Setiap Buku Selalu Memiliki Kelemahan

November 11, 2014

Oleh Ngainun Naim

Bukuku yang dibedah di Universitas Yudharta Pasuruan
 

Tidak ada sebuah buku sempurna. Setiap buku yang terbit selalu menyisakan celah kekurangan. Semakin banyak pembaca, semakin banyak kekurangan ditemukan. Kekurangan tersebut berkaitan dengan banyak aspek, mulai dari aspek teknis, isi, metodologi, atau aspek-aspek yang lainnya. Karena itu, mustahil menemukan sebuah buku yang tidak ada celah kekurangannya sama sekali.
Hal ini berlaku tidak hanya pada buku, tetapi juga pada jenis karya yang lain. Penelitian disertasi, misalnya, juga sama. Seorang calon doktor yang bersusah payah menulis disertasi harus berkali-kali melakukan perbaikan setelah dibaca oleh promotor. Perbaikan demi perbaikan masih harus terus dilakukan saat ujian demi ujian dilakukan. Semakin banyak ujian dilakukan, semakin banyak ditemukan kesalahan dan kekurangan. Bahkan jika tidak pernah ada batasannya, sampai kapan pun sebuah karya tidak akan pernah sempurna.
Saya teringat sebuah nasihat bijak dari Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Beliau pernah mengatakan bahwa saat sebuah buku terbit, saat itulah kekurangan—atau bahkan kesalahan—ditemukan. Karena itu, seyogyanya seorang penulis melakukan editing secukupnya sebelum diluncurkan menjadi sebuah buku. Tetapi editing itu ada batasnya. Jangan sampai editing tidak ada batas waktunya. Karena kalau menanti sebuah karya sempurna maka seumur hidup tidak akan pernah lahir sebuah buku pun dari seorang penulis.
Dalam kerangka inilah, saya sangat bahagia saat hari Sabtu, 25 Oktober 2014 kemarin saya diundang oleh MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyah) Cabang Pasuruan. Panitia mengundang saya untuk diskusi dan bedah buku saya yang berjudul Islam dan Pluralisme Agama: Dinamika Perebutan Makna. Buku terbitan Aura Pustaka Yogyakarta ini dibedah di AULA Universitas Yudharta Pasuruan. Hadir sebagai pembedah adalah Dr. Ubaidillah Nafi’, M.Ag; dosen IAIN Jember sekaligus dosen di Universitas Yudharta.
Bersama Dr. Ubaidillah Nafi', M.Ag.

