungagung, M. Aminuddin
Jabir.
Pada
seminar ini saya menyajikan materi yang judulnya sama dengan judul tulisan ini,
yaitu “Pemuda, Media Online dan
Deradikalisasi”. Pada bagian awal, dengan mengutip tulisan Ariel Heryanto yang
berjudul, “Budaya Pop dan Persaingan Identitas” (dari buku Ariel Heryanto
(ed.), Budaya Populer di Indonesia, Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru, terj.
Eka S. Saputra, Yogyakarta: Jalasutra, 2012, halaman 7, saya menulis bahwa media
sekarang ini telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan masyarakat
sekarang ini. Media yang kini banyak menyita perhatian, energi, dan waktu bagi
masyarakat Indonesia adalah televisi. Selain televisi, internet dengan segala
jenis jejaring sosialnya juga dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia, khususnya pemuda.
Selanjutnya
saya menulis bahwa media itu tidak netral. Ada muatan nilai dan kepentingan
yang diusung dari setiap tampilan media. Kemampuan media untuk menciptakan realitas
dimulai dari kekuasaannya untuk menentukan jenis lansiran yang akan
disebar kepada masyarakat. Mengutip pendapat Alex Sabur, proses penentuan
berita dikenal dengan istilah framing, yaitu sebuah proses penyeleksian
dan penyorotan khusus terhadap
aspek-aspek realita oleh media. Proses framing fokus pada strategi
seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar berita tersebut
lebih bermakna, lebih berarti atau lebih diingat, dan untuk menggiring
interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. (Informasi lebih jauh bisa dibaca
di Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wcana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001), halaman 163.
![]() |
Bahan presentasi |
Dalam
konteks moralitas, pemberitaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan berbagai
perilaku yang tidak sesuai dengan moralitas lebih sering dalam bentuk
glamorisasi, pemujaan, dan dijadikan sebagai life style. Hal yang sama
juga berlaku untuk konteks radikalisme. Implikasinya, masyarakat yang
mengkonsumsi berita akhirnya mengikuti atau paling tidak menyetujui terhadap
apa yang ditayangkan oleh media. Jika proses ini berlangsung secara massif dan
dalam jangka waktu yang panjang maka terbangun konsepsi dan penerimaan
masyarakat terhadap fenomena demoralisasi dan radikalisasi.
Media,
apa pun bentuknya, memiliki banyak fungsi. Media bukan hanya berfungsi sebagai
saluran pesan, melainkan juga sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Media, dengan demikian,
berfungsi layaknya agen konstruksi sosial dalam mendefinisikan realitas.
Segala
yang menarik perhatian akan menjadi pokok perhatian (viral) masyarakat secara
luas. Sekitar 10 tahun lalu, Inul Daratista adalah sebuah fenomena. Ariel
Heryanto yang bukunya sudah saya sebutkan di atas, pada halaman 24 menulis
bahwa, “Hanya dalam satu malam saja Inulmania melanda Indonesia dan dalam
hitungan mingguan Inul berjingkrak dan menguasai sampul depan majalah-majalah
nasional terkemuka, dan muncul di televisi lebih sering ketimbang kepala
negara”.
Persebaran
informasi di media online sekarang ini jauh lebih cepat lagi. Apa yang
baru saja diunggah, sangat mungkin tersebar menjadi viral hanya dalam hitungan
menit. Persoalannya, media online sekarang
ini digambarkan laiknya sebuah ruangan yang penuh sesak dengan berbagai konten
negatif yang bernuansa kebencian, penghasutan, permusuhan, dan ajakan
kekerasan.
![]() |
Presentasi |
Media
sosial ibarat snack. Sedikit, renyah, dan menyenangkan. Konten emosi
lebih kuat bila dibandingkan dengan media mainstream yang lebih faktual
dan rasional. Ternyata pengaruh status dengan muatan negatif lebih kuat jika
dibandingkan dengan status positif. “Hal ini berkaitan dengan sifat dasar
manusia yang menganggap sesuatu yang negatif sebagai sinyal bahaya”, kata Roby
Muhamad, Peneliti Status Media Sosial dari UI sebagaimana dimuat Harian Jawa
Pos, Selasa, 6 Desember 2016, halaman 7.
Media
itu memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Ia bisa membentuk cara berpikir
seseorang. Bahkan orang yang telah cukup matang dalam kemampuan berpikirnya pun
bisa dipengaruhi oleh media. Ia bisa berubah dalam pikiran, pemahaman, dan
tindakannya karena kekuatan tulisan di media. Jika orang yang telah matang
berpikir saja bisa berubah maka perubahan lebih mungkin terjadi pada anak-anak
dan pemuda. Bahkan, “...ia bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka,
meskipun orang tua mendampingi anak-anaknya setiap hari” (Muhammad Fauzil
Adhim, Spiritual Parenting, (Bandung: Mizania, 2006), halaman 209.
