Hari Ini Setahun yang Lalu
Oleh Ngainun Naim
Pagi
ini tanpa sengaja air mataku meleleh. Tidak hanya sekali tetapi beberapa kali.
Ada rasa yang membuat dada sesak. Ini persoalan rasa yang tidak bisa diwakili
kata-kata. Biarlah orang menyebut saya cengeng. Tidak apa-apa.
Setahun
lalu Bapak saya, Kalib Surjadi, berpulang. Ya, 17 Ramadhan tahun lalu pukul 11.30 Bapak
menghembuskan nafas terakhir. Masih teringat betul bagaimana Bapak berpulang
setelah sakit beberapa waktu. Suasana saat itu masih penuh ketegangan. Corona
betul-betul menanamkan ketakutan mendalam.
Semuanya
telah terjadi. Kepergian Bapak menorehkan banyak jejak hidup yang tidak akan
saya lupakan. Bapak adalah sosok yang menempa saya sejak kecil sampai sekarang ini. Pada saat
tertentu, seperti saat setahun kepergian Bapak sekarang ini, rasa di hati sungguh pilu.
Selama
bulan puasa tahun 2020 saya nyaris sebulan tidak pulang sama ke rumah. Saya secara bergantian
menunggu Bapak dengan adik-adik di Rumah Sakit dan di rumah orang tua. Atas kesepakatan dengan
Istri, saya fokus menunggu dan merawat Bapak.
Ikhtiar
lahir batin demi kesembuhan
Bapak telah kami lakukan
namun takdir Allah tidak bisa ditolak. Kami berusaha ikhlas melepaskan
kepergian Bapak. Semoga beliau husnul khatimah.
Bagi saya Bapak adalah figur yang visioner.
Saya sebut demikian karena Bapak memiliki mimpi yang luar biasa terhadap pendidikan. Rasanya hanya Bapak
dari teman seangkatan beliau yang memiliki pemikiran tentang pentingnya
pendidikan. Padahal ekonomi keluarga jauh dari kata memadai. Namun demikian
pendidikan tetap menjadi prioritas Bapak.
Makna
penting pendidikan sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan. Sebagian besar
masyarakat kita sudah mengetahuinya namun pengetahuan itu belum menjadi
kesadaran dan tindakan. Tidak terlalu sulit untuk mencari buktinya.
Di
desa orang yang kaya cukup banyak namun anak-anak mereka jarang yang kuliah. Masyarakat umumnya
melihat kuliah sebagai kegiatan yang menghabiskan uang saja. Pandangan
tersebut sebagian berdasaran pengamatan
tentang para sarjana yang menganggur atau kalaupun bekerja
tidak memiliki penghasilan yang lumayan. Realitas ini yang kemudian membuat anak-anak
keluarga kaya tidak melanjutkan kuliah tetapi justru memilih bekerja.
Saat
saya remaja, sangat jarang teman seangkatan saya yang melanjutkan kuliah,
apalagi generasi di atas saya. Bisa dikatakan tidak ada. Jika pun ada itu
bisa dihitung dengan jari. Pilihan setelah lulus sekolah adalah bekerja atau
pergi ke luar negeri.
Menjadi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada tahun 1990-an menjadi salah satu pilihan yang
cukup menjanjikan. Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei menjadi
tujuan utama. Negara lain yang belakangan juga dibidik adalah Saudi Arabia,
Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Beberapa ada yang sampai ke Amerika
Serikat.
Capaian
ekonomi mereka yang bekerja ke luar negeri sungguh luar biasa. Salah satu indikator suksesnya adalah rumah
yang megah dengan segenap fasilitas di dalamnya. Bisa menjadi generalisasi jika
ada rumah mewah di desa-desa sekitar kami maka itu adalah rumah TKI. Kecil
kemungkinan profesi lain bisa memiliki rumah yang sedemikian mewah.
Kesuksesan
tersebut begitu menggiurkan. Fakta kesuksesan dan fakta sarjana yang menganggur
mendedahkan kesimpulan tentang kuliah sebagai pilihan yang kurang menjanjikan.
Bahkan beberapa sarjana yang juga menjadi TKI
semakin menguatkan pendapat tentang kurang bermaknanya kuliah bagi sebagian besar masyarakat.
Entah
bagaimana ceritanya Bapak memiliki pendapat yang berbeda dengan arus umum
masyarakat ketika itu. Saya berpendapat itu kemungkinan karena Bapak adalah
seorang guru. Namun pendapat ini tidak terlalu kuat juga karena beberapa kawan
Bapak ternyata anaknya juga menjadi TKI. Secara ekonomi keluarga mereka jauh
lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga kami.
Bagi saya Bapak adalah figur yang visioner. Saya sebut demikian karena Bapak memiliki mimpi yang luar biasa terhadap pendidikan. Rasanya hanya Bapak dari teman seangkatan beliau yang memiliki pemikiran tentang pentingnya pendidikan.
Kemungkinan
lainnya adalah hasil interaksi dan pengalaman hidup Bapak. Akumulasi dari
banyak faktor itulah yang membuat Bapak
memiliki tekad menyekolahkan anak-anaknya sebatas kemampuan beliau. Kami enam
orang bersaudara semua mengenyam pendidikan tinggi dengan jenjang berbeda. Ada yang
diploma, sarjana, dan saya yang harus sangat bersyukur sampai jenjang doktor. Sungguh saya tidak
membayangkan kehidupan saya sekarang ini tanpa mimpi besar Bapak.
Kini
Bapak telah berpulang. Aktivitas rutin yang kini saya lakukan adalah mendoakan
beliau. Sedapat mungkin saya mengunjungi makam beliau, setidaknya seminggu
sekali. Belakangan intensitas kunjungan saya meningkat tajam di bulan Ramadhan
ini. Entahlah, rasanya ada kerinduan mendalam untuk membaca Yasin dan Tahlil di
pusara beliau.
Saya
berjanji untuk mengunjungi makam Bapak dan berdoa setiap ada kesempatan. Semoga
hal sederhana yang saya lakukan ini sebagai aktualisasi dari amal yang tidak
putus untuk Almarhum Bapak.
Sesungguhnya
ada beberapa hal yang Bapak pesankan sekaligus harapkan kepada saya namun sampai saat ini belum
terwujud. Saya tengah memperjuangkannya. Semoga apa yang beliau harapkan bisa
segera terwujud. Amin.
Doa anak yg Sholeh akan membuat almarhum diampuni semua dosanya.
BalasHapusLahul Fatihah
BalasHapusLahul Fatihah. Semoga duluaskan kuburnya diampuni dosanya dan diterima amal ibadahnya Aamiin YRA
BalasHapusLahul Fatihah
BalasHapus🤲 alfatihah untuk almarhum bpk surjadi kpl sekolah saya di Mi nuris
BalasHapusIkut berdoa, Semoga apa yang beliau harapkan bisa segera terwujud. Amin.
BalasHapusBeruntung mempunyai seorang ayah dengan mimpi besarnya untuk sukses pendidikan anak-anaknya. Semoga mendapatkan husnul khatimah . aamiin
BalasHapussemoga Bapak sejahtera di alamnya berkat doa anak-anaknya yang sholih
BalasHapus