Menulis, Persoalan, dan Menundukkan Hambatan

April 27, 2022


 

Ngainun Naim

 

Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan kecuali kemalasan. Tidak ada obat yang tidak berguna kecuali kurangnya pengetahuan—Ibn Sina

 

Dosen itu tugas pokoknya ya menulis. Tri darma yang mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian semuanya berkaitan dengan aktivitas menulis. Mengajar mengharuskan seorang dosen untuk menulis, menugaskan mahasiswa untuk menulis, dan menuliskan apa yang diajarkan dalam buku ajar. Penelitian bukan hanya menggali data karena muara penelitian adalah menulis laporan akhir dan melakukan diseminasi ke dalam bentuk buku atau artikel jurnal. Pengabdian masyarakat bukan sekadar kita melaksanakan aktivitas pengabdian semata melainkan juga perlu laporan yang berisi narasi dan dokumentasi. Semuanya, dengan demikian, berkaitan dengan aktivitas menulis.

Sesungguhnya kawan-kawan dosen sudah memiliki kondisi yang memungkinkan untuk melaksanakan aktivitas menulis. Saya ingin menunjukkan beberapa hal yang membuat dosen harus menulis. Pertama, setiap semester seorang dosen harus membuat laporan Beban Kerja Dosen atau BKD. Saya tidak tahu secara pasti mengapa namanya BKD. Intinya dalam BKD ada aspek yang harus dipenuhi dalam bentuk tulisan. Jika tidak terpenuhi maka tunjangan sertifikasi dosen bisa tidak masuk ke rekening he he.

Kedua, setiap tahun seorang dosen harus membuat laporan penelitian, baik lewat dana kampus, dana luar kampus, atau dengan dana sendiri. Adanya laporan penelitian di setiap jurusan menjadi kunci bagi akreditasi. Tanpa laporan penelitian, akreditasi jurusan bisa mendapatkan nilai yang jauh dari harapan. Ini berarti tetap berkaitan dengan aktivitas menulis.

Ketiga, dosen jika ingin naik pangkat harus memiliki karya tulis. Bentuknya variatif. Ada dalam bentuk artikel jurnal, buku, book chapter, dan beberapa bentuk karya tulis lainnya. Jika tidak memiliki karya tulis maka tidak akan mungkin bisa naik pangkat.

Tentu Bapak Ibu dosen bisa menambah lagi daftar argumentasi pentingnya menulis dalam konteks karir sebagai seorang dosen.  Tiga argumentasi yang saya sajikan di atas masih membuka pintu yang lebar untuk ditambahi. Tambahan argumentasi semakin menegaskan signifikansi menulis bagi dosen.

Idealitas tidak selalu sesuai dengan realitas. Meskipun tri darma semuanya berkaitan dengan aktivitas menulis tetapi realitas menunjukkan bahwa belum semua dosen memiliki tradisi menulis. Justru sebagian dosen masih harus bergulat dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aktivitas menulis itu sendiri.

Fenomena ini saya temukan saat saya menjadi pembicara dalam kegiatan online dengan kawan-kawan STAIN Abdurrahman Kepulauan Riau pada hari Sabtu, 16 April 2022. Pada kegiatan tersebut saya menyampaikan materi secara umum tentang kepenulisan. Saya memaparkan selama sekitar satu jam materi dan kemudian diikuti dengan tanya jawab.

Dalam acara secara online selama hampir tiga jam tersebut, muncul enam pertanyaan dari para peserta. Tentu bagi saya ini merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan. Adanya pertanyaan menunjukkan bahwa apa yang saya sampaikan dapat menjadi pemicu lahirnya perbincangan terkait dunia kepenulisan.

Ada enam orang yang bertanya dalam dua kali sesi yang dibukan oleh moderator, Lutfiana Dwi Mayasari. Saya tidak akan menyebutkan nama yang bertanya, tetapi merangkum keenam pertanyaan dalam enam poin. Pertama, problem mengembangkan kalimat. Bagi yang sudah terbiasa menulis, kata demi kata akan mudah untuk dirangkai. Namun bagi yang jarang menulis, merangkai kata menjadi kalimat dan paragraph bukan persoalan mudah. Justru di sinilah masalahnya.

Saya tidak menawarkan resep cespleng instan untuk mengatasi persoalan ini. Kunci utamanya adalah praktik menulis. Dunia menulis itu bukan hanya dunia teori tetapi juga dunia praktik. Semakin sering menulis akan membuat persoalan demi persoalan, sebagaimana merangkai kata dan kalimat, akan dapat teratasi secara baik.

