Dakwah Lewat Tulisan

Agustus 15, 2020

 Ngainun Naim

 

Dakwah itu banyak bentuknya. Tidak hanya pengajian atau majelis taklim saja. Tulisan semacam ini juga bisa diposisikan sebagai sarana dakwah. Ya, dakwah lewat tulisan.

Jenis dakwah lewat tulisan saya kira juga cukup efektif. Di era media sosial seperti sekarang ini, tulisan yang mengajak kepada kebajikan—dalam maknanya yang luas—harus terus disuarakan. Dibandingkan dengan pengajian dalam sebuah ruangan, tulisan memiliki peluang terbaca luas, tergantung persebarannya. Kita tentu sering menemukan tulisan yang viral sehingga dibaca ratusan ribu orang.

Sekarang ini zamannya media sosial. Sebagian besar orang memiliki akun di media sosial. Anda yang membaca catatan sederhana ini juga kemungkinan besar aktif bermedia sosial.  Memang, interaksi sosial sekarang ini tidak hanya bersifat tatap muka saja. Riuh rendah perbincangan ada di dunia maya. Intensitasnya semakin meningkat saat corona mewabah. Dinamika dunia maya memang sangat kompleks dan tidak mudah untuk diurai. Lalu lintasnya berlangsung nyaris tanpa henti.

Jika Anda mengunggah sebuah tulisan atau foto, unggahan Anda memiliki peluang untuk dilihat oleh orang dalam jumlah yang tidak terbatas. Jika Anda mengunggah kebajikan maka kebajikan itu akan berlipat-lipat kali saat dibaca. Tentu akan lebih berlipat manakala mampu memberikan inspirasi dan menjadi energi untuk transformasi diri. Tulisan semacam ini adalah tulisan yang menggerakkan. Tulisan yang mampu memberikan dampak perubahan pada pembacanya. Sebaliknya, jika Anda menebarkan keburukan maka keburukan itu juga akan berlipat saat orang mendapatkan inspirasi keburukan dari apa yang Anda unggah.

Itulah salah satu kekuatan media sosial. Pengaruhnya sangat besar. Informasi demi informasi berdatangan seperti air bah tanpa bisa dibendung. Begitu derasnya sampai masyarakat bingung terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Sulit lagi untuk dibedakan antara keinginan dan kebutuhan. Pada titik inilah literasi media diperlukan. Berpartispasi aktif lewat tulisan-tulisan yang positif juga sangat diperlukan.

Media sosial bukan hanya mendeskripsikan realitas tetapi juga bisa membentuk realitas itu sendiri. Kebenaran bukan hanya kebenaran itu sendiri. Kebenaran pun bisa dikonstruksi sesuai dengan kepentingan yang ada di belakangnya. Media sosial bisa membentuk cara berpikir seseorang.

Orang yang telah cukup matang dalam kemampuan berpikirnya pun bisa dipengaruhi oleh media. Ia bisa berubah dalam pikiran, pemahaman, dan tindakannya karena kekuatan tulisan di media. Jika orang yang telah matang berpikir saja bisa berubah maka perubahan lebih mungkin terjadi pada anak-anak dan pemuda. 

 

Menurut Abd. A’la (2018: 16), fenomena semacam ini disebut sebagai liberalisasi informasi. Sekarang kita sedang berada pada kondisi ini, meskipun intensitas dan ukurannya masih bisa diperdebatkan. Ketika liberalisasi informasi semakin berkembang maka dampak negatif yang dirasakan adalah tumbuhnya sikap pragmatisme akut. Segala sesuatunya diukur dari sudut pragmatis.

Kondisi semacam ini melanda Sebagian besar bidang kehidupan, termasuk—mohon maaf—bidang kehidupan keagamaan. Saya ambil contoh tentang perubahan dalam model belajar agama. Ada kecenderungan orang belajar agama—sebagian, tidak semua—melalui media sosial. Semangat belajar ini harus diapresiasi. Ini sangat bagus. Tapi harus ada yang membimbing. Belajar ilmu agama berbeda dengan belajar ilmu yang lain. Tidak semua isi yang ditampilkan di media sosial tidak selalu terjamin validitasnya. Adanya guru membuat yang belajar memiliki perspektif yang lebih luas.

Realitas semacam ini seharusnya kita respon secara kreatif. Kita tidak bisa bersifat pasif dan menerima mentah-mentah informasi yang tersaji. Informasi yang tersaji semestinya diberi sentuhan nilai-nilai luhur. Jika ada yang kurang baik maka tugas kita bersama adalah memberikan usaha-usaha kreatif agar informasi kembali jernih dan menghadirkan nilai-nilai positif.

