Spirit Literasi Seorang Kiai
Oleh Ngainun
Naim
Tradisi literasi ternyata mulai bersemai di tempat-tempat
tertentu. Banyak fakta mengejutkan sekaligus menggembirakan berkaitan dengan
telah berkembangnya tradisi literasi ini. Fakta semacam ini penting untuk
disosialisasikan dan disebarluaskan agar semakin banyak komunitas dan individu
yang semakin terampil berliterasi. Jika ini terwujud maka akan semakin banyak
manfaat positif yang bisa diperoleh.
Saya menemukan fakta literasi ini di Pondok Pesantren
Ngalah Sengonagung Pasuruan. Hari Sabtu tanggal 25 Oktober 2014—jadi sudah
sekitar 7 bulan lalu—saya diundang oleh MATAN Pasuruan untuk acara bedah buku
karya saya yang berjudul Islam dan Pluralisme Agama, Dinamika Perebutan
Makna (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2014). Sebelum acara dimulai, saya
diajak ”sowan” ke Pengasuh Pesantren, yaitu K.H. Sholeh. Beliau menerima kami
dengan sangat ramah.
![]() |
Suasana bedah buku |
Saat beliau menemui kami, hal pertama yang beliau lakukan
adalah segera mengambil sebuah kitab berbahasa Arab dan meminta saya untuk
membacanya. Bagi saya ini merupakan suatu hal yang mengejutkan sekaligus
menggembirakan. Mengejutkan karena sangat jarang atau bahkan belum pernah saya
mengalami hal semacam ini. Biasanya saat ”sowan” kepada kiai, saya berdiskusi
dan mendapatkan banyak nasihat. Lebih mengejutkan lagi karena saya yakin bahwa
saya tidak mampu melakukan membaca kitab secara baik. Membacanya mungkin bisa,
tetapi salah harakat dan salah makna itu pasti. Beruntung, beliau tidak meminta
saya membaca layaknya santri sorogan. Maka, saya pun terselamatkan.
Menggembirakan karena apa yang beliau lakukan merupakan manifestasi tradisi berliterasi.
Dan ini merupakan fenomena yang menarik untuk ditindaklanjuti, bahkan
ditradisikan.
Dunia pesantren selama ini (di/ter)kesan(kan) agak kurang
akrab dengan dunia menulis. Dunia membaca jelas sangat akrab, tetapi dunia
menulis relatif belum tumbuh dan berkembang. Dari ribuan atau bahkan mungkin
ratusan ribu kiai pesantren, hanya sebagian kecil saja yang menulis buku atau
kitab. Demikian juga dengan ratusan ribu atau mungkin jutaan santri, yang mau
menekuni dunia menulis juga hanya sebagian kecil saja. Pada kondisi semacam
ini, apa yang dilakukan oleh Kiai Sholeh dan Pondok Pesantren Ngalah telah
memberikan warna lain yang mencerahkan.
Kedua, kiai
memberi spirit literasi kepada santri dan alumni santri. Spirit ini beliau
berikan melalui berbagai kesempatan yang ada, seperti pengajian, ceramah, saat
santri ’sowan’, dan berbagai kesempatan yang lainnya. Upaya yang dilakukan oleh
kiai tersebut menjadi penting artinya dalam konteks dunia pesantren. Kiai dalam
komunitas pesantren menempati posisi sentral. Apa yang diperintahkan oleh kiai
menjadi sebuah keharusan bagi santri untuk menjalankannya. Dampaknya terasa
nyata, yakni terbitnya buku-buku dari rahim lembaga-lembaga yang dikelola oleh
Kiai Sholeh, terutama dari Universitas Yudharta, Pasuruan.
Saya beruntung sekali karena mendapatkan buku-buku hasil
besutan para santri Pondok Ngalah secara gratis. Ada dua buku tebal yang
masing-masing jumlah halamannya lebih 500, yaitu Sabilur Rasyad. Saya
juga mendapatkan tiga judul buku lainnya. Buku-buku tersebut lahir atas
inspirasi dan anjuran—langsung atau tidak langsung—dari Kiai Sholeh.
Ketiga, ”Jangan
datang kalau belum menulis buku.” Kata-kata ini cukup sering disampaikan oleh
Kiai Sholeh sebagai bentuk tantangan kepada para santri dan alumni. Tantangan
itu betul-betul beliau tanyakan kembali kepada para alumni yang ”sowan,”
khususnya alumni yang telah menyelesaikan S-2. ”Pernah ada seorang alumni
lulusan S-2 untuk datang kembali dengan membawa buku hasil karyanya karena
alumni tersebut belum membawa buku karyanya,” kata seorang pengurus dalam
perbincangan santai dengan saya di Universitas Yudharta.
Bagi saya, kebijakan kiai tersebut sangat strategis dalam
kerangka membangun dan menumbuhsuburkan tradisi literasi di lingkungan Pondok
Pesantren Ngalah. Hasil dari kebijakan tersebut cukup nyata, yaitu munculnya
karya tulis dari lingkungan Pondok Ngalah. Ada banyak buku yang saya temukan
terbit dari lingkungan pesantren ini. Jika tradisi ini terus dijaga dan
ditumbukembangkan maka dalam beberapa tahun ke depan akan lahir komunitas
literasi yang menjanjikan.
Komunitas literasi sesungguhnya mulai tumbuh subur di
berbagai pesantren. Salah satu pesantren yang dapat dijadikan eksemplar adalah
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Pesantren ini sangat produktif menghasilkan
berbagai karya tulis dalam berbagai bidang kajian Islam. Selain itu, pesantren
ini juga menerbitkan sebuah majalah secara rutin. Di Pesantren Lirboyo,
literasi telah memperkaya wawasan dan memberikan karakteristik yang khas.
Selain Pondok Pesantren Lirboyo, di beberapa pondok
pesantren yang lain juga mulai tumbuh gairah literasi yang cukup menjanjikan.
Fenomena ini cukup menggembirakan karena dapat menjadi titik yang menentukan
bagi kemajuan dunia pesantren secara umum. Kemajuan sebuah komunitas secara
umum ditandai oleh—salah satunya—budaya literasi. Hal ini dapat dipahami karena
karya tulis dapat menjadi sarana transformasi menuju kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada komentar: