Spirit Menulis: Berdaya dengan Karya
Tulisan ini diambil dari blog: http://www.portalmuda.com
Oleh Mey Wirda
Judul
: The Power of Writing:
Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup
Penulis
: Ngainun Naim
Penerbit
: Lentera Kreasindo, Yogyakarta
Cetakan
: I Januari 2015
Tebal
: 230 hlm
ISBN
: 978-602-1090-14-5
“Bila ada buku yang ingin kau baca tapi
buku itu belum pernah ditulis maka engkaulah yang mesti menulisnya.”-Toni Morrison.
![]() |
Buku The Power of Writing |
Gambaran Toni Morrison di atas barangkali hampir serupa dengan apa yang
dialami oleh penulis buku ini. Setelah sukses meluncurkan buku berjudul The Power of Reading pada April
2013 yang lalu, dosen sekaligus penulis produktif—yang setiap pagi selalu
konsisten menulis catatan di dinding Facebook dengan jargon ‘ini catatanku,
mana catatanmu’—ini, tampaknya belum puas untuk menyajikan hal ihwal yang unik
dan out of box.
Sehingga antusiasnya yang terus menggebu akhirnya berbuah manis dan terciptalah
buku pasangan buat karyanya bertajuk seputar membaca itu. Ya, The
Power of Reading dan The
Power of Writing adalah pasangan serasi; sebuah entitas yang tak
terpisahkan.
Kalau diamati dari sisi substansi, jelas buku ini berbeda dengan buku-buku
karyanya yang kebanyakan bernuansa pemikiran. Dengan kata lain, dalam
besutannya kali ini, penulis tak ingin terjebak pada tataran konsep yang
melangit. Sehingga buku ini seolah mengusung misi untuk mendobrak stigma “buku
berat” yang cenderung ilmiah dan sukar dipahami. Dari pengakuan penulis dalam
kata pengantar, buku ini memang berangkat dari ketidaksengajaan. Lebih
jelasnya, dari kebiasaan menulis 3-8 paragraf di Facebook setiap pagi itu,
lambat laun terkumpul dan menjadi banyak tulisan. Nah, dari situlah akhirnya muncul inisiatif untuk
merangkumnya menjadi sepucuk buku.
Buku yang terdiri dari enam bab ini boleh dibilang bernuansa provokatif.
Dikatakan demikian karena hampir sebagian besar isinya adalah ajakan untuk
menulis. Spirit menulis terasa begitu kental dalam buku ini. Misalnya di halaman
awal, penulis mengakui bahwa semangat menulis itu fluktuatif. Dan semua orang
pasti mengalaminya, tak terkecuali penulis sendiri. Tetapi ada hal mendasar
yang membedakan antara penulis
besar dan penulis
pemula yaitu cara menyikapi kondisi ketika spirit menulis
sedang menurun. Penulis besar tidak akan larut dalam kondisi spirit yang
menurun tersebut. Ia akan selalu berusaha mencari jalan agar spirit menulis
kembali meningkat. Sementara penulis pemula, ia akan pasrah pada keadaan, pasif
dan menunggu datangnya momentum untuk menulis (hal.2).
Selain berdasar dari pengalaman empiris penulis, dosen yang sudah
menelurkan 23 judul buku ini tak lupa juga menyuguhkan rekam jejak para
inspirator menulis di bab terakhir. Ada 9 tokoh penulis ternama yang diulas
profil dan kegigihannya seperti, Muhammad Fauzil Adhim, Prof. Dr. Mulyadhi
Kartanegara, Anwar Holid, Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D, N. Mursidi, The Liang
Gie, Wawan Susetya, Zara Zettire ZR dan yang terakhir Krishna Mihardja.
Namun ada bagian yang (menurut saya) paling menarik dari buku ini yakni di
sub bab bertajuk Menulis Itu
Perjuangan: Belajar Menulis kepada N. Mursidi. Di bagian ini,
penulis mengisahkan pengalaman beratnya ketika masih awal-awal berjuang
menembus media massa dulu. Penulis mengaku memang tidak kenal akrab dengan N.
Mursidi lantaran hanya bertemu sekali saja. Ia hanya merasa begitu dekat
lantaran sering membaca karya N. Mursidi nongol
di berbagai media massa termasuk bukunya yang berjudul Tidur Berbantal Koran, Kisah Inspiratif
Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan. Disela-sela mengulas kisah
perjuangan N. Mursidi yang begitu memilukan sekaligus sarat dengan inspirasi
itu, penulis menceritakan secuil kisahnya di era 1997-an. Ia mempunyai teman
yang bernama Maman—seorang penulis yang kala itu masih duduk di bangku
Aliyah—yang baginya sangat menginspirasi dan menyulut semangat agar lebih giat
berkarya. Produktivitas Maman semakin menggila ketika ia sudah duduk di bangku
kuliah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tepatnya tiga tahun kemudian. Suatu
ketika Maman mengirim sepucuk surat kepada penulis. Surat yang tertanggal 28
November 2000 itu berbunyi begini:
Dulu ketika masih di Tulungagung, terus terang, aku
sangat bangga dapat berkenalan erat dengan kamu karena tulisanmu dimuat di
Surabaya Post—tahun 2000 ini aku juga membaca dua tulisan resensimu di Surabaya
Post melalui internet, analisanya tidak berkembang, pancet! Barangkali karena
ketika itu aku tak bisa menembus koran sore itu, sehingga hampir mendewakanmu (hal. 200).
Ada
satu penggalan surat yang lebih menohok lagi, di bagian penutup yang bunyinya
begini:
Kata
adik-adikmu, sekarang kau sudah jadi dosen (luar biasa) di STAIN TA. Syukurlah,
namun jangan merasa dan mengaku sudah menjadi intelektual. Kau berhak mengaku
intelektual jika nama dan tulisanmu pernah (minimal sekali) terpampang di
Harian Kompas. Catat itu! (hal. 201).
Dengan demikian, buku yang disajikan dengan gestur bahasa yang renyah dan
ringan ini hadir bukan sebagai guru panduan praktis atau buku sejenis ‘how to’
akan tetapi lebih sebagai teman motivasi lantaran menyuguhkan fakta pengalaman
yang menyeret pembaca hanyut dan setelah sadar bakal tersulut semangatnya untuk
sesegera mungkin menggerakkan pena. Itulah yang menjadi ciri khas buku ini dan
membedakan dengan buku lainnya. Kalaupun ada kekurangan, mungkin hanya terletak
pada sisi editing bahasa saja. Lantaran ada satu dua kata yang luput dari
sentuhan. Namun sebagaimana pepatah lama: “tak ada gading yang tak retak, ” hal
demikian wajar dan manusiawi adanya.
Mohon cp atau alamat penerbit Lentera Kreasindo?
BalasHapusTerimakasih
089672000218
Mohon cp atau alamat penerbit Lentera Kreasindo?
BalasHapusTerimakasih
089672000218
setelah membacanya the power of reading, mengilhamiku menulis artikel tentang literasi dan beberapa kalimatnya kujadikan kutipan tuk penguat dalam tulisan tersebut. Ternyata the secret powernya tersembunyi in the last chapter. It's a motivationfull book.
BalasHapus