Melampaui Harapan

Agustus 28, 2021

 
Ngainun Naim

 

Wajah Bapak dan Ibuk terlihat keruh. Sesungguhnya saya tidak tega. Siapa juga yang tega melihat kedua orang tuanya harus menanggung beban berat semacam ini. Saya sesungguhnya sudah pasrah.

“Kalau memang terpaksa, saya tidak melanjutkan kuliah juga tidak apa-apa Pak”.

Entah energi dari mana saya berani berkata seperti itu. Saya diam, kuatir, takut.

Tetiba wajah Bapak memerah. Beliau rupanya murka. Terlihat sekali beliau sangat marah. Saya pun menciut. Entahlah, saya merasakan takut yang luar biasa. Baru kali ini saya menyaksikan ekspresi marah yang sangat menakutkan dari Bapak.

“Tugas kamu itu sekolah. Bapak yang akan mencarikan biaya”, kata beliau dengan tegas.

Saya diam seribu bahasa. Menatap wajah pun tidak berani. Sungguh saya sangat takut.

Saat itu, Januari tahun 1996. Saya hanya memiliki waktu tersisa tiga hari untuk membayar SPP di kampus. Sesungguhnya kuliah yang saya jalani sangat berat. Konsentrasi saya bukan pada bagaimana belajar dan berprestasi, tetapi pada bagaimana menyambung hidup dan tetap tercatat sebagai mahasiswa. Hanya itu.

Prestasi? Oh, jauh dari kamus waktu itu. Bagaimana mungkin berpikir tentang prestasi jika sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja beratnya minta ampun?

Ya, tahun 1994 saya tercatat sebagai mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di Surabaya. Rupanya hasrat menjadi mahasiswa tidak seimbang dengan kemampuan finansial orang tua.

Demi memperpanjang hidup, saya pernah berjualan susu segar keliling. Pagi buta, sebelum jam 03.00, saya sudah terbangun. Dengan sepeda yang bukan milik saya sendiri, saya mengayuh menuju tempat pemerasan susu. Saya hanya mengambil maksimal sepuluh kantong pastik. Setelah antri susu, saya shalat subuh. Selanjutnya dengan penuh harap berkeliling menawarkan susu dari rumah ke rumah. Jika susu habis, senangnya minta ampun. Jika terpaksa tidak habis ya sudah. Bawa ke kos. Minum bersama. Modal tidak kembali dan kehidupan semakin terpuruk.

Lama-lama saya tidak kuat menjalani hidup dari jualan. Saya pun banting setir dengan mengajar mengaji. Jaraknya lumayan jauh, sekitar 25 kilo meter dari kos. Sebuah jarak yang lumayan dan gaji yang jauh dari harapan. Demi rupiah saya pun melakoninya. Namun realitasnya saya tidak bisa bertahan lama sebagai guru ngaji karena saat saya tidak memiliki uang sama sekali, gaji juga belum diberikan. Saya memutuskan keluar dari sekolah tempat saya mengajar.

Keputusan keluar tersebut membuat hidup saya terasa semakin gelap. Keuangan semakin menipis. Mengandalkan kiriman dari orang tua rasanya berat sekali. Saya tahu bahwa Bapak dan Ibuk menyekolahkan saya modalnya semangat. Ya, hanya semangat. Entah dari mana semangat itu muncul dalam diri beliau berdua.

Setelah melewati beberapa kali perenuangan dan juga bertanya-tanya, saya memutuskan jualan koran. Ini sesungguhnya tidak saya sukai tetapi tidak ada pilihan lagi. Saat kondisi terpaksa, apa pun akan dilakukan demi hidup tetap berjalan. Juga demi tetap bisa mewujudkan mimpi menjadi seorang sarjana.

Perjalanan hidup yang berat dan terseok-seok acapkali membuat putus asa. Suatu saat muncul niat untuk keluar saja dari kampus, tetapi saat ingat Bapak dan Ibuk niat itu perlahan memudar. Saya masih menyimpan asa untuk menjadi seorang sarjana. Berat, sungguh berat.

