Pengawas Juga Butuh Menulis

Mei 30, 2019

Oleh Ngainun Naim


Jadwal kegiatan di Bulan Maret 2019 sesungguhnya cukup padat. Tanggal 25-27 Maret 2019 saya mengikuti Annual Conference on Research Proposal (ACRP) di Serpong. Setelah pulang, sesungguhnya saya ingin segera menyelesaikan tugas-tugas kantor yang masih terbengkalai. Tetapi saya tidak bisa menolak lagi ketika diminta membantu kawan-kawan Pengawas PAI Kabupaten Blitar untuk mengisi acara yang mereka gelar. Saya sendiri sebenarnya hanya menjadi salah satu dari beberapa pembicara di acara yang digelar pada 26-27 Maret 2019 di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar.  

Saya mengawali acara dengan mengajak diskusi para peserta terkait apa sesungguhnya kebutuhan mereka. Sekitar 30 pengawas terlibat dalam diskusi yang berlangsung cukup intensif. Ada usul, curhat, dan juga berbagi pemikiran. Setelah itu saya membuat titik simpul, yaitu para pengawas banyak yang terhambat naik pangkat karena kesulitan memenuhi salah satu unsur penting yang menjadi syarat, yaitu menulis artikel jurnal.

Tampaknya seluruh peserta setuju dengan kesimpulan yang saya buat. Karena persoalannya adalah kesulitan menulis artikel jurnal maka saya pun menawarkan materi yang agak keluar dari TOR yang ditawarkan oleh panitia. Menurut saya, agak keluar—sebagaimana disepakati—tidak apa-apa jika memang sesuai dengan kebutuhan nyata yang mereka hadapi.
Sebelum lebih jauh masuk ke topik menulis artikel jurnal, saya harus menjelaskan dulu apa itu jurnal. Ternyata, sebagian peserta belum memiliki persepsi tentang apa itu jurnal, bagaimana proses menulis, mengirim, dan sejenisnya. Padahal, jurnal mengalami perkembangan yang cukup dinamis dalam beberapa waktu terakhir.

Setelah menjelaskan sedikit tentang jurnal, saya baru masuk ke artikel jurnal. Saya sampaikan bahwa artikel jurnal itu berbeda dengan jenis tulisan yang lainnya. Cara terbaik untuk mengetahui apa, mengapa, bagaimana, dan hal-hal terkait lainnya terkait dengan jurnal adalah mengunjungi OJS jurnal tertentu. Karena kebetulan saya mengelola jurnal di IAIN Tulungagung maka saya tunjukkan alamat OJS-nya.
Dari sisi komposisi, pertama adalah judul. Judul artikel jurnal sebaiknya terdiri dari kalimat yang jelas. Jangan sampai kalimat yang digunakan kabur, puitis, sensasional, terlalu pendek atau terlalu panjang. Judul yang baik itu merefleksikan isi.
 
Penjelasan ini memang teoretis. Tidak mudah bagi orang yang belum terbiasa menulis untuk membuatnya. Karena itu saya mengajak seluruh peserta bercerita tentang ingin menulis topik apa, lalu saya pandu membuat judulnya. Ternyata tidak mudah juga. Masing-masing orang harus berjuang keras untuk menghasilkan judul yang sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.
Meskipun tidak mudah, saya harus meyakinkan para peserta bahwa mereka sesungguhnya mampu membuat judul dengan baik. Terbukti, semua peserta bisa membuat judul, meskipun memang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Setidaknya ada kemauan, kerja keras, dan usaha bersama.
Setelah itu saya menjelaskan tentang abstrak. Sebuah artikel jurnal harus memuat abstrak. Ada beberapa unsur pokok yang harus ada dalam abstrak. Sama seperti judul, saya juga mengajak semua peserta untuk bersama-sama membuat abstrak.
Bagian demi bagian dari artikel jurnal saya sampaikan, mulai dari latar belakang, metode, pembahasan, sampai kesimpulan. Juga saya jelaskan tentang gaya selingkung yang harus diikuti. Pada bagian ini jelas tidak memungkinkan untuk diikuti dengan praktik. Menulis artikel jurnal membutuhkan energi, waktu, dan konsentrasi yang tinggi. Tidak bisa sekali pelatihan langsung menyelesaikan artikel jurnal. Bahkan mereka yang sudah ahli sekalipun membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bisa berminggu-minggu.
Target saya pada acara itu sederhana saja, yaitu bagaimana para pengawas memiliki pengetahuan, kesadaran, dan kemauan untuk menulis. Aspek ini sangat penting karena jika tidak dimiliki, mustahil seorang pengawas akan mau bersusah payah menulis artikel jurnal. Jangankan menulis artikel jurnal yang jelas-jelas sangat sulit, menulis naskah esai untuk edisi puasa di bulan ramadan saja belum tentu mampu dilakukan.
Munculnya kasus “tukang jahit” atau jasa pembuat tulisan sesungguhnya berawal dari tidak adanya pengetahuan dan kesadaran tentang signifikansi proses menulis. Menulis itu bukan kerja instan yang sekali jadi. Ada proses panjang dan berkelanjutan yang harus terus disemai, didampingi, dan diyakinkan. Jika ini mampu dilakukan, ada peluang munculnya potensi tersembunyi tulisan dari para pengawas.
Tentu, tanpa bermaksud menafikan, kecil kemungkinannya semua peserta akan sukses menjadi penulis. Jika pun semuanya menjadi penulis, pasti kualitas yang dimiliki juga berbeda-beda. Ada banyak faktor yang saling berkait-kelindan yang mempengaruhi seseorang dalam menjalani aktivitas menulis. Berbagai faktor inilah—berdasarkan pengalaman—membuat tidak semua orang mampu bertahan menjalaninya.
Mengajak orang untuk menekuni aktivitas membaca dan menulis sudah ratusan kali saya lakukan. Namun yang mau berusaha keras mengikuti jejak literasi dan kemudian bertahan untuk terus menulis ternyata memang tidak banyak. Saya sadar sepenuhnya bahwa membangun tradisi literasi itu tidak mudah. Meskipun demikian saya tidak berputus asa. Saya akan terus menulis dan berbagi dalam kerangka membangun budaya literasi. Soal hasil itu bukan urusan personal saya.
Jika para pengawas menyadari bahwa menulis merupakan kebutuhan, tentu mereka akan berusaha keras untuk membangun budaya literasi. Persoalannya, di lingkungan mereka sendiri selama ini nyaris tidak ada orang yang bisa merawat keinginan ini dan mengembangkannya menjadi budaya. Pada titik itulah maka kerja literasi sesungguhnya adalah kerja jangka panjang yang tidak berkesudahan.

Tulungagung, 18 Mei 2019

2 komentar:

  1. di guru juga seperti itu bang terhambat karena tidak tahu namanya jurnal dan publikasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya mas. Karena itu seharusnya memang dilakukan upaya-upaya serius untuk membangun keterampilan menulis di kalangan guru.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.