Salah satu langkah yang penting untuk dilakukan adalah membangun tradisi menulis. Tradisi menulis merupakan modal penting untuk menghadapi era disrupsi yang sedemikian dinamis. Tulisan yang kita buat akan membawa implikasi berlipat, baik atau buruk. Justru karena itulah membuat tulisan yang baik menjadi kebutuhan yang sangat mendasar.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Bambang Trim (2018) yang menyatakan bahwa “Zaman memang telah berubah. Anda dan saya benar-benar dikepung teks dan hanya keandalan literasi yang dapat membuat Anda dan saya menjadi penyintas (survivor) pada zaman tidak menentu ini”.

Keandalan literasi tampaknya menjadi kata kunci yang penting dikuasai agar kita bisa menjadi penyintas di era media sosial ini. Literasi masih menjadi aspek yang kurang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Budaya berbicara lebih dominan dibandingkan dengaan budaya membaca dan menulis. Padahal, literasi memiliki pengaruh yang lebih luas, mendalam, dan lama. Dunia dakwah kita juga lebih didominasi oleh budaya lisan daripada budaya tulis.

Bukan berarti budaya lisan tidak penting. Sama sekali tidak. Budaya lisan telah ada, hadir, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan kita sehari-hari. Tradisi literasi merupakan upaya memperkaya tradisi yang ada. Tradisi lisan jelas akan tetap menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan, sementara tradisi literasi memperkaya tradisi lisan yang telah mapan.

Dakwah dengan tulisan memiliki banyak kelebihan. Pertama, menghadirkan karakter keberagamaan yang mencerahkan. Tentu kita harus kreatif agar  tidak kehilangan konteks dan relevansi. Generasi milenial sesungguhnya haus akan bacaan agama yang bermutu di media sosial. Tidak sedikit generasi sekarang ini yang mengonsumsi bacaan agama yang tidak mencerahkan. Di sinilah peluang dakwah literasi.

Kedua, dakwah melalui tulisan mampu menjangkau pembaca yang sangat luas. Sejalan dengan karakter media sosial, tulisan yang diunggah akan cepat tersebar melewati ruang dan waktu.

Ketiga, dakwah lewat tulisan bisa menghadirkan model keberagamaan yang moderat. Media sosial itu tidak netral. Kemampuan media untuk menciptakan realitas dimulai dari kekuasaannya untuk menentukan jenis lansiran yang akan disebar kepada masyarakat. Proses penentuan berita dikenal dengan istilah framing, yaitu sebuah proses penyeleksian dan penyorotan  khusus terhadap aspek-aspek realita oleh media. Proses framing fokus pada strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar berita tersebut lebih bermakna, lebih berarti atau lebih diingat, dan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Alex Sobur, 2001). Dalam konteks ini, tulisan dakwah yang mencerahkan sangat penting artinya untuk dihadirkan sebagai cara menghadirkan perspektif yang mencerahkan.

 

Trenggalek, 14 Agustus 2020

 

Catatan: versi awal tulisan ini sudah pernah dimuat di portal ar-rahim.id. Setelah mengalami penambahan dan perbaikan, dimuat kembali di blog pribadi ini.

31 komentar:

  1. Literasi digital adalah sebuah keniscayaan di era disrupsi. Tidak pernah bosan membaca catatan demi catatan dari bapak literasi👌

    BalasHapus
  2. Enak sekali dibaca. Smg bisa mengikuti jejak Bapak

    BalasHapus
  3. Libeealisasi informasi...
    Media sosial sebagai guru perlu ada seorang pembimbing terutaama masalah agama

    BalasHapus
  4. Perlu peran aktif pemilik otoritas dalam ikut mewarnai literasi media.

    BalasHapus
  5. Qt hrs memiliki kemampuan literasi agar bisa survive di zaman modern ini.

    BalasHapus
  6. Buku ttg menipu setan..menyajikan susunan kalimat2 yg membuat sy tdk bosan membacanya bahkan d pswt pun sy tak lupa membacanya.sehat selalu pa nGainun..😇👍

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah, mudah2an dapat menumbuhkan semangat membaca n menulis

    BalasHapus
  8. Tulisan yang panjang tapi ringan. Jadi dengan cepat bisa selesai dan dipahami. Terima kasih tadz.

    BalasHapus
  9. cerita mengenai dahsyat nya membaca dan menulis, walaupun ditulis banyak orang , tetap saja menantang.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.