Menulis untuk Kebahagiaan

November 27, 2020

Ngainun Naim

 


Salah seorang penulis Indonesia yang cukup memengaruhi proses kepenulisan saya adalah Hernowo. Tokoh yang terkenal dengan jargon “Mengikat Makna” ini mengoyak kesadaran saya untuk terus menulis sepanjang saya mampu. Beliau memang telah berpulang beberapa tahun lalu, tetapi energi dan spirit menulisnya masih terus hadir dalam diri saya. Saya kadang membuka kembali buku-buku karya beliau. Saat membacanya dan merenungkan pesan-pesannya, energi kepenulisan Pak Hernowo seolah bertransformasi ke diri saya.

Secara personal saya tidak terlalu akrab dengan beliau. Saya tahu diri. Beliau tokoh besar dan memiliki kesibukan yang luar biasa. Seingat saya hanya dua kali saya bertemu langsung dengan beliau. Pertemuan yang tidak lama dan tidak memungkinkan untuk dialog sampai puas. Pertemuan pertama di Yogyakarta dan pertemuan berikutnya di ITS Surabaya. Di kedua pertemuan tersebut kebetulan saya dan beliau sama-sama menjadi pembicara seminar. Beliau datang saat acara sudah mulai dan tidak berselang lama setelah mengisi acara beliau meninggalkan forum karena ada agenda berikutnya yang harus diikuti. Meskipun demikian komunikasi kami cukup intensif. WA dan Facebook yang menjadi medianya.

Suatu ketika, di akhir tahun 2017, saya menghubungi Pak Hernowo. Saya meminta perkenan beliau untuk memberikan kata pengantar buku saya, Proses Kreatif Penulisan Akademik. Sungguh luar biasa, Pak Hernowo menyambut baik permintaan saya. Dalam hitungan hari, sebuah kata pengantar bergizi dikirimkan oleh beliau. Judulnya “Deep-Practice”-Menulis ala Daniel Coyle: Sebuah Pengantar.

Saya sungguh sangat berterima kasih kepada beliau. Semoga kata pengantar beliau menjadi amal jariah yang pahalanya terus mengalir. Inspirasi, ilmu, dan spirit yang beliau usung sungguh luar biasa.

Satu aspek yang ingin saya ungkap di catatan ini dari pemikiran beliau adalah menulis itu merupakan sarana untuk meraih kebahagiaan. Tentu ini menarik karena bagi banyak orang menulis itu aktivitas yang menyiksa. Menulis identik dengan tertekan. Hernowo memiliki pendapat yang sebaliknya. Justru karena pandangan yang unik inilah maka pemikiran Hernowo penting untuk dieksplorasi.

Lewat buku karya beliau yang terakhir, Free Writing, Mengejar Kebahagiaan dengan Menulis (Yogyakarta: B first, 2017), Hernowo bertutur panjang lebar tentang persoalan ini. Muara dari menulis untuk meraih kebahagiaan adalah metode Free Writing. Metode ini memungkinkan bagi lahirnya bahagia karena menulis dilakukan secara menyenangkan. Menulis merupakan aktivitas “membuang” pikiran.

Pendekatan yang ditempuh Hernowo memang tidak lazim. Ia meminggirkan pendekatan kebahasaan. Aspek yang lebih penting adalah tidak adanya persoalan dalam menulis. Semuanya bisa dilakukan secara sangat bebas. Implikasinya, ketika seseorang menulis dapat benar-benar mengeluarkan seluruh totalitas dirinya saat menulis.

Mengutip Natalie Goldberg dan Peter Elbow, Hernowo mengajak kita semua untuk menulis secara membahagiakan. Bagaimana caranya? Pada halaman 2 bukunya ia menulis, “Gerakkan terus tanganmu. Jangan berpikir. Jangan membaca lagi yang sudah ditulis. Jangan memperbaiki. Terus saja menulis hingga alarm berbunyi. Rasakan (nikmati) prosesnya dan abaikan hasilnya”.

Coba simak pendapat Hernowo di atas. Saya kira Hernowo masuk ke sesuatu yang substansial. Sesuatu yang selama ini jarang diperhatikan oleh orang yang mengajar menulis, yaitu psikologi. Menulis itu harus menimbulkan rasa bahagia. Pokoknya menulis. Menulis yang terbebas dari rasa takut—apa pun bentuk ketakutannya—itulah yang membahagikan.

Kalau begitu tidak perlu diedit? Tunggu dulu. Ikuti tulisan saya berikutnya. Tulisan ini hanya menegaskan bahwa menulis itu merupakan sarana untuk meraih kebahagiaan. Caranya ya dengan menulis secara bebas, bukan menulis yang menyiksa. Salam.

 

Trenggalek, 26-11-2020

 

 

23 komentar:

  1. Jumat berkah bertemakan literasi,
    Terimakasih banyak untuk tulisannya
    Sehat selalu

    BalasHapus
  2. Terimakasih telah berbagi tips yang bijak ttg menulis.

    BalasHapus
  3. Menulis adalah sarana kebahagiaan. Sepakat pak. Terima kasih atas motivasinya, pakm

    BalasHapus
  4. Saya sepakat dengan pendapat njenengan Prof. Memang kendala yang paling mendasar bagi penulis pemula adalah tingakat kepercayaan diri dalam menuangkan pikiran. Terimaksih dengan motivasinya Prof

    BalasHapus
  5. Menulis untuk menyenangkan. Kalau menulis tidak bisa membuat senang, ya terus menulis sampai senang....

    BalasHapus
  6. Mantaap pak. Butuh waktu memang untuk mendapatkan bahagia dengan menulis. Berbahagialah yang sudah menemukannya.

    BalasHapus
  7. Luar biasa mantab pak Naim, semoga bisa menginspirasi diriku untuk bisa menulis

    BalasHapus
  8. Terima kasih Mas Doktor, pernah dengar namanya belum pernah bertemu bukunya

    BalasHapus
  9. Terima kasih atas spirit ilmu menulisnya pak...

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.