Lan Fang, Gus Dur dan Dunia Kata
Judul Buku: Imlek Tanpa Gus Dur dan 21 Tulisan Lainnya
Penulis: Lan Fang
Penerbit: Gramedia Jakarta
Edisi: 2010
Tebal: vi+112 halaman
Sastrawan Surabaya Lan Fang sudah
meninggalkan kita semua. Perempuan enerjik yang produktif berkarya itu menyerah
oleh kanker hati yang menyerangnya. Tepat pada hari natal, 25 Desember 2011,
Lan Fang berpulang.
Sudah enam tahun ia pergi. Namun
namanya masih melekat kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia, khususnya para
pecinta sastra. Selain kiprahnya, buku-buku, artikel, esai dan novelnya yang
membuat namanya dikenang sampai sekarang.
Salah satu buku yang ditulis adalah
buku yang judulnya Imlek Tanpa Gus Dur ini. Meskipun lebih dikenal
sebagai cerpenis dan novelis, Lan Fang sesungguhnya juga menulis esai. Buku terbitan
Gramedia Jakarta tahun 2010 ini merupakan kumpulan artikel Lan Fang di berbagai
media. Judul buku ini diambil dari salah satu artikel di dalam buku ini.
Total ada 22 artikel di buku ini.
Sayangnya buku ini tanpa kata pengantar dari penulis, tanpa biodata penulis,
dan juga tanpa penjelasan tentang sumber tulisan. Padahal, tulisan-tulisan
semacam itu penting artinya dalam memberikan informasi kepada pembaca agar
mengetahui bagaimana konstruksi buku ini terbangun. Terlihat buku ini
diterbitkan kurang serius, meskipun penulisnya cukup bereputasi dan penerbitnya
termasuk penerbit papan atas Indonesia.
Sebagai kumpulan tulisan yang
awalny merupakan esai di berbagai media massa, tentu tema yang terdapat di buku
ini cukup lebar. Ada tema tentang agama, budaya, sastra, politik, hingga
bahasa. Coba simak, misalnya, artikel dengan judul “Adat dan Adab Menulis”. Ada
juga dengan judul “Drama Kampanye”, dan di bagian akhir adalah artikel dengan
judul “What is Bahasa Daerah?”.
Sebagaimana biasa, saya membaca
secara pelan bagian demi bagian dari buku ini. Saya berusaha menikmati alur
penulisannya yang sedemikian rapi mengalir dari bagian awal sampai akhir. Saat
masuk bagian dua yang berjudul "Dari Seniman kepada Gubernur dan Wakil
Gubernur Jatim", saya terhenti. Saya baca secara pelan-pelan. Saya
kunyah-kunyah isinya. Saya renungkan dan
hayati isinya.
Bagian ini mengulas tentang kisah
penghargaan Lan Fang terhadap kebijakan Gubernur Jatim Soekarwo (pada tahun
2009) yang memberikan asuransi kesehatan kepada para seniman. Bagi Lan Fang,
kebijakan ini merupakan bentuk apresiasi dan kepedulian pemerintah terhadap
seniman. Tidak sedikit seniman yang kehidupannya mengenaskan. Penyakit yang
menggerogoti tidak mampu ditangani secara baik karena tidak memiliki akses
terhadap pelayanan kesehatan. Adanya asuransi kesehatan, tentu saja, sangat
menggembirakan.
Sayang, pada tataran aplikasi
asuransi itu belum berfungsi. Secara pedih Lan Fang bertutur bagaimana Ratna
Ibrahim Indraswari dan RM Yunani Prawiranegara—dua seniman besar Jawa Timur—meninggal dunia
setelah terserang stroke tanpa bisa memfungsikan kartu asuransi yang diberikan
Gubernur. Sesungguhnya nasib Lan Fang tidak kalah memilukan. Ia sendiri telah
berpulang karena sakit. Saya sendiri tidak tahu apakah ia mendapatkan asuransi
untuk berobat saat sakit. Tetapi tulisan ini menegaskan kepiluan bahwa
kebijakan itu seharusnya bersifat tuntas. Jika tidak bisa dioperasionalkan,
lalu apa fungsinya asuransu kesehatan bagi seniman?
Bagian lain yang menarik perhatian
saya adalah tulisan dengan judul “Makam Suci Bukit Lingzhan”. Tulisan tersebut,
menurut saya, sangat menarik dan informatif. Reportase Lan Fang ke Cina
menorehkan penegasan historis bahwa Islam mulai masuk ke negeri itu pada masa
Dinasti Tang (618-628 M). Diceritakan oleh Lan Fang bahwa Nabi Muhammad
mengirimkan empat orang muridnya ke Cina. Murid pertama berada di Guang Zhou,
murid kedua di Yang Zhou, murid ketiga dan keempat berada di Quan Zhou.
Keempat murid tersebut menyebarkan
Islam di Cina hingga wafat. Makam murid ketiga dan keempat ada di Bukit
Lingzhan, Quan Zhou. Sampai sekarang makam tersebut terus dikunjungi peziarah. Menurut
saya, kata “murid” tidak akrab dalam budaya Islam. Kata yang lebih tepat adalah
“sahabat”.
Terlepas dari sebutan tersebut, fenomena
ini tetap menarik untuk dicermati. Ternyata, sebagaimana dicatatan secara
impresif oleh Lan Fang, pemerintah Cina memberikan perhatian khusus terhadap
makam kedua sahabat Nabi Muhammad. Meskipun menjadi agama minoritas, perhatian
dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Cina menunjukkan apresiasi
terhadap keanekaragaman agama dan budaya. Sayang Lan Fang tidak menulis siapa
nama para sahabat tersebut.
Bagian terpenting sekaligus “ruh”
buku ini adalah artikel dengan judul “Imlek Tanpa Gus Dur”. Lan Fang itu
Gusdurian; pengikut dan pengagum Gus Dur. Saya tidak tahu apakah penilaian saya
ini tepat atau tidak. Kesimpulan sederhana ini saya peroleh setelah membaca dan
mencermati tulisan demi tulisan di buku ini. Ada lima artikel di buku ini yang
secara eksplisit mengungkapkan kekagumannya terhadap Gus Dur. Kekaguman
tersebut berkaitan dengan jejak pemikiran, kiprah, dan kontribusi Gus Dur
terhadap kehidupan bangsa Indonesia, khususnya bagi warga Tionghoa.
Bagi Lan Fang, Gus Dur adalah
pembuka kotak pandora keberagaman. Kontribusi Gus Dur dalam memecah kebekuan
budaya Tionghoa tidak bisa dilupakan dalam sejarah kehidupan bangsa ini.
Jasa-jasa beliau sangat besar. Jika kini kita bisa merasakan arus kehidupan
yang demokratis, salah satu kontributor pentingnya adalah Gus Dur.
22
tulisan di buku ini menunjukkan bagaimana karakter Lan Fang sebagai penulis.
Ulasannya mengalir lancar dan menarik. Gaya bahasa esainya, sejauh pengamatan
saya, “nyastra”. Wajar saya kira karena dia adalah sastrawan. Meskipun ia telah
mendahului kita, karya ini adalah bukti nyata bahwa karya seseorang itu bisa
melampaui usia biologis penulisnya. Pengalaman ini semestinya menjadi pelajaran
berharga bagi kita untuk meninggalkan karya tulis, sesederhana apapun.
Tidak ada komentar: