Gender, Kolonialisme dan Pascakolonial
Judul: Kajian Gender dalam
Konteks Pascakolonial
Penulis: Katrin Bandel
Penerbit: Sanata Dharma
University Press
Edisi: November 2016
Halaman: xiv+138 halaman
Peresensi: Ngainun Naim, pembaca buku
Penjajahan secara fisik di Indonesia telah usai, tetapi pengaruhnya masih
sangat kuat. Kolonialisme dalam bentuk baru masih berlangsung dan justru mengakar
kian kuat dalam pengalaman dan kesadaran masyarakat Indonesia. Ketergantungan,
pemujaan, dan pengakuan terhadap superioritas Barat merupakan salah satu manifestasi
dari kolonialisme.
Kolonialisme model baru ini tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan
kolonialsime secara fisik di masa lalu. Implikasi kolonialisme model baru ini
adalah munculnya ketimpangan terhadap banyak hal, termasuk ketimpangan gender. Berbagai
bentuk ketimpangan relasi gender menjadikan perempuan tidak memiliki kesempatan
yang sama dengan kaum laki-laki untuk mengekspresikan potensi dirinya. Kaum
perempuan menjadi tersisih pada berbagai wilayah kehidupan. Ketimpangan inilah
yang dalam perkembangannya kemudian memunculkan gerakan feminisme.
Tujuan gerakan feminisme adalah lahirnya kesederajatan dan kesetaraan
antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Berbagai bentuk ketimpangan mereka
kritisi dan dekonstruksi. Kalangan feminis bergerak nyaris pada semua level, mulai
dari level filosofis hingga aksi-aksi praktis.
Namun demikian tampaknya ada kesalahpahaman dan jurang teoretis-empiris
antara apa yang diperjuangkan oleh para aktivis kesetaraan gender dengan
realitas masyarakat. Perjuangan kesetaraan gender pada ujungnya bukan membangun
kesetaraan, alih-alih justru mengokohkan kolonialisme. Hal disebabkan karena
gerakan kesetaraan gender bias kolonialisme.
Realitas kolonialisme sesungguhnya riil tetapi sulit diidentifikasi,
apalagi dihilangkan. Hal ini disebabkan karena eksistensinya yang telah tertananam
kuat dan menancapkan pengaruhnya secara mendalam. Ia memang tidak hadir secara
fisik, tetapi hadir dan menguasai wilayah batin. Justru karena itulah wacana
kolonialisme sulit untuk dihilangkan.
Wacana kolonialisme tidak bisa dibiarkan. Harus dilakukan berbagai upaya
untuk membongkarnya dan menggantinya dengan wacana baru yang lebih humanis. Jika
menginginkan kehidupan yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan maka
membongkar kolonialisme model baru merupakan sebuah keharusan. Kajian
pascakolonial dapat berperan sebagai alat bantu untuk mewujudkan hal tersebut.
Gender, kolonialisme dan pascakolonial menjadi kata kunci yang mewakili isi
buku yang ditulis oleh Katrin Bandel ini. Buku karya dosen Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta asal Jerman ini menarik karena ditulis dalam bahasa
sederhana. Gaya bahasa bertutur santai dan tidak kaku menjadikan buku ini
menarik untuk dibaca. Padahal, buku sesungguhnya merupakan karya ilmiah yang sarat
referensi dari berbagai buku berbobot. Selain itu, buku ini tidak berangkat
dari teori, tetapi berangkat dari contoh-contoh konkrit untuk kemudian
dianalisis secara kritis dengan kerangka teori tertentu.
Sebagai contoh adalah ulasannya pada halaman 21-23. Katrin menulis bahwa
tahun 2016 ia meluncurkan buku kumpulan esai dengan judul "Sastra
Perempuan Seks". Buku itu suatu waktu di bedah di Toko Buku Toga Mas
Gejayan, Yogyakarta. Acara berjalan lancar. Beberapa hari kemudian ia menerima
email dari seseorang tanpa identitas. Orang tersebut hadir dalam diskusi. Isinya
dinilai Katrin sangat memuakkan. Ia menyebut bahwa dirinya menjadi korban
pelecehan seksual secara verbal. Secara emosional Katrin menulis,
"Pelecehan terjadi bukan di ruang publik, tapi memasuki sebuah acara
diskusi--atau dengan kata lain, memasuki dunia pemikiran dan
tulis-menulis".
Katrin juga mengulas sosok Kartini secara kritis. Kartini sekarang ini ‘dipaksa’
masuk dalam identitas tertentu. Menurut Katrin, upaya semacam ini tidak
bijaksana. Justru hibriditas adalah kekhasan hidup Kartini, sebagai
manusia Jawa di zaman kolonial. Karena itu Katrin menyimpulkan bahwa,
"Kartini bukan salah satu dari versi itu, dia adalah semuanya. Jawa,
Eropa, Hindia, Islam, sinkretis, kolonial, feminis, anti-kolonial—Kartini memiliki
semua itu dalam dirinya, dengan segala pertentangannya. Kartini manusia hibrid
yang gelisah dan terombang-ambing" (h. 57).
Kritis namun santun.
Buku karya Katrin Bandel ini menarik karena berbeda dengan tulisan para
aktivis gender pada umumnya yang cenderung tanpa kompromi. Tulisan para aktivis
gender tidak jarang terkesan emosional dan kehilangan empatik.
Bisa dikatakan bahwa Katrin juga kritis. Tetapi ia mengkritik dengan bahasa
halus. Kritiknya sesungguhnya cukup tajam, tetapi dibungkus dengan bahasa yang
penuh kelembutan.
Buku yang terdiri dari sepuluh bab ini menemukan relevansi kontekstualnya
dengan realitas empiris. Topik yang diangkat merupakan topik aktual. Bidikannya
dibungkus dalam catatan kritis namun santun. Justru karena itulah membaca buku
ini secara mendengarkan Katrin bercerita.
Selain
itu, kutipan dari bahasa Inggris juga diterjemahkan. Tentu, hal ini memudahkan
pembaca yang kurang menguasai bahasa Inggris untuk memahami isi buku ini.
Emansipasi dan feminisme.
BalasHapusBetul Mas
HapusKritik yang dibungkus dengan bahasa yang halus sesungguhnya memang lebih mudah diterima.
BalasHapusYa, setuju mas.
Hapus