SATU GURU SATU BUKU
Oleh Ngainun
Naim
Hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 saya mendapatkan kehormatan untuk mengisi acara Gerakan Guru Menulis (GGM) Kabupaten Malang. Acara yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) bekerjasama dengan Lakpesdam Kabupaten Malang dan Dinas Pendidikan Kabupaten Malang itu sangat penting dalam konteks pengembangan literasi. Apalagi gagasan pokoknya adalah satu guru satu buku.
Aktivitas menulis memang semestinya menjadi bagian tidak terpisah dari aktivitas seorang guru. Karir seorang guru ditentukan oleh--salah satunya--karya tulis. Naik pangkat, misalnya, mengharuskan mereka membuat karya tulis. Dus, menulis adalah keharusan.
Idealitas tidak selalu sejalan dengan realitas. Demikian juga dengan aktivitas menulis bagi guru. Tidak sedikit guru yang asing dengan kegiatan ini. Bagaimana mereka membuat karya tulis untuk kepentingan kenaikan pangkat? Ah, rasanya pertanyaan ini bukan otoritas saya untuk menjawabnya.
Saya lebih tertarik pada upaya-upaya serius dalam membangun budaya menulis. Usaha semacam ini jauh lebih konstruktif dalam membangun kemajuan dunia pendidikan. Ya, guru yang terampil menulis pasti seorang pembelajar sejati. Mereka pasti membaca agar bisa menghasilkan tulisan. Membaca dan menulis secara otomatis akan meningkatkan kualitas guru. Lebih jauh, kualitas pendidikan juga akan meningkat.
Membangun budaya literasi bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya menulis buku antologi. Satu guru satu tulisan 2-5 halaman. Setelah terkumpul misalnya 30 orang dicetak menjadi satu buku.
Jika seorang guru rajin mengikuti momentum menulis bersama, sangat mungkin dalam jangka waktu tertentu mereka akan bisa menulis satu buku utuh. Semuanya sangat mungkin, tergantung kemauan dan komitmen.
Tahun 2017 ini saya memfasilitasi pembuatan buku antologi. Satu buku sudah siap cetak. Tinggal menunggu ISBN. Ada dua buku lain yang sedang saya tunggu naskahnya. Satu naskah khusus untuk internal kampus tempat saya mengabdi, yaitu IAIN Tulungagung. Dan satu lagi terbuka untuk umum. Temanya sederhana, yaitu "Aku, Buku dan Membaca".
Sampai hari ini, naskah antologi "Aku, Buku dan Membaca" sudah menerima 21 naskah. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan ada dua naskah dari Kuala Lumpur.
Mungkin usaha ini bagi penulis serius kurang bermakna. Biarlah. Setiap usaha positif Insya Allah ada manfaatnya.
Tulungagung, 18-2-2017
![]() |
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya |
Hari Sabtu tanggal 18 Februari 2017 saya mendapatkan kehormatan untuk mengisi acara Gerakan Guru Menulis (GGM) Kabupaten Malang. Acara yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam Raden Rahmat (UNIRA) bekerjasama dengan Lakpesdam Kabupaten Malang dan Dinas Pendidikan Kabupaten Malang itu sangat penting dalam konteks pengembangan literasi. Apalagi gagasan pokoknya adalah satu guru satu buku.
Aktivitas menulis memang semestinya menjadi bagian tidak terpisah dari aktivitas seorang guru. Karir seorang guru ditentukan oleh--salah satunya--karya tulis. Naik pangkat, misalnya, mengharuskan mereka membuat karya tulis. Dus, menulis adalah keharusan.
![]() |
Menjelang Upacara Pembukaan |
Idealitas tidak selalu sejalan dengan realitas. Demikian juga dengan aktivitas menulis bagi guru. Tidak sedikit guru yang asing dengan kegiatan ini. Bagaimana mereka membuat karya tulis untuk kepentingan kenaikan pangkat? Ah, rasanya pertanyaan ini bukan otoritas saya untuk menjawabnya.
Saya lebih tertarik pada upaya-upaya serius dalam membangun budaya menulis. Usaha semacam ini jauh lebih konstruktif dalam membangun kemajuan dunia pendidikan. Ya, guru yang terampil menulis pasti seorang pembelajar sejati. Mereka pasti membaca agar bisa menghasilkan tulisan. Membaca dan menulis secara otomatis akan meningkatkan kualitas guru. Lebih jauh, kualitas pendidikan juga akan meningkat.
![]() |
Peserta memenuhi ruangan |
Membangun budaya literasi bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya menulis buku antologi. Satu guru satu tulisan 2-5 halaman. Setelah terkumpul misalnya 30 orang dicetak menjadi satu buku.
![]() |
Presentasi |
Jika seorang guru rajin mengikuti momentum menulis bersama, sangat mungkin dalam jangka waktu tertentu mereka akan bisa menulis satu buku utuh. Semuanya sangat mungkin, tergantung kemauan dan komitmen.
Tahun 2017 ini saya memfasilitasi pembuatan buku antologi. Satu buku sudah siap cetak. Tinggal menunggu ISBN. Ada dua buku lain yang sedang saya tunggu naskahnya. Satu naskah khusus untuk internal kampus tempat saya mengabdi, yaitu IAIN Tulungagung. Dan satu lagi terbuka untuk umum. Temanya sederhana, yaitu "Aku, Buku dan Membaca".
![]() |
Semua guru bisa menulis |
Sampai hari ini, naskah antologi "Aku, Buku dan Membaca" sudah menerima 21 naskah. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan ada dua naskah dari Kuala Lumpur.
Mungkin usaha ini bagi penulis serius kurang bermakna. Biarlah. Setiap usaha positif Insya Allah ada manfaatnya.
Tulungagung, 18-2-2017
Satu Guru Satu Buku.
BalasHapusMembaca judulnya, saya agak bingung. Tetapi setelah membaca isinya, saya sedikit paham.hehehe
Sebagai guru, memang seharusnya terampil dalam menulis. Dan agar terampil dalam menulis, haruslah banyak membaca. Dan akhirnya akan menjadi pembelajar yang baik.
Maaf, pak, kalau komentar saya selegence.. Hehhee
Terima kasih Mas Djacka.
Hapus