Kehidupan jalanan ternyata sungguh keras. Saya tidak mampu melukiskannya. Bagi orang dengan mental lemah seperti saya, jalanan jelas bukan dunia yang tepat. Perlahan saya pun menepi dan mencoba mencari alternatif untuk bisa mempertahankan hidup dan menyambung kuliah.

Takdir hidup akhirnya membuat saya betul-betul mundur dari kehidupan Surabaya yang keras. Saya mengadu kepada Bapak dan bercerita semuanya. Bapak, sebagaimana biasa, hanya diam membisu. Saya memang tidak mampu melanjutkan hidup lagi di Surabaya tetapi saya juga ingin tetap sebagai mahasiswa.

Perbincangan dengan Bapak menghasilkan keputusan yang sangat menentukan. Saya mutasi dari Surabaya ke kampus kecil di kota kelahiran, Tulungagung. Tidak ada pilihan lagi. Saya harus tetap kuliah. Biaya hidup tentu lebih murah jika saya tinggal di rumah.

Begitulah kisah hidup saya. Penuh perjuangan. Rasanya berat sekali. Ternyata kuliah di rumah tidak juga membuat segala sesuatunya membaik. Kehidupan kami betul-betul berada di titik nadir. Betul Bapak adalah seorang PNS, tetapi dengan enam orang anak, gaji beliau jelas jauh dari kata cukup.

Di ujung kuliah menjelang lulus, saya ditawari untuk menjadi TKI di Brunei Darussalam. Seorang famili yang sudah sukses bekerja di sana yang menawari. Beliau menawarkan hal ini kepada Bapak dan Ibuk.

Ketika saya pulang dan mendengar kisah tawaran itu, saya terdiam. Tidak ada pilihan lagi. Bagaimana pun kondisi keluarga kami membutuhkan suntikan pemasukan yang cukup. Satu-satunya harapan adalah saya sebagai anak sulung. Jika saya bekerja di Brunei Darussalam diharapkan bisa menambah energi hidup keluarga. Selain itu juga memungkinkan bagi saya untuk menabung bagi kehidupan di masa mendatang.

Takdir rupanya tidak mendukung terhadap rencana ini. Bapak dan Ibuk gagal mencarikan biaya keberangkatan ke Brunei Darussalam. Waktu itu betul-betul tidak ada pinjaman dana sebagai syarat keberangkatan.

Kegagalan ini tidak terlalu membuat saya kecewa karena setelah itu saya lulus kuliah. Ya, saya akhirnya menjadi seorang sarjana. Sungguh sebuah perjuangan yang tidak ringan. Jika bukan karena pertolongan Allah Swt, jelas saya tidak akan menjadi seorang sarjana. Mungkin saja saya menjadi seorang TKI sampai kini, sebagaimana famili yang mengajak saya.

Tahun 2019 saya lolos seleksi Short Course ke Brunei Darussalam. Sesungguhnya pilihan lokasi negara ada Jepang dan Thailand, tetapi sengaja saya memilih Brunei Darussalam. Selain negara tetangga yang belum pernah saya kunjungi, negara ini juga mengingatkan saya akan memori tahun 1998 saat hampir saja menuju negara tersebut.

Suatu malam tanggal 9 Desember 2019 saya dan beberapa kawan diundang ke rumah dinas Duta Besar Indonesia untuk Brunei Darussalam, Dr. Sujatmiko, M.A. Beliau dan istri dengan ramah menyambut kami. Kami pun berbincang dengan santai. Salah satu hal yang beliau tanyakan adalah mengapa kami memilih negara Brunei Darussalam. Giliran saya menjawab, saya berkisah panjang lebar pengalaman saya yang nyaris menjadi TKI. Kami pun tertawa bersama-sama. Indahnya perjalanan hidup ini.

Ya, pusaran nasib memang sungguh unik dan penuh rahasia. Saya kini menjadi seorang dosen di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dengan Pendidikan S-3. Tidak pernah terbayang dalam diri saya jika akhirnya saya bisa mencapai ini. Sebuah kondisi yang melampaui harapan. Tetapi begitulah hidup. Semuanya penuh rahasia dan harus dijalani.