Secara umum acara berlangsung lancar. Acara dimulai pada jam 09.00 pagi. Moderator acara adalah Dayat, S.Pd.I., M.M., dosen Universitas Yudhaarta. Setelah memberikan pengantar, moderator mempersilahkan saya dan Dr. Ubaidillah Nafi’ untuk menuju lokasi diskusi. Setelah dipersilahkan, saya pun memaparkan isi buku yang saya tulis, latar belakang penulisan, harapan, dan juga konteks buku tersebut.
Saya sampaikan bahwa saat akan menulis buku yang sedang dibedah tersebut, ada semacam keraguan—bahkan kekuatiran—dalam diri saya. Saya kuatir jangan-jangan buku yang saya tulis bukannya berkontribusi bagi pencerahan kehidupan sosial kemasyarakatan, tetapi justru menjadi bahan perdebatan baru yang tidak produktif. Kekuatiran saya bukannya tanpa bukti. Ada beberapa kejadian yang menunjukkan bahwa tidak sedikit masyarakat kita yang belum memiliki kedewasaan sikap dan intelektual. Ketidaksetujuan terhadap buku, misalnya, tidak di--counter dengan buku, tetapi dengan demonstrasi atau fatwa. Ini bukan merupakan bentuk respon kreatif dan konstruktif.
Namun demikian, setelah melalui berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk melanjutkan buku tersebut. Buku yang akhirnya terbit pada bulan Juni 2014 terdiri dari tiga bab. Bab pertama membahas tentang pengertian pluralisme agama. Di bab ini juga diulas mengenai perdebatan makna pluralisme. Pada bab inilah ide sub bab, ”Dinamika Perebutan Makna”.
Bab kedua berisi tentang tantangan pluralisme agama. Saya mengidentifikasi tantangannya—di antaranya—terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme.
Bab tiga membahas tentang strategi diseminasi pluralisme agama. Ada beberapa strategi yang saya tawarkan, di antaranya, dialog, memaksimalkan peran pemerintah, mengembangkan budaya toleransi, dan beberapa strategi lainnya.
Seusai saya memaparkan tentang isi buku, Dr. Ubaidillah Nafi’, M.Ag memberikan beberapa catatan yang sangat berharga. Pada bagian awal Dr. Ubaidillah menyatakan bahwa buku yang saya tulis cukup penting artinya. Kajian, pemikiran, dan tulisan tentang pluralisme agama penting untuk terus disuarakan agar pemahaman, pengetahuan dan kesadaran masyarakat semakin meningkat. Buku yang saya tulis dinilai Dr. Ubaidillah sebagai bagian dari upaya memberikan kontribusi bagi tumbuhnya pemahaman dan kesadaran pluralisme agama. ”Kita ini kaya gagasan tetapi sedikit yang berani menulisnya. Mas Naim saya kira telah melangkah lebih jauh dengan terus-menerus menulis, termasuk dalam buku ini”, kata Dr. Ubaidillah Nafi’.
Menurut Dr. Nafi’, buku yang saya tulis telah meramaikan perdebatan tentang pluralisme agama di Indonesia. Tetapi seyogyanya pluralisme agama tidak hanya berhenti di teori. Buku yang saya tulis dinilai Dr. Ubaidillah Nafi’ telah memberikan landasan teori yang dapat dijadikan titik pijak untuk melakukan aksi. Aksi ini penting agar pluralisme agama betul-betul membumi dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan sosial kemasyarakatan. 
Tanda tangan buku

Selain memberikan catatan positif, Dr, Ubaidillah juga menyampaikan beberapa kritiknya. Pertama, buku yang saya tulis seyogyanya memasukkan sejarah pluralisme agama. Sejarah pluralisme agama penting diulas karena menjadi starting point untuk mengetahui konteks sejarah dan dinamika perkembangannya sampai sekarang ini. Buku yang saya tulis sayangnya kurang memberikan uraian secara memadai terhadap sejarah pluralisme agama.
Kedua, uraian perdebatan makna pluralisme agama yang saya tulis belum terlalu mendalam. Padahal, uraian terhadap perdebatan ini menjadi penting untuk menemukan pemetaan dinamika pluralisme agama di Indonesia. Memang, di buku yang saya tulis, dinamika perebutan makna pluralisme agama hanya saya uraiakan secara sekilas. Masukan Dr. Ubaidillah agar saya memberikan uraian secara lebih mendetail terhadap perdebatan pluralisme agama sangat penting artinya untuk penyempurnaan buku ini dalam waktu-waktu selanjutnya.
Ketiga, tokoh yang saya ambil sebagai representasi tokoh pro-pluralisme agama dan kontra pluralisme agama kurang tepat. Jika bicara tokoh pluralisme agama di Indonesia maka mau tidak mau seyogyanya memasukkan nama K.H. Abdurrahman Wahid dan Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Kedua tokoh ini adalah nama penting yang memberikan landasan pemikiran dan gerakan pluralisme agama di Indonesia. Sayangnya, buku saya tidak memasukkan nama kedua tokoh ini.
Tanda tangan (lagi)

Ada lagi kritik lain yang diberikan, baik oleh Dr. Ubaidillah Nafi’ maupun dari para peserta diskusi. Bagi saya, ini merupakan sebuah kesempatan yang baik untuk memperbaiki tulisan yang sudah saya buat. 


Trenggalek, 11-11-2014
 

4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.