Hidup dan Ketidakterdugaan
Oleh Ngainun Naim
”Bapak
tidak punya banyak harta. Satu-satunya yang Bapak miliki ya rumah dan tanah
ini. Karena itu kamu harus sekolah sampai sarjana supaya punya banyak ilmu.
Warisan ilmu tidak akan habis. Kalau warisan harta, beberapa saat akan habis.”
Pesan
Bapak itu disampaikan entah berapa kali di berbagai kesempatan. Tentu, pesan
itu masih terus terngiang kuat di benak saya hingga kini.
Foto wisuda S-2 bersama Bapak dan Ibu |
Saat
awal Bapak memberi nasihat, saya masih duduk di bangku MTsN. Bapak berpesan
begitu mungkin karena saya adalah anak sulung. Sementara di belakang saya ada
lima orang adik.
Apa
yang beliau sampaikan betul-betul beliau wujudkan. Seluruh saudara saya
diusahakan untuk menempuh kuliah. Walaupun untuk itu, beliau harus hutang
sana-sini di berbagai tempat. Hal ini terjadi karena beliau hanya seorang guru
SD. Tentu Anda semua tahu, atau mendengar, bahwa gaji guru SD di era Orde Baru
sungguh jauh dari kata layak. Jujur, saya salut tak terkira kepada beliau.
Sebagai guru SD dengan enam orang anak, semuanya diusahakan untuk kuliah.
Sungguh, ini bukan perjuangan yang ringan. Jika ingat masa-masa itu, tidak
jarang saya menitikkan air mata.
Perjuangan
demi perjuangan untuk bisa menyekolahkan kami bersaudara dilalui dengan penuh
perjuangan. Sumber utama ekonomi keluarga hanya dari Bapak sebab Ibu seorang ibu
rumah tangga biasa.
Ada
satu peristiwa yang saya ingat betul sampai sekarang. Saat itu saya sudah duduk
di bangku IAIN Tulungagung. Suatu ketika, saat harus membayar SPP semester
empat, tidak ada uang sama sekali di rumah. Atas masukan dari Bapak, saya
bersama dengan ibu menuju rumah seorang saudara jauh. Beliau seorang juragan
gula merah. Tujuan utama kami hanya satu, yaitu mencari pinjaman uang untuk
membayar SPP.
Kami
datang ke rumah beliau dengan naik sepeda motor yang cukup tua karena hanya itu
yang kami miliki. Saat kami datang, Ibu pemilik rumah ada di belakang rumah.
Menurut saya, juga menurut Ibu, beliau sesungguhnya melihat kami. Tetapi beliau
tidak menyapa atau mempersilahkan kami masuk. Pembantunya yang mempersilahkan
kami masuk.
Cukup
lama kami menunggu. Bahkan beberapa jam. Kami bertahan karena memang kami yang
butuh. Selain itu, belum ada satu orang pun yang menemui kami. Sesungguhnya
kami bingung, tetapi tidak tahu apa yang harus kami lakukan.
Hari
mulai petang saat si tuan rumah akhirnya menemui kami. Setelah berbasa-basi,
Ibu menyampaikan tujuan kami. Dan seperti diduga, jawabannya kurang
mengenakkan. Pada akhirnya kami memang mendapatkan pinjaman, tetapi jumlahnya
sangat jauh dari kebutuhan SPP saya.
Jika
teringat kejadian itu, saya merasakan nelangsa sekali. Betapa tidak enaknya
menjadi orang miskin. Namun demikian,
saya tetap mengucapkan terima kasih kepada famili tersebut karena telah
menyelamatkan kuliah saya dengan uang pinjaman dari beliau.
Saya tahu
persis bagaimana beratnya perjuangan menyekolahkan kami semua. Cukup sering
saya diajak Bapak meminjam ke beberapa tempat saat saya atau adik-adik harus
membayar SPP. Memang, kondisi ekonomi kami sesungguhnya kurang memungkinkan
untuk membiayai sekian banyak anak menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan
tinggi.
Bapak dan Ibu tahun 2007 |
Saya menempuh
jenjang S-1 dengan tertatih-tatih. Beberapa kali nyaris putus di tengah jalan
karena kondisi keuangan. Tetapi Bapak selalu meyakinkan saya untuk terus belajar
dengan serius. Dan sesudah dinasihati oleh beliau, saya kembali bersemangat
menyelesaikan kuliah.
Saya menyelesaikan
kuliah tepat waktu. Tahun 1998, saya diwisuda. Saya melihat bagaimana aura
kebahagiaan Bapak dan Ibu. Buliran air mata terlihat di pelupuk mata beliau
berdua saat mengantarkan saya wisuda. Rasa bahagia tak terkira menyelimuti kami
sekeluarga.
