Melihat Keragaman dengan Cinta
Oleh Ngainun Naim
Bagi peminat kajian Islam
Indonesia, khususnya kajian hukum Islam, nama Nadirsyah Hosen menempati posisi
yang cukup penting. Karya tulisnya sering menghiasi berbagai media.
Saya menyukai gaya tulisan
Kiai Nadir. Rois Syuriah PCI NU Australia--New Zealand dan Pengajar School
of Law di University of Wollongong, Australia ini mampu mengurai secara renyah
persoalan yang rumit sekalipun. Buku dengan sampul menarik berjudul Dari
Hukum Makanan tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok (Bandung:
Mizania, 2015) adalah salah satunya.
Buku Prof. Nadirsyah Hosen
yang menjadi inspirasi catatan ini memang menarik. Sebelum membuat catatan
tentang buku ini, saya juga pernah membaca dan membuat resensi sederhana buku
beliau yang lainnya, yaitu Mari Bicara Iman. Anda bisa membacanya di
blog sederhana saya: www.ngainun-naim.blogspot.com.
Ketertarikan saya terhadap
buku ini, selain faktor penulisnya, juga karena rekomendasi (secara tidak
langsung) dari para ilmuwan Indonesia yang saya baca di jejaring sosial. Mereka
umumnya menyarankan untuk memiliki buku tersebut karena kandungan isinya yang
mencerahkan. Selain itu, buku tersebut juga berbeda dengan buku-buku yang lain
dalam genre yang sama.
Begitu ada kesempatan ke toko
buku, prioritas utamanya adalah mencari buku tersebut. Beruntung, buku masih
ada. Segera saja saya ambil (lalu dibayar). Dan sesudah itu, selama beberapa
hari saya memelototi bagian demi bagian sampai tuntas.
Buku karya Prof. Nadirsyah
Hosen ini unik. Berbeda dengan buku ilmiah yang gaya bahasanya kaku, buku
ini--menurut saya--lebih mirip dengan novel atau kumpulan cerita pendek
(cerpen). Tentu, novel atau cerpen ilmiah yang berbobot. Disebut demikian
karena buku ini ada ceritanya. Tokoh utamanya seorang santri yang sedang studi
di Australia. Namanya Ujang. Ujang sendiri adalah penulis buku ini.
Pengantar buku ini menarik
karena tidak hanya berisi alasan mengapa buku ini ditulis, tetapi juga berisi
riwayat akademik penulisnya, walaupun hanya sekilas. Satu hal yang menurut saya
menarik adalah alasan Ujang studi di Australia, bukan justru di Arab atau Timur
Tengah.
Ujang putra seorang ulama besar.
Pendidikannya di pesantren. S1 di Fakultas Syariah IAIN Jakarta. Spirit
belajarnya yang besar untuk studi di luar negeri membuatnya serius belajar
bahasa Inggris. Setiap pagi selama 2 jam ia belajar bahasa Inggris secara
autodidak. Buku bahasa Inggris apa pun dibacanya secara tekun. Kemampuannya
dalam bahasa Inggris berkembang pesat. Semester enam S1 ia sudah mampu
menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Indonesia untuk diterbitkan. Ia juga
rajin mengunjungi British Council Library untuk mengasah listening dan
speaking.
Namun perjuangan studi ke
luar negeri ternyata tidak mudah. Ia pernah gagal. Beruntung ia memiliki guru
spiritual yang merupakan penjual martabak di Ciputat. Ujang dan guru
spiritualnya menjadi nama yang mewarnai kisah buku ini dari awal sampai akhir.
Ada kesan bahwa hukum Islam
merupakan bagian ajaran Islam yang kaku. Implikasi kesan semacam ini kurang
positif terhadap Islam secara keseluruhan. Seolah Islam adalah agama yang
kurang mengapresiasi terhadap realitas yang ada. Melalui buku ini, Prof.
Nadirsyah berhasil menghadirkan perspektif yang menarik. Sebuah persoalan
ternyata tidak menghasilkan jawaban hukum tunggal. Ada begitu banyak perspektif
dari para ulama. Setelah menghadirkan beberapa perspektif, Prof. Nadir kemudian
memberikan analisis kritis. Pada ujungnya, Prof. Nadhir memberikan kesimpulan
atas persoalan yang dihadapi oleh umat Islam di Australia.
Salah satu contoh
operasionalisasi metodologi semacam ini adalah pada kasus cuci kaki di
wastafel. Tradisi mencuci kaki saat wudhu tidak menjadi persoalan di
tempat-tempat umum di Indonesia. Tidak demikian halnya dengan di luar negeri,
termasuk Australia. Tempat umum di negeri kanguru tersebut memiliki toilet
kering.
Persoalan muncul saat orang
Indonesia berada di negeri tersebut. Saat wudhu, kaki mereka naik ke wastafel.
Akibatnya, air berceceran ke mana-mana. Selain itu, kondisi ini juga
memunculkan kesan negatif bagi mahasiswa non-Muslim. Orang lain juga mudah
terpeleset dengan kondisi lantai yang licin.
Ujang yang mendapat
pertanyaan teman-temannya terkait persoalan ini berusaha memberikan perspektif
yang mencerahkan. Bagi Ujang, Islam itu agama yang mudah. Ia pun mengutip
hadis, kitab, dan sumber hukum yang lainnya. Pada akhir bab ia menyimpulkan
bahwa tidak harus membasuh kaki di wastafel. Cukup diusah kaki atau kaos
kakinya.
Ada puluhan masalah yang
diulas pada buku ini. Masalah yang diulas adalah masalah khas Australia.
Bukan berarti masalahnya yang sama tidak ada sama sekali
di Indonesia, tetapi karena konteksnya berbeda maka dibutuhkan jawaban yang
berbeda pula.
Prof. Nadirsyah mengajarkan
bahwa sebuah persoalan acapkali direspon dengan jawaban yang beranekaragam.
Karena itulah, keanekaragaman seharusnya diapresiasi secara
positif-konstruktif. Melalui cara semacam ini Islam tidak akan terjatuh menjadi
agama yang umatnya gemar mencela dan menuduh.
Perbedaan berbasis ilmu
merupakan hal wajar. Justru pada aspek inilah yang menjadikan ilmu bisa tumbuh
subur. Tradisi semacam ini sayangnya belum tumbuh optimal. Melalui buku ini
kita bisa belajar tentang banyak hal, termasuk bagaimana melihat keragaman
dengan cinta.
Tidak ada komentar: