Potret Kekayaan Budaya dalam Tulisan

Februari 14, 2021

 

 Ngainun Naim


 


Indonesia merupakan negara unik. Salah satu bentuk keunikannya terletak pada kekayaan khazanah kehidupan. Agama, budaya, etnis, suku, bahasa, dan banyak aspek lainnya membuat Indonesia sebagai negara dengan tingkat pluralitas tertinggi di dunia. Kekayaan ini bisa menjadi potensi sepanjang dikelola secara baik. Jika gagal mengelola maka kekayaan ini bisa menjadi sumber terjadinya pertentangan—bahkan konflik—di masyarakat.

Dalam kehidupan yang memiliki keragaman tinggi, toleransi merupakan sikap yang sangat penting. Ada cukup banyak kasus yang dapat menjadi bahan renungan bersama mengenai rendahnya nilai toleransi dalam masyarakat kita. Kasus kekerasan, konflik, pertikaian, dan sejenisnya adalah contoh betapa toleransi belum menjadi kesadaran bersama.

Toleransi berarti sikap membiarkan ketidaksepakatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran dalam implementasinya tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik yang berbeda. Wacana toleransi biasanya ditemukan dalam etika perbedaan pendapat dan dalam perbandingan agama. Salah satu etika berbeda pendapat menyebutkan bahwa tidak memaksakan kehendak dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang merugikan pihak lain. Dalam perbandingan agama, misalnya ditemukan prinsip-prinsip “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, dan “tidak ada paksaan dalam beragama”.[1]

Toleransi lahir dari sikap menghargai diri (self-esteem) yang tinggi. Kuncinya adalah bagaimana semua pihak memersepsi dirinya dan orang lain. Jika persepsinya lebih mengedepankan dimensi negatif dan kurang apresiatif terhadap orang lain, kemungkinan besar sikap toleransinya akan lemah, atau bahkan tidak ada. Sementara, jika persepsi diri dan orang lainnya positif, maka yang muncul adalah sikap yang toleran dalam menghadapi keragaman. Toleransi akan muncul pada orang yang telah memahami kemajemukan secara optimis-positif. Sementara pada tataran teori, konsep toleransi mengandaikan fondasi nilai bersama sehingga idealitas bahwa agama-agama dapat hidup berdampingan secara koeksistensi harus diwujudkan.[2]

Memang bukan hal mudah membangun semangat toleransi dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kata toleransi memang mudah diucapkan, namun memiliki kesulitan dan kerumitan tersendiri ketika diimplementasikan, sebab realitas yang sarat keragaman, perbedaan, dan penuh pertentangan dalam kehidupan menjadikan usaha untuk mengimplementasikan toleransi menjadi agenda yang tidak ringan. Namun demikian, menarik menyimak pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa melaksanakan toleransi merupakan manifestasi dari ajaran agama yang benar. Menurut analisis Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid—salah satu ajaran agama Islam yang sangat mendasar adalah tanggung jawab pribadi manusia kelak di hadapan Tuhan. Segi konsekuensi dari ajaran ini adalah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya dan tindakannya sendiri. Tidak boleh ada paksaan terhadap orang lain. Bahkan, agama pun tidak boleh dipaksakan kepadanya. Hak yang amat asasi ini kemudian bercabang menjadi berbagai hak yang tidak boleh diingkari, di antaranya hak menyatakan pendapat dan pikiran. Dan, adanya hak setiap orang untuk didengar menghasilkan adanya kewajiban orang lain untuk mendengar.[3]

Mencermati pokok pikiran Cak Nur mengenai toleransi tersebut dapat disimpulkan bahwa toleransi memang sesuatu yang sangat mendasar dalam ajaran agama Islam. Toleransi yang menjadi bagian dari kesadaran warga masyarakat akan berimplikasi pada sikap saling mengormati, menghargai, dan memahami satu sama lain. Implikasi lebih jauhnya, kehidupan yang damai dan penuh kebersamaan dapat diwujudkan. Bagi Cak Nur, signifikansi mengembangkan toleransi dalam konteks kehidupan sekarang ini bukan hal yang sama sekali baru. Bahkan, sejarah Islam sesungguhnya memiliki khazanah dan kekayaan pengalaman akan toleransi. Dan, hal ini bukan sekadar sebagai sebuah apologi semata, tetapi juga diakui oleh banyak kalangan ilmuwan nonmuslim.

Salah seorang yang disebut oleh Cak Nur memiliki apresiasi positif terhadap pengalaman toleransi Islam adalah Betrand Russel. Russel—seorang yang dikenal karena kritiknya yang sangat tajam terhadap agama-agama—mengakui akan toleransi Islam dan menyatakan bahwa toleransi inilah yang pada hakikatnya menjadi sumber kekuatan orang-orang Muslim klasik dalam mengendalikan orang-orang nonmuslim yang merupakan mayoritas penduduk di negeri-negeri Islam. [4]

Pengakuan Russel merupakan penegasan akan pengalaman dan pentingnya toleransi untuk tidak hanya diingat sebagai kenangan historis, tetapi juga harus ditumbuhkembangkan secara luas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Manfaat nyata penerapan toleransi adalah tumbuhnya sebuah masyarakat mandiri yang kokoh. Sebab, toleransi merupakan salah satu asas Masyarakat Madani (civil society).

Toleransi tidak tumbuh dengan sendirinya. Dibutuhkan usaha secara serius dan sistematis agar toleransi bisa menjadi kesadaran. Upaya mahasiswa IAIN Tulungagung yang sedang Kuliah Kerja Nyata Virtual Dari Rumah (KKN-VDR) yang terumuskan dalam buku Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata ini penting untuk diapresiasi. Saya membaca bagian demi bagian dari buku ini dengan cermat. Saya menemukan betapa kayanya khazanah kehidupan. Tulisan ini merepresentasikan kekayaan budaya Indonesia dalam tulisan. Selamat kepada para penulis buku ini. Sukses selalu.

 

Trenggalek, 14-2-2021



[1]Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 147.

[2]Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama: Konflik dan Nirkekerasan (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 17.

[3]Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 107.

[4]Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.