Beruntung,
menjelang wisuda saya diterima sebagai tenaga pendamping sebuah program pengabdian
masyarakat. Bidang saya adalah media. Jadi saya harus menulis laporan berbagai
kegiatan program untuk kemudian dimuat di majalah yang dikelola secara internal
oleh program tempat saya bekerja. Sungguh ini sebuah keberuntungan yang harus
saya syukuri. Dengan bekerja, saya bisa memiliki penghasilan dan sedikit
memberikan bantuan keuangan buat keluarga.
Bekerja
sistem kontrak yang harus diperbarui setiap tahunnya sesungguhnya beresiko. Tetapi
memang tidak ada pilihan lain selain menekuni bidang tersebut. Saya terus
menekuni pekerjaan tersebut sambil berusaha mencari informasi beasiswa S-2.
Beberapa
kali aplikasi beasiswa gagal. Saya pun memilih kuliah S-2 dengan biaya sendiri.
Uang hasil kerja saya pergunakan sebagai modal kuliah. Saya nekat kuliah karena
memiliki cita-cita menjadi dosen. Jika saya hanya memiliki ijasah S-1, tentu
mustahil menjadi dosen karena syarat menjadi dosen minimal berijasah S-2.
Perjuangan
penuh dinamika betul-betul saya rasakan. Bekerja di Tulungagung, sementara
kuliahnya di Malang. Nyaris dua tahun energi dan pikiran saya tercurah untuk
bekerja dan kuliah. Saya berusaha keras untuk tidak membebani lagi keuangan
keluarga karena adik-adik saya lebih membutuhkan biaya pendidikan.
Tahun
2002 saya menyelesaikan kuliah. Bahagia tak terkira. Akhirnya saya meraih gelar
magister. Bersamaan dengan itu, saya diterima sebagai dosen tidak tetap di
kampus almamater, yaitu STAIN Tulungagung.
Tahun
berikutnya, yaitu tahun 2003, saya menikah. Sebulan sebelum menikah, ada
informasi penerimaan CPNS di STAIN Tulungagung. Kebetulan ada formasi yang
cocok dengan ijasah saya. Tentu, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Berbagai persyaratan saya penuhi. Bersamaan dengan pikiran yang pusing dengan
persiapan pernikahan, saya juga harus berusaha memenuhi syarat administratif
tes CPNS.
Undangan
pernikahan telah tersebar. Hari resepsi sudah ditentukan. Dan tiba-tiba ada
pengumuman bahwa pelaksanaan tes CPNS adalah tanggal 15 Oktober 2003. Saya pusing
bukan main. Tanggal 13 saya akad nikah, tanggal 14 resepsi di rumah pengantin
perempuan, sementara tanggal 15 harus menjalani ujian CPNS. Dan tanggal 16
rombongan pengantin akan hadir di rumah orang tua saya.
Namun
Allah sungguh Maha Adil. Semuanya sudah diatur. Walaupun jadwalnya sedemikian
rumit, tetapi semuanya berjalan lancar.
Sebulan
setelah ujian, ada pengumuman tahap pertama. Saya bergegas meluncur ke kampus. Hati
bergetar tiada terkira saat saya membaca ada nama saya di situ. Tetapi segera
saya tersadar bahwa itu baru tahap pertama. Masih ada satu tahap lagi yang
harus dilalui.
Pertengahan
bulan Ramadhan, saya menjalani tes lisan. Berbagai pertanyaan diajukan. Dan seingat
saya, nyaris semua pertanyaan bisa saya jawab dengan baik. Karena itu, saya
membangun optimisme diri bahwa saya memiliki peluang untuk lolos. Tetapi saya
juga menyiapkan mental untuk tetap optimis seandainya pun gagal.
Malam
takbiran Idul Fitri menjadi sangat bermakna karena di hari raya itu saya
memiliki istri. Suasananya tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana saya
masih seorang diri. Tahun itu juga untuk pertama kalinya saya merayakan Idul
Fitri tidak di rumah sendiri, tetapi di rumah mertua.
Sore
hari setelah lelah silaturrahim ke tetangga, tiba-tiba ada telepon dari Bapak. ”Coba
kamu cari berita. Tadi ada informasi katanya kamu lolos tes CPNS,” suara Bapak
terdengar agak bergetar.
”Nggih
Pak,” jawab saya.
Saat itu
belum musim HP seperti sekarang. Telepon rumah menjadi alat komunikasi utama. Saya
segera menelepon beberapa kenalan. Hasilnya nihil. Mereka semua silaturrahim. Maklum,
karena hari lebaran.