Kedua, tekanan tenggat. Banyak yang tidak bisa menulis sebelum deadline datang. Ini dialami oleh banyak orang. Saat tenggat datang, entah energi dari mana sehingga tanggungan tulisan bisa diselesaikan.

Fenomena ini terjadi karena adanya tekanan secara eksternal. Idealnya tenggat itu muncul dari dalam diri. Memang tidak mudah tetapi sesungguhnya bisa kita ciptakan. Awalnya mungkin memang harus dipaksa. Namun jika dilakukan secara konsisten, semuanya akan berjalan secara baik tanpa perlu paksaan lagi.

Ketiga, problem kebiasaan. Banyak yang berpikir bahwa menulis itu bisa dilakukan hanya saat tertentu saja. Misalnya menulis baru dilakukan saat menjelang kenaikan pangkat. Tentu ini bukan suatu hal yang salah. Ini hanya soal pilihan dan strategi semata.

Seorang penulis terkenal Indonesia, Naning Pranoto, pernah menyatakan bahwa bagi yang ingin menguasai menulis secara baik maka hal yang harus dilakukan adalah menjadikan menulis laiknya bernafas. Tentu ini harus dimaknai secara kontekstual, bukan tekstual. Maknanya adalah menulis itu sangat vital. Sebagaimana bernafas, menulis harus dijadikan bagian tidak terpisah dari kehidupan. Jadi ya harus menulis setiap hari. Bukan hanya saat aka nada kepentingan tertentu saja.

Jika menulis telah menjadi tradisi maka tulisan yang dihasilkan akan semakin bagus. Proses menulis itu merupakan proses pembiasaan, pengayaan, dan peningkatan substansi dan seni. Seorang penulis yang kualitasnya meningkat bisa dicermati dari tulisan yang dihasilkannya dari waktu ke waktu.

Keempat, penguasaan alat pendukung artikel jurnal. Setiap jenis tulisan, menurut saya, membutuhkan strategi tersendiri. Tulisan seperti ini tentu strategi menulisnya berbeda dengan artikel jurnal. Strategi berbeda lagi jika menulis buku. Perbedaan strategi ini dilakukan semata agar tulisan bisa selesai sesuai dengan harapan.

Bagi kawan-kawan yang menekuni artikel jurnal, pilihan terbaiknya adalah membaca artikel jurnal sebanyak-banyaknya. Semakin banyak membaca semakin menguasai terhadap jenis artikel jurnal ini. Tentu penguasaan secara teori belum cukup. Harus ditindaklanjuti dengan praktik menulis. Peribahasa menyebutkan, “Bisa karena terbiasa”.

Kelima, manajemen waktu. Sesungguhnya ini berkaitan dengan aspek di luar menulis, namun sangat menentukan terhadap aktivitas menulis itu sendiri. Banyak yang mengeluh tidak memiliki waktu untuk menulis. Aktivitas setiap hari rasanya selalu padat merayap. Akibatnya, sebuah tulisan menjadi kecil kemungkinan untuk bisa diselesaikan. Selalu saja ada alasan yang menghambat proses menulis.

Setiap orang memiliki kesibukan. Semakin hari biasanya juga semakin sibuk. Justru karena itulah seorang penulis jangan sampai menunggu waktu luang untuk menulis melainkan meluangkan waktu untuk menulis. Selama proses menulis dilakukan secara konsisten maka akan ada saja hasil yang diperoleh.

Keenam, menulis itu sulit. Ini pendapat yang cukup sering saya temui dalam perbincangan atau dalam diskusi. Persoalannya sebenarnya bukan pada sulit atau mudah tetapi bagaimana menghadapi kesulitan dalam menulis. Jika semangatnya tinggi maka kesulitan jenis apa pun akan mampu ditundukkan. Namun jika semangat rendah, kesulitan sedikit saja akan menyerah.

Menulis memang berkaitan dengan banyak aspek. Aspek yang sangat penting adalah ketahanan mental untuk menundukkan hambatan. Hanya mereka yang bersemangat tinggi dan tidak mudah putus asa saja yang akan terus eksis menghasilkan karya tanpa henti.

 

Trenggalek, 25 April 2022/24 Ramadan 1443

12 komentar:

  1. Terimakasih Ilmunya Prof.. Semoga berkah dunia Akhirat

    BalasHapus
  2. Terimakasih Prof. Sangat bermanfaat & menginspirasi.

    BalasHapus
  3. Alhamdulilah terima kasih Prof.

    BalasHapus
  4. Sepakat Prof. memang menulis itu dibutuhkan mental 'ngeyel'. Kalau tidak niscaya berintim dengan aksara hanyalah angan dan cita belaka. Hehe.

    BalasHapus
  5. .....dan tidak semua orang memiliki.keberanian mental untuk menulis ya.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.