Pemuda
merupakan sasaran radikalisme. Setidaknya ada empat alasannya. Pertama, konten
digital yang tersebar di internet banyak mengandung aspek radikalisme. Pilihan
internet ini karena lebih mudah untuk diakses banyak kalangan. Anak-anak
muda adalah konsumen internet terbanyak. (Informasi lebih jauh bisa dibaca di “Literasi Digital Atasi
Ekstremisme”, Kompas, 6 Desember 2016.
Kedua,
internet cocok dengan gaya hidup pemuda zaman sekarang. Pemuda sekarang nyaris
tidak ada yang tuna internet.
Persoalannya, mereka menggunakan internet tanpa dilandasi oleh pengetahuan,
wawasan, dan nalar kritis. Implikasinya, pemuda mudah terjerumus terhadap
berbagai perilaku menyimpang atau melanggar moralitas, termasuk mudah terjebak
ke dalam ajakan radikalisme.
Ketiga,
pemuda memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, termasuk keinginan mencoba
hal-hal baru. Dalam kerangka ini, tidak jarang pemuda tidak mempertimbangkan
berbagai aspek secara komprehensif.
Keempat,
kondisi psikologis pemuda biasanya belum matang sebagaimana mereka yang sudah
dewasa. Selain itu, pengalaman hidup mereka juga belum terlalu banyak. Inilah
yang menjadikan pemuda adalah sasaran berbagai kepentingan, termasuk
radikalisme.
Pada
bagian akhir, saya menawarkan beberapa langkah deradikalisasi. Pertama, sikap penting yang semestinya
dibangun dalam membaca berita dari media apapun adalah sikap kritis. Jangan
langsung percaya terhadap setiap berita yang ada di media. Tidak setiap
kebenaran di media itu otomatis tanpa kesalahan. Berita yang disajikan di
media, khususnya di internet, harus diposisikan sebagai objek yang harus
dikritisi. Apalagi sekarang ini berita hoax begitu banyak ditemukan,
khususnya lewat jejaring sosial.
Kedua, literasi
media. Kehidupan yang semakin kompleks, terutama dengan hadirnya media,
seharusnya menyadarkan banyak pihak untuk memahami realitas secara objektif. Media
telah ada dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Keberadaan media
bukan hanya sekadar sebagai pelengkap saja melainkan telah menciptakan
ketergantungan. Pada kondisi semacam ini, sikap yang penting dikembangkan
adalah literasi media. Literasi media adalah kemampuan membaca dan
menulis secara konstruktif di media.
Ketiga, kebijakan.
Media online sekarang ini seolah tanpa kendali. Segala jenis isi
tersebar luas tanpa ada yang mengendalikan. Siapa pun bisa masuk di dalamnya
secara bebas. Justru karena kebebasan yang tanpa kendali inilah yang kemudian
membawa dampak yang sangat besar, khususnya pada aspek moralitas. Pergeseran
moralitas yang sekarang ini semakin liberal dan permisif disebabkan—salah
satunya—berkembangnya media online. Diperlukan kebijakan yang tepat
untuk membentengi masyarakat Indonesia. Globalisasi memang memberikan aspek
positif, tetapi dampak negatifnya juga luar biasa. Justru karena itulah
diperlukan kebijakan yang mengatur media online agar bisa meminimalisir
berbagai ekses negatifnya.
Keempat, penguatan
pendidikan. Pendidikan adalah institusi yang paling efektif di dalam mewujudkan
manusia bermoral dan berkualitas. Institusi pendidikan penting untuk memperkuat
dirinya agar anak didiknya bisa dicegah dari berbagai ekses negatif media. Jangan
sampai sekolah kehilangan peran strategisnya dalam kerangka mewujudkan manusia
yang bermoral dan berkualitas. Justru yang ironis, sekolah tertentu dimasuki
oleh orang-orang tertentu yang mengusung ideologi radikalis. Aspek ini penting
untuk menjadi perhatian kita semua.
apa mungkin, untuk internetan perlu diadakan seleksi? oh, andaikan mungkin...kita pasti enggak capek baca2 adu status di linimasa
BalasHapusItulah salah satu kelebihan sekaligus kekurangan internet. Maka saya membayangkan seandainya bisa diseleksi, tentu akan lebih menyenangkan.
HapusTerkadang miris juga jika melihat berita hoax, entah kenapa semakin maju perkembangan teknologi semakin banyak yang menyalahgunakan media sosial untuk ajang berita yang belum tentu kebenaran, perdebatan yang tak ada arah dan tujuannya dll. Andai internet digunakan dengan hal-hal positif... pastinya akan damai.
BalasHapusHoax memang mengerikan Mbak. Karena itu dibutuhkan "literasi media" agar kita tidak mudah mempercayai begitu saja setiap berita yang ada.
Hapus