MENULIS, KOMUNITAS DAN KOMITMEN
Judul Buku: Yang Berkesan dari Kopdar Sahabat Pena
Nusantara di PP Darul Istiqomah Bondowoso
Penulis: Abb Aziz Tata Pangarsa, dkk.
Penyunting: Athiful Khoiri
Penerbit: Sahabat Pena Nusantara dan Diandra
Edisi: Maret 2017
Tebal: xv+192 halaman
ISBN: 9786023363520
Peresensi: Ngainun Naim
![]() |
Buku hasil Kopdar Bondowoso |
Gerakan literasi
semakin tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia. Komunitas-komunitas
kepenulisan bermunculan di mana-mana. Pelatihan tulis menulis semakin sering
digelar. Dan buku demi buku pun terbit.
Salah satu komunitas
kepenulisan yang penting untuk disebut adalah Sahabat Pena Nusantara (SPN).
Organisasi ini unik karena anggotanya cukup beragam. Ada profesor, doktor, kiai,
ustadz, santri, mahasiswa, dan berbagai latar belakang yang lainnya. Keragaman
latar belakang ini tidak menjadikan diskusi grup WA SPN berkutat pada hal-hal
remeh-temeh yang tidak bermanfaat. Grup WA SPN memiliki aturan yang cukup ketat
dalam topik diskusi, yaitu hanya hal-hal yang berkaitan dengan dunia tulis
menulis. Topik politik, perbedaan paham keagamaan, dan topik yang tidak sesuai
dengan visi misi SPN dilarang masuk dalam bahasan diskusi.
SPN secara resmi berdiri
pada hari Minggu, 29 Maret 2015. Usianya memang baru dua tahun. Tetapi
produktivitas grup ini penting untuk diapresiasi. Setiap anggota yang masuk
grup SPN wajib menulis satu artikel sebulan sekali berdasarkan tema yang telah
ditentukan. Batas toleransi tidak menulis adalah tiga artikel. Jika tetap tidak
menulis maka dengan hormat terpaksa dikeluarkan dari grup. Jika ingin masuk
lagi maka harus kembali menulis sesuai aturan.
Menurut M. Husnaini,
Ketua Umum, SPN merupakan grup keren. Di grup ini, anggota tidak perlu untuk
membayar. Kita bisa belajar menulis dari para tokoh literasi nasional. Ada Pak
Hernowo yang terkenal dengan konsep “Mengikat Makna”, Pak Much. Khori atau
akrab disapa Pak Emcho yang terkenal dengan konsep SOS (Sopo Ora Sibuk), ada
Mr. Vicky Bravo yang bukunya Mega Best
Seller, ada Prof. Dr. Muhammad Chirzin yang telah menulis lebih dari 40
judul buku, ada Didi Junaidi yang terus melaju bersama buku, dan puluhan pegiat
literasi lainnya. Memang, SPP untuk anggota SPN adalah setor tulisan sebulan
sekali itu. Karena itu M. Husnaini menegaskan:
SPP-nya hanya
komitmen menulis setiap bulan. Bukan setiap minggu, apalagi setiap hari. Ringan
banget, bukan? Orang yang dikasih waktu sebulan lalu tidak menghasilkan tulisan
1,5 lembar, saya kira, bukan tidak bisa. Itu malas namanya. Dan cirinya adalah
banyak alasan. Sok sibuk (h. 133).
Grup SPN juga rutin
melaksanakan Kopdar. Kopdar pertama dilaksanakan di rumah Dr. H. Taufiqi, S.P.,
M.Pd., di Ponpes An-Nur 1 Bululawang Malang, sekaligus peluncuran buku Quantum Ramadhan. Kopdar kedua
dilaksanakan di Wisma Sargede Yogyakarta. Pada Kopdar tersebut sekaligus launching buku Quantum Cinta. Kopdar ketiga dilaksanakan di Ponpes Darul Istiqomah
Pakuniran Bondowoso sekaligus launching buku
Quantum Belajar.
Komunitas menulis ini
sungguh luar biasa. Semangat menulis para anggotanya sangat besar. Buku ini
adalah buktinya. Setiap kopdar selalu diikuti dengan peluncuran buku. Dan
istimewanya, dari Kopdar ketiga di PP Darul Istiqomah Bondowoso bisa melahirkan
buku ini. Tentu ini merupakan sebuah usaha kreatif yang harus diapresiasi.
Bentuk apresiasi saya adalah dengan membaca secara tuntas seluruh isi buku dan
membuat “semacam” resensi ini.
Membaca buku ini akan
membuat adrenalin menulis Anda melonjak tajam. Baca saja tulisan Rita
Audriyanti, “Antara Bus Patas dan Aku”, “Ah, Dangdut Ini”, dan “Catatan Dibuang
Sayang dari Kopdar Bondowoso”. Ibu energik ini datang dari tempat yang sangat
jauh, bahkan paling jauh dari seluruh peserta kopdar, yaitu Kuala Lumpur.
Sungguh suatu perjuangan yang tidak biasa. Tiga catatannya mendedahkan spirit
hidup yang penting untuk dihayati.
