Menggali Hikmah untuk Kemajuan Hidup

Juni 28, 2017


Judul Buku: Secercah Cahaya Hikmah, Pendar-Pendar Mutiara Hikmah Dari Al-Qur’an, Al Hadits, dan Kearifan Para Ulama-Cendekia
Penulis: Joyojuwoto
Penerbit: Pustaka Ilalang Lamongan
Edisi: November 2016
Tebal: xxiv+120 halaman
ISBN: 9786027458253
Peresensi: Ngainun Naim
 
Sumber: 4bangilan.blogspot.com

Satu hal penting yang menentukan kemajuan kehidupan seseorang, yaitu motivasi. Motivasi merupakan energi yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan secara lebih bertenaga. Sebuah aktivitas yang dilakukan penuh motivasi hasilnya akan jauh lebih baik dibandingkan dengan sebuah aktivitas tanpa motivasi.
Motivasi bisa datang dari diri sendiri, bisa juga dari luar. Dari mana pun datangnya, motivasi itu sangat penting. Bukan hal penting untuk memperdebatkan mana yang lebih baik antara motivasi internal dan motivasi eksternal. Sebab yang justru lebih penting adalah bagaimana memiliki motivasi untuk kemudian ditransformasikan menjadi energi agar menjadi insan yang lebih baik.
Pada perspektif inilah buku karya santri asal Tuban, Joyojuwoto, menemukan titik signifikansinya. Buku karya santri tulen ini berisi kumpulan kata-kata hikmah dari berbagai sumber. Secara kreatif Joyojuwoto memulai bahasan tiap bagian dengan menukil dalam bahasa Arab kata-kata hikmah tertentu lalu menafsirkannya dalam konteks yang luas.
Saya menganjurkan teman-teman sekalian membaca buku ini. Sungguh, buku ini adalah buku bergizi. Teman-teman bisa menghubungi penulisnya di facebook jika ingin memiliki buku ini. Saya sendiri memiliki buku ini atas jasa baik Mas Joyojuwoto karena saya memberikan sapatah dua patah kata terhadap terbitnya buku ini.
Membaca itu penting, bahkan sangat penting. Pentingnya membaca buku diulas pada tulisan yang berjudul “Teman yang Baik itu Bernama Buku”. Mengutip sebuah kata mutiara yang cukup terkenal, “Sebaik-baik teman duduk di segala masa adalah buku”, Joyojuwoto menguraikan secara apik tentang signifikansi buku dalam kehidupan. Setelah menguraikan secara panjang lebar, ia memperkuat argumentasinya dengan mengutip pendapat Al-Jahiz.
“Buku adalah teman duduk yang tidak akan memujimu secara berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan. Dia adalah teman yang sangat toleran, yang tidak akan mengusirmu. Dia yang tidak akan memaksamu mengeluarkan apa yang kamu miliki. Dia tidak akan memperlakukanmu dengan tipu daya, tidak akan menipumu dengan kemunafikan, dan tidak akan membuat kebohongan” (h. 56).

Tetapi membaca saja tanpa diikuti tindakan setelah membaca menjadi kurang bermakna. Membaca—termasuk membaca kata-kata mutiara di buku ini—seharusnya bukan menjadi langkah terakhir melainkan salah satu langkah untuk melakukan transformasi diri. Secara tegas Joyojuwoto menulis bahwa hikmah, mahfudzat, dan sejenisnya seharusnya bukan sekadar teori. Ia akan sakti jika diamalkan. Istilah Joyojuwoto, hikmah itu bukan sekadar mantra, tetapi juga laku (h. 29).
Justru karena itulah maka kata-kata hikmah di buku ini bisa diposisikan sebagai titik pijak atau sebagai sumber energi untuk kemajuan hidup. Ada begitu banyak hikmah yang bisa diberdayakan dalam kerangka transformasi diri.
Aspek yang saya kira menarik untuk dieksplor lebih jauh pada catatan ini adalah pemikiran Joyojuwoto tentang peradaban. Joyojuwoto menulis bahwa peradaban itu terbangun dari tiga hal, yaitu: tinta, pena dan tulisan (h. 6-7). Pemikiran Joyojuwoto ini menarik untuk direnungkan, dihayati dan dikontekstualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan. Kehidupan yang maju ditopang oleh produk tiga pilar peradaban. Substansi tiga pilar tersebut sesungguhnya adalah literasi.
Joyojuwoto juga mengajak kita semua untuk bergerak menciptakan kerukunan. Konflik yang begitu mudah tersulut sesungguhnya tidak menguntungkan sama sekali. Realitas ini menunjukkan bahwa persaudaraan kini semakin memudar. Landasan ideologis berupa agama Islam yang sesungguhnya merupakan alasan terkuat bagi terbangunnya persaudaraan kini sulit untuk ditemukan lagi. Padahal, persaudaraan itu merupakan kesempurnaan iman. Konsekuensinya, di antara orang yang bersaudara harus saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling mencintai (h. 52). Renungan tentang persaudaraan oleh Joyojuwoto ini menemukan relevansi dan kontekstualisasinya dalam kehidupan sekarang ini. Jangan sampai kita menjadi manusia yang bertengkar karena perbedaan sebab perbedaan—jika dipahami secara baik—sesungguhnya merupakan rakhmat.
Ada banyak hal lain yang bisa kita gali dan kontekstualisasikan dari buku ini. Salah satu substansi dari buku ini adalah agar kita selalu berada dalam garis kebajikan. Kebajikan sesungguhnya bukan sebatas sebagai teori, tetapi bagaimana diterjemahkan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari.
Sebagai catatan, buku ini akan lebih bagus jika cover dan layout diperbaiki sehingga menjadi lebih mantap. Editing juga diperlukan untuk mengurangi salah ketik. Penulisan ayat Al-Qur’an di halaman 72 dan 73 sebaiknya dicek ulang.
Terlepas dari sedikit catatan tersebut, buku ini tetap signifikan untuk memperkaya makna hidup.  Tulisan Arab dan terjemahnya sangat membantu pembaca yang kurang menguasai bahasa Arab. Membaca buku ini dan merenungi maknanya bisa memberikan manfaat positif bagi kehidupan.

Trenggalek, 28 Juni 2017.

2 komentar:

  1. Membaca ulasan tentang buku "Secercah Cahaya Khikmah" rasanya sangat pantas untuk memiliki dan membaca buku ini
    terima kasih pak untuk informasinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah membaca ulasan saya ini. Silahkan menghubungi Mas Joyojuwoto. Semoga stok buku masih ada.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.