Setelah
ditelepon Bapak, pikiran saya kacau. Saya penasaran. Tetapi untuk menuju
Tulungagung cukup jauh. Rumah mertua ada di Kabupaten Trenggalek yang jaraknya
sekitar 30 kilometer dari Tulungagung. Dan saat itu sudah malam hari.
Karena
sudah malam, saya pun memutuskan istirahat. Tetapi saya tidak bisa tidur. Pikiran
melanglangbuana ke mana-mana.
Esoknya
masih sangat pagi saya bersama istru meluncur menuju Tulungagung. Tujuan utamanya adalah
melihat pengumuman di STAIN Tulungagung. Saya ingin memastikan nasib saya.
Sampai
di pintu gerbang, seorang satpam keluar dari pos jaga. ”Selamat mas, sampean
lolos,” katanya sambil mengulurkan tangan. Saya pun menyambut uluran tangannya.
Tak terasa air mata saya menetes. Segera setelah mendapatkan kepastian, saya
pamit kepada satpam. Saya meluncur pulang ke rumah.
Sesampai
di rumah, Bapak segera saya salami, saya cium tangannya penuh haru. Air mata
saya tumpah. Ibu yang tahu informasi bahwa saya diterima sebagai CPNS juga ikut
hanyut dalam suasana. Beberapa tamu yang ada di rumah bingung menyaksikan apa
yang terjadi. Baru mereka paham setelah suasana kembali normal dan Bapak
bercerita apa yang sesungguhnya terjadi.
Kini Bapak
sudah berusia lebih dari 70 tahun. Beberapa bulan lalu beliau harus dioperasi
karena sakit yang dideritanya. Secara fisik, kondisi beliau semakin melemah. Tetapi
semangat hidup beliau sangat tinggi.
Saya bersama istri dan anak |
Kini
beliau menyaksikan kami anak-anaknya telah menempuh jalan hidup kami
masing-masing. Tinggal si bungsu yang masih menempuh bangku kuliah. Saya sungguh
sangat bersyukur atas apa yang saya alami. Atas jasa Bapak saya bisa menjadi
seorang dosen. Sungguh ini merupakan ketidakterdugaan. Tidak pernah terbayang
dalam benak saya sebelumnya untuk menjadi seorang dosen.
Dulu, saat kuliah, beberapa teman bertanya tentang
cita-cita saya. ”Menjadi guru SMP,” jawab saya. Cita-cita itu muncul karena saya
ingin melebihi Bapak yang guru SD. Namun Allah berkehendak lain. Saya justru
mendapatkan pekerjaan sebagai dosen. Ini sungguh ketidakterdugaan. Dan semua
ini karena jasa besar Bapak. Terima kasih banyak Pak. Semoga kesehatan dan
keberkahan selalu menyertai beliau. Amin.
Catatan sederhana ini merupakan upaya saya merawat kenangan hidup. Hidup yang penuh ketidakterdugaan. Semoga ke depan hidup saya selalu dilimpahi keberkahan dari Allah Swt.
Menulis melalui blog semacam ini juga memiliki banyak manfaat. Seandainya tidak ada ajakan Mbak Ika Puspitasari, mungkin saya tidak akan membuat tulisan semacam ini. Mbak Ika Puspitasari melalui blog yang dikelolanya, http://www.bundafinaufara.com, menjadi pendorong saya untuk menulis tentang sebagian perjalanan hidup saya.
Secara personal saya belum bertemu beliau. Melalui blog yang beliau kelola, saya mendapatkan banyak informasi dan manfaat. Dan tulisan ini adalah salah satu komitmen saya untuk merawat tradisi menulis, sesederhana apa pun tulisan yang saya buat. Paling tidak saya berusaha menggali inspirasi dari seorang blogger seperti beliau.
Salam.
Trenggalek, 16 Maret 2016.
Selesai membaca tulisan ini, hati kecilku tergerak untuk ikut menuliskan perjuangan bapak ibuku yang begitu luar biasa pengorbanannya untuk mendidik aku hingga sekarang. Tulisan ini seperti percikan api untuk menyulutkan bara semangat menulis sosok besar di belakang saya. Terima kasih ustad pelajaran dan hikmahnya.
BalasHapusTulisan sederhana Mas. Semoga ada manfaatnya.
HapusTulisan sederhana namun manfaat dan efeknya lebih dari kata sederhana. Luar biasa.
HapusTerima kasih
Hapusmengharukan....dan bikin saya malu sebab merasa diri saya kurang bersyukur selama ini
BalasHapusTerima kasih berkenan membaca dan mengunjungi blog saya. Semoga catatan sederhana ini, juga tulisan-tulisan saya lainnya, menjadi amal kebaikan buat kedua orang rua saya. Amin.
HapusTidak sadar, air mata saya menetes baca biografi Pak. Naim, terharuu ...semoga orang tua Pak. Naim diberikan kesehatan selalu dan umur panjang
BalasHapusAmin. Terima kasih atas doanya.
HapusBarakallah
BalasHapusAmin
HapusSebuab perjalanan yang berliku tetapi tidak banyak yang tahu. Tahunya sekarang sudah menjadi orang sukses dan TOP...!
BalasHapusSuwun Mas
HapusM. Khaliq Shalha, M.Pd.I.@ Amin. Terima kasih mas. Yusuf As Sany@ AMin. TOP itu artinya opo to? Perasaan panggah biasa wae.
BalasHapusTerimakasih... Tulisan yg begitu menyentuh dan menginspirasi... Semoga saya bisa meneladani perjuangan beliau...
BalasHapusAmin
HapusSemoga saya bisa aktif menulis seperti panjenengan bapak 🙏🙏 sehingga nantinya bisa tertular juga menjadi penulis buku
BalasHapusSubhanalloh, semoga bapaknya p. Naim diterima amal ibadahnya, diampuni semua dosanya, betapa beliau bahagia melihat putranya yg sdh menuai keberhasilan melebihi yg di inginkan, ..sukses dan bermanfaat bagi orang lain...
BalasHapusAmin.
HapusSetelah membaca tulisan guru saya ini. Perasaan jadi campur aduk. Membahagiakan. Dan ijinkan saya untuk mengatakan bahwa Dia Maha Baik.
BalasHapusMatur suwun
HapusLuar biasa perjuangannya nggih pak ...
BalasHapusBisa membahagiakan kedua orang tua
Terima kasih Bu sudah berkunjung
HapusSubhanallah...
BalasHapusTerima kasih.
HapusCatatan sederhana ini merupakan upaya saya merawat kenangan hidup. Hidup yang penuh ketidakterdugaan. Semoga ke depan hidup saya selalu dilimpahi keberkahan dari Allah Swt. aamiin
BalasHapusAmin. Terima kasih Omjay.
HapusDan memang saya harus banyaj bersyukur karna sampai pascasarjana masih ada biaya yang bahkan lebih... terimakasih bapak ngainun telah membuka hati saya untuk lebih serius dalam belajar...
BalasHapusRajinlah belajar. Semoga barakah.
HapusSenang sekali membaca karya2 bapak. Dan meski hanya sekali mengikui pelatihan yg bapak sbagai pemaeri. Namun ilmux tetap terpraktekkan hingga sekarang. Dan semangat tuk menulis ttp terjaga, meski masih jauh dr kata produktif. Semoga ilmunya senantiasa berkah pak.amin
BalasHapusAmin.
HapusSemoga mengikuti kami sedikit dapat jejak bapak. Amin
BalasHapusPerjuangan yg Luar biasa sy selalu punya prinsip "keraslah kepada dunia sebelum dunia yg keras kpd kita" syukran Prof kisah yg Luar biasa
BalasHapusSama2
Hapus#Figur bapak memang tak bisa tergantikan oleh siapapun
BalasHapus#Bapak selalu memberikan inspirasi kehidupan
#thanks motivasi nya mas
Thank you for sharing. Selalu ada kisah yang sangat patut diteladani di balik kesuksesan seseorang. Kisah yang Pak Naim share di sini ini salah satunya. Alur berfikir yang mengalir dengan bahasa yang mudah dicerna menjadikan kisah ini menjadi sangat enak untuk dibaca.
BalasHapusTerima kasih banyak Bu Nurul
HapusHalo Pa Ngainun, apa kabar?
BalasHapusTerkesan sekali membaca tulisan yang berisi perjuangan bapak meraih cita-cita. Sungguh bapak seorang yang teguh dengan cita-cita.
Tentang kesulitan selama menempuh cita-cita, seperti diceritakan diatas saat meminjam uang, ah itu mirip juga dengan keadaan saya dahulu.
Btw, rupanya bapak ini masih sangat muda. Kalau bapak baru diwisuda S-1 tahun 1998, kalau saya tahun 1998 itu sudah punya anak 3 (juli 1998 anak ke-3 lahir, november 1998 saya di PHK akibat krisis moneter saat itu setelah bekerja di perusahaan tsb selama 8 thn)
Sukses selalu dengan karir nya Pak. Semoga suatu saat nanti ada rezeki kita dapat bersua dan berbincang walau hanya sejenak.
Selamat menjalankan ibadah Puasa.
Salam hangat dari saya di Sukabumi.
Terima kasih Pak berkenan mengunjungi blog ini. Terima kasih juga berkenan meninggalkan jejak di catatan ini. Amin. Semoga suatu saat bisa bersua.
Hapus