Pada catatan, “Ah,
Dangdut Ini”, ada spirit berdamai dengan keadaan yang ada. Rita yang menurut
pengakuannya kurang nyaman mendengarkan musik dangdut koplo sepanjang
perjalanan Surabaya Jember dan Jember Surabaya, akhirnya menulis:
Ah, sudahlah. Musik
itu mewakili kaumnya. Boleh jadi hidup ini harus dipacu dengan lebih kuat dan
heboh lagi agar semangat yang ada pada lirik dan hentakan perkusi itu, mampu
menjauhkan keputusasaan melawan kehidupan yang keras ini. Izinkanlah mereka
yang memulai harinya, dengan memompa jiwa yang tertekan oleh berbagai kepincangan,
ketidakadilan, dan ketidakberpihakan, agar menemukan jiwanya pada ruh musik
yang mewakili semuanya. Izinkanlah telinga, kaki, goyangan kepala bergerak
ritmis bersama suara merdu sang biduan (h. 90-91).
Buku ini terbagi
menjadi tiga bagian dan satu lampiran. Bagian pertama bertajuk, “Menjelang
Kopdar SPN”. Ada empat tulisan pada bagian ini yang bercerita hal-ikhwal
perjalanan menuju lokasi Kopdar di PP Darul Istiqomah Bondowoso. Ada semangat,
dinamika perjalanan, perjuangan, dan juga harapan. “Semua aku lakukan karena
cinta dan demi cinta”, tulis Didi Junaidi (h. 4) yang harus menempuh perjalanan
sekitar 18 jam menuju lokasi.
Inti buku ini ada pada
bagian kedua yang bertajuk “Kesan Kopdar SPN”. Pada bagian ini pembaca sekalian
bisa menemukan kesan yang nyaris sama: “Sangat bersyukur” ) Abdul Aziz Tata
Pangarsa, “Indahnya jalinan ukhuwah islamiyah”, “Cara SPN dalam mendisiplinkan
anggotanya menyakitkan tetapi sesungguhnya itulah cara yang efektif untuk
sebuah komitmen” (Abdisita Sandhyasosi), “Iklim menulislah yang sesungguhnya
saya cari” (Agus Hariono), “Bukan grup biasa”, “Pengalaman luar biasa”, “Saya
merasa sangat bersyukur” (Eka Sutarmi), “SPN adalah sebuah gerbang kata di mana
para anggotanya mengolah kata yang akan diproduksi menjadi sebuah tulisan”, “Saya
sangat beruntung”, “Bertabur ilmu dan pengalaman luar biasa” (Joyo Juwoto), “Kalau
bukan karena cinta, perjalanan sehari penuh, tidak akan pernah ada”, “Banyak
ilmu dan pencerahan yang saya dapatkan”, “Pemantik semangat saya untuk menulis”
(Masruhin Bagus), “Saya sangat antusias” (M. Arfan Mu’ammar), “SPN” Sumpah
Pengen Nangis”, “SPN: Semua Pengen Nyambut”, “SPN: Semangat Pengen Nulis”
(Fathi Abdul Fida’).
Bagian ketiga bertajuk “Perjalanan
Jauh Bersama SPN”. Bagian ini berisi kesan, pesan, pengalaman, harapan, dan
pelajaran bergabung dengan SPN. Syaful Rahman, mahasiswa UNESA asal Sumenep
menemukan bahwa SPN merupakan grup menulis yang disebutnya sebagai super duper
hebat. Lewat SPN ia berkesimpulan bahwa, “Menulis itu tidak terlalu sulit. Membiasakan
menulis itu yang sulit” (h. 117).
Eni Setyowati, Doktor
Pendidikan Biologi dan Dosen IAIN Tulungagung menyatakan bahwa ia aktif
menyelinap di balik para tokoh SPN. Meskipun
belum pernah ikut kopdar, Eni sesungguhnya cukup aktif menyimak seluruh
diskusi. Bahkan tulisan-tulisan yang penting ia kopi untuk kemudian dipindah ke
komputer. Tidak hanya itu, ia juga aktif membeli karya tulis para anggota SPN.
Helmi Yani, anggota SPN
asal Pekanbaru Riau menyatakan bahwa semangatnya menulis meningkat setelah
masuk grup SPN. Pengamatan Helmi Yani menunjukkan bagaimana para penulis senior
terus bergairah dalam berkarya. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sibuk. Karena
itulah Helmi Yani menulis, “Membaca komentar dan diskusi mereka memberikan
suntikan semangat setiap hari” (h. 125).
Semangat senada juga
dirasakan oleh Hidayatun Mahmudah. Ia yang pernah menekuni dunia menulis tetapi
terbentur rasa percaya diri justru menemukan kembali gairah menulis setelah
bergabung dengan SPN. “SPN menjadi media mewujudkan mimpi”, papar anggota SPN
asal Wonosari tersebut.
SPN, terlepas dari
kekurangan yang ada, adalah grup menulis yang cukup bermanfaat. “80% anggota
terbakar semangat menulisnya”, papar Aditya Akbat Hakim. Dan itu terbukti dari
tingkat setoran naskah rutin sebulan sekali.
Meskipun buku ini
berbicara hal-ikhwal kopdar namun kandungan maknanya sangat mendalam. Membaca buku
ini seperti memperoleh asupan gizi menulis. Membacanya dapat menjadi energi
hidup dalam menghasilkan karya yang lebih bagus.
Trenggalek, 24-3-2017
Tidak ada komentar: