Hari Ini Setahun yang Lalu

Mei 11, 2021

 


Foto kenangan bersama Almarhum Bapak
 

 Oleh Ngainun Naim


Pagi ini tanpa sengaja air mataku meleleh. Tidak hanya sekali tetapi beberapa kali. Ada rasa yang membuat dada sesak. Ini persoalan rasa yang tidak bisa diwakili kata-kata. Biarlah orang menyebut saya cengeng. Tidak apa-apa.


Setahun lalu Bapak saya, Kalib Surjadi, berpulang. Ya, 17 Ramadhan tahun lalu pukul 11.30 Bapak menghembuskan nafas terakhir. Masih teringat betul bagaimana Bapak berpulang setelah sakit beberapa waktu. Suasana saat itu masih penuh ketegangan. Corona betul-betul menanamkan ketakutan mendalam.


Semuanya telah terjadi. Kepergian Bapak menorehkan banyak jejak hidup yang tidak akan saya lupakan. Bapak adalah sosok yang menempa saya sejak kecil sampai sekarang ini. Pada saat tertentu, seperti saat setahun kepergian Bapak sekarang ini, rasa di hati sungguh pilu.


Selama bulan puasa tahun 2020 saya nyaris sebulan tidak pulang sama ke rumah. Saya secara bergantian menunggu Bapak dengan adik-adik di Rumah Sakit dan di rumah orang tuaAtas kesepakatan dengan Istri, saya fokus menunggu dan merawat Bapak.


Ikhtiar lahir batin demi kesembuhan Bapak telah kami lakukan namun takdir Allah tidak bisa ditolak. Kami berusaha ikhlas melepaskan kepergian Bapak. Semoga beliau husnul khatimah.


Bagi saya Bapak adalah figur yang visioner. Saya sebut demikian karena Bapak memiliki mimpi yang luar biasa terhadap pendidikan. Rasanya hanya Bapak dari teman seangkatan beliau yang memiliki pemikiran tentang pentingnya pendidikan. Padahal ekonomi keluarga jauh dari kata memadai. Namun demikian pendidikan tetap menjadi prioritas Bapak.


Makna penting pendidikan sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan. Sebagian besar masyarakat kita sudah mengetahuinya namun pengetahuan itu belum menjadi kesadaran dan tindakan. Tidak terlalu sulit untuk mencari buktinya.


Di desa orang yang kaya cukup banyak namun anak-anak mereka jarang yang kuliah. Masyarakat umumnya melihat kuliah sebagai kegiatan yang menghabiskan uang saja. Pandangan tersebut sebagian berdasaran pengamatan tentang para sarjana yang menganggur atau kalaupun bekerja tidak memiliki penghasilan yang lumayan. Realitas ini yang kemudian membuat anak-anak keluarga kaya tidak melanjutkan kuliah tetapi justru memilih bekerja.


Saat saya remaja, sangat jarang teman seangkatan saya yang melanjutkan kuliah, apalagi generasi di atas saya. Bisa dikatakan tidak ada. Jika pun ada itu bisa dihitung dengan jari. Pilihan setelah lulus sekolah adalah bekerja atau pergi ke luar negeri.


Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada tahun 1990-an menjadi salah satu pilihan yang cukup menjanjikan. Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei menjadi tujuan utama. Negara lain yang belakangan juga dibidik adalah Saudi Arabia, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Beberapa ada yang sampai ke Amerika Serikat.


Capaian ekonomi mereka yang bekerja ke luar negeri sungguh luar biasa. Salah satu indikator suksesnya adalah rumah yang megah dengan segenap fasilitas di dalamnya. Bisa menjadi generalisasi jika ada rumah mewah di desa-desa sekitar kami maka itu adalah rumah TKI. Kecil kemungkinan profesi lain bisa memiliki rumah yang sedemikian mewah.


Kesuksesan tersebut begitu menggiurkan. Fakta kesuksesan dan fakta sarjana yang menganggur mendedahkan kesimpulan tentang kuliah sebagai pilihan yang kurang menjanjikan. Bahkan beberapa sarjana yang juga menjadi TKI semakin menguatkan pendapat tentang kurang bermaknanya kuliah bagi sebagian besar masyarakat.


Entah bagaimana ceritanya Bapak memiliki pendapat yang berbeda dengan arus umum masyarakat ketika itu. Saya berpendapat itu kemungkinan karena Bapak adalah seorang guru. Namun pendapat ini tidak terlalu kuat juga karena beberapa kawan Bapak ternyata anaknya juga menjadi TKI. Secara ekonomi keluarga mereka jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga kami.

Bagi saya Bapak adalah figur yang visioner. Saya sebut demikian karena Bapak memiliki mimpi yang luar biasa terhadap pendidikan. Rasanya hanya Bapak dari teman seangkatan beliau yang memiliki pemikiran tentang pentingnya pendidikan.
 

Kemungkinan lainnya adalah hasil interaksi dan pengalaman hidup Bapak. Akumulasi dari banyak faktor itulah yang membuat Bapak memiliki tekad menyekolahkan anak-anaknya sebatas kemampuan beliau. Kami enam orang bersaudara semua mengenyam pendidikan tinggi dengan jenjang berbeda. Ada yang diploma, sarjana, dan saya yang harus sangat bersyukur sampai jenjang doktor. Sungguh saya tidak membayangkan kehidupan saya sekarang ini tanpa mimpi besar Bapak.


Kini Bapak telah berpulang. Aktivitas rutin yang kini saya lakukan adalah mendoakan beliau. Sedapat mungkin saya mengunjungi makam beliau, setidaknya seminggu sekali. Belakangan intensitas kunjungan saya meningkat tajam di bulan Ramadhan ini. Entahlah, rasanya ada kerinduan mendalam untuk membaca Yasin dan Tahlil di pusara beliau.


Saya berjanji untuk mengunjungi makam Bapak dan berdoa setiap ada kesempatan. Semoga hal sederhana yang saya lakukan ini sebagai aktualisasi dari amal yang tidak putus untuk Almarhum Bapak.


Sesungguhnya ada beberapa hal yang Bapak pesankan sekaligus harapkan kepada saya namun sampai saat ini belum terwujud. Saya tengah memperjuangkannya. Semoga apa yang beliau harapkan bisa segera terwujud. Amin.

 

 

8 komentar:

  1. Doa anak yg Sholeh akan membuat almarhum diampuni semua dosanya.

    BalasHapus
  2. Lahul Fatihah. Semoga duluaskan kuburnya diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya Aamiin YRA

    BalasHapus
  3. 🤲 alfatihah untuk almarhum bpk surjadi kpl sekolah saya di Mi nuris

    BalasHapus
  4. Ikut berdoa, Semoga apa yang beliau harapkan bisa segera terwujud. Amin.

    BalasHapus
  5. Beruntung mempunyai seorang ayah dengan mimpi besarnya untuk sukses pendidikan anak-anaknya. Semoga mendapatkan husnul khatimah . aamiin

    BalasHapus
  6. semoga Bapak sejahtera di alamnya berkat doa anak-anaknya yang sholih

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.