 


36 komentar:

  1. Waaah... Sangat inspiratif pak naim��

    BalasHapus
  2. Tuhan memiliki berjuta cara dalam memberikan kejutan manis bagi setiap hamba yang disayangi-Nya nggih Prof.

    BalasHapus
  3. Kisah hidup yang sangat inspiratif pak Ngainun Naim. Memberi semangat bagi orang-orang (termasuk saya) yang sedang berjuang memperoleh kehidupan yang lebih baik. Matur nuwun.

    BalasHapus
  4. Beberapa kali saya merasakan hal yang sama seperti ini, hampir, dan sedikit mirip. Memutuskan untuk melanjutkan usaha pertanian (farm) ikan hias setelah selesai Magister tidak membuat saya lupa akan cita-cita menjadi seorang pengajar dan peneliti. Terpaksa oleh keadaan untuk melanjutkan usaha yang masih tergolong kecil ini, namun juga dipaksa untuk tetap berusaha demi keluarga dan cita-cita. Tiada disangka sekarang bisa mengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah Jawa bagian selatan dan tidak begitu jauh jarak tempuh dari rumah. Semua berkat kebaikan Tuhan yang memberikan savana hidup yang begitu berwarna bagi saya. Tuhan memberikan kesempatan untuk saya terus belajar dan belajar, menambah ilmu dan menambah ilmu kehidupan, Alhamdulillah..,

    Terima kasih atas tulisan menginspirasi ini, Bapak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah membaca dan memberikan komentar Mas

      Hapus
  5. Luar biasa...innama'al'usri Yusra...

    BalasHapus
  6. Terimakasih pak,kisah panjenegan sangat menginspirasi kulo...🙏

    BalasHapus
  7. Luar biasa inspiring...hasil tidak mengkhianati upaya yang dilakukan. Perjuangan beriringan dengan penentuan takdir. Salut buat Pak Na', sang pegiat literasi. Sukses selalu dan semoga segera meraih GB...sangat layak. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Bu Dr. Erna Iftanti. Semoga Ibu juga segera meraih GB.

      Hapus
  8. Wahh.. Mantap pak naim..sangat menginspirasi.. Hampir sama dengan pengalaman hidup saya yang dari kelas 2 MTs sudah mencari biaya sendiri demi sebuah pendidikan untuk masa depan

    BalasHapus
  9. MasyaAllah, kisah yang sangat inspiratif. Semoga semua yang membaca bisa terinspirasi dari semangat bapak dalam menjalani kehidupan ini. Barakallah bapak

    BalasHapus
  10. Masyaallah. Alhamdulillah. 🙏🙏 Matursuwun sangat menginspirasi. Semoga saya ngeh saget semangat untuk terus belajar. Allahumma nular ke saya suksesnya jenengan bapak 🙏🙏 aamiin

    BalasHapus
  11. "Di sana" Beliau pasti bangga dengan putranya saat ini. Karena semua harapan yang dulu sudah ditunaikan dengan sempurna

    BalasHapus
  12. Bapak Naim memang seorang teladan. Terima kasih sangat catatannya, Bapak. Setelah membaca catatan Bapak, saya jadi malu. Semoga kami selalu bisa menjadi hamba yang bersyukur dan menerima, terlepas dari usaha yang diupayakan. Barakallah untuk Bapak Naim.

    BalasHapus
  13. Luar biasa prof... banyak keteladanan, energi positif, dan semangat yang mengalir dari tulisan ini untuk saya pribadi. Terima kasih Prof Naim....

    BalasHapus
  14. Masyaallah Prof, menginspirasi sangeeeet

    Sukses selalu untuk panjenengan

    BalasHapus
  15. Spirit Literasi itu terus mengalir sampai jauh..Alhamdulillah. banyak sosok teladan yang mewarnai kehidupan kita.

    BalasHapus
  16. Orang-orang hebat memang terlahir dari tempaan-tempaan hidup. 👍👍👍👍👍

    BalasHapus
  17. Perjuangan yang luar biasa.antara anak dan orang tua. Sangat menginspirasi

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.