Belajar Memberdayakan Masyarakat dari K.H. Husein Muhammad
Ngainun Naim
Saya sungguh beruntung
bisa mengikuti acara The 3rd International Conference on University-Community
Engagement 2018 di UIN Maliki Malang, tanggal 8-10 Oktober 2018. Acara ini sangat
bermanfaat, khususnya untuk menambah asupan pengetahuan di tengah aktivitas
rutin yang sering membuat kurang kreatif. Selain pameran pengabdian dan acara
Indonesia Mengaji, ada “Plenary Session”.
“Plenary Session 1”
diadakan di Lantai 5 Rektorat UIN Maliki Malang. Hadir sebagai pembicara, salah
satunya, K.H. Husein Muhammad. Nama kiai ini sudah tidak asing lagi bagi para
pengkaji Islam Indonesia. Bukunya sangat banyak. Artikelnya bertebaran. Beliau juga
mengisi berbagai forum pertemuan nasional dan internasional.
Hari Selasa, 9 Oktober
2018, mulai pukul 09.30 saya mendengarkan ceramah beliau. Pada acara yang
dipandu oleh dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag tersebut
hadir juga Ass. Prof. Dr. Minako Sakai dan Nurhady Sirimorok.
Pada bagian pengantar
sebagai moderator, Dr. Ahmad Zainul Hamdi menyatakan bahwa sesi “Plenary
Session 1” disiapkan oleh panitia untuk menjawab pertanyaan mengapa. Pertanyaan
ini, kata Zainul Hamdi, sangat penting karena jika tidak terjawab, maka
acara ICON UCE ini tidak perlu diperpanjang lagi. Lebih lanjut Dr. Zainul Hamdi
mengingatkan terhadap kritik Menteri Agama dalam pembukaan The 3rd ICON UCE bahwa
Kementerian Agama sudah mengeluarkan dana miliaran untuk riset. Pertanyaannya,
seberapa banyak riset yang dihasilkan bisa memberikan manfaat dari riset
tersebut?
Lebih lanjut Dr.
Zainul Hamdi menyatakan bahwa setuju atau tidak setuju dengan kapitalisme,
studi antropologi yang sangat penting menyatakan bahwa lahirnya kapitalisme
yang menguasai dunia dan mengubah wajah peradaban ditentukan oleh ajaran
teologi John Calvin yang disebut calling theology. Jika ingin merumuskan
sesuatu kita beranjak dari sesuatu yang sangat dasar. Apakah ada yang bisa
mengubah peradaban dengan social justice order? Tatanan sosial sekarang
tidak mencerminkan adanya justice itu. Sesi ini sangat penting karena
tidak hanya berbicara hal-hal yang normatif-abstrak, tetapi riil.
Acara selanjutnya adalah
pemaparan dari K.H. Husein Muhammad. Pada paparan awalnya beliau bercerita mengenai
bagaimana beliau berpidato di salah satu universitas besar, yaitu Georgetown
University. Pidato itu disampaikan karena beliau mewakili Fahmina untuk
menerima penghargaan “Opus Price”. Fahmina mendapatkan hadiah atas pemberdayaan
dan penguatan masyarakat yang dilakukan sejak berdiri sampai sekarang. Hadiahnya
sangat besar, yaitu 1 juta dolar. Fahmina adalah salah satu kandidat yang
memperoleh penghargaan. Fahmina memang tidak mendapatkan hadiah sebesar 1 juta
dolar itu. Tapi dapatnya lumayanlah.
Mengapa Fahmina berhak
memperoleh? Hadiah itu tentu tidak diberikan secara cuma-cuma. Ada banyak
variabel yang digunakan sebelum menghasilkan keputusan. Kiai Husein menjelaskan
bahwa penelitian 7 universitas di Amerika menyebutkan tentang peranan Fahmina. Penelitian
yang dilakukan menyebutkan bahwa Fahmina berhasil membangun masyarakat tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan nilai-nilaikemanusiaan, terutama gender, pluralisme,
demokrasi, dan HAM.
Perjuangan dasar
Fahmina tersebut penting maknanya untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan
masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai mudah
terperangkap dalam berbagai persoalan dasar kemanusiaan. Sistem Orde Baru
mewariskan—selain sisi positif—juga banyak hal negatif, seperti kebodohan,
kemiskinan sosial, rasa saling curiga, dan berbagai hal negatif lainnya. Melihat
realitas warisan yang semacam ini, Fahmina ingin melakukan perubahan. Tujuannya
adalah bagaimana masyarakat bisa bangkit dengan membebaskan diri dari berbagai
persoalan yang tengah mereka hadapi. Karena itulah, Kiai Husein Muhammad
menjelaskan bahwa transformasi sosial akan menemukan signifikansi jika
dijalankan bersama tradisi, bersama budaya. Bersama tradisi untuk keadilan.
Pada bagian yang
lainnya, Kiai Husein Muhammad menjelaskan bahwa agama itu hadir untuk manusia,
bukan untuk Tuhan. Karena untuk manusia maka agama seharusnya juga bisa mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan. Kata Kiai
Husein, “bekerja untuk kemanusiaan adalah ibadah yang tinggi”.
Di Fahmina, ada tiga
isu besar program Fahmina, yaitu: (1) Islam dan Pluralisme; (2) Islam dan
Gender; (3) Penguatan otonomi komunitas dan kemandirian masyarakat. Fahmina
hadir untuk memberikan pengetahuan mendasar dari perspektif Islam. Islam yang
dipilih Fahmina adalah pandangan keagamaan yang ada di dalam khazanah Islam
klasik. Inilah yang dimaksud melakukan perubahan melalui ruang tradisi. Caranya
adalah dengan menafsir ulang secara kontekstual dengan basis kemanusiaan yang
ada di dalam teks-teks keagamaan itu. Kiai Husein Muhammad mengajak seluruh
komponen masyarakat dengan seluruh identitasnya untuk mendiskusikan berbagai
macam persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Aktivitas yang
dilakukan oleh Fahmina bermacam-macam. Di antaranya melakukan kerjasama dengan
berbagai macam institusi. Kerjasamanya diwujudkan dalam banyak kegiatan, di
antaranya dalam bentuk diskusi. Tokoh-tokoh yang diundang hadir untuk diskusi, dialog,
dan memusyawarahkan sekaligus mencari solusi atas berbagai persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Selain itu melakukan serangkaian penerbitan buku dan
buletin.
Perjalanan sebuah
lembaga tidak selalu linier. Begitu juga dengan yang dialami oleh Fahmina. Apalagi
usia Fahmina sudah 18 tahun. Dinamika itu selalu ada. Namun demikian Kiai
Husein menegaskan bahwa sebuah lembaga semacam Fahmina jangan berhenti. Harus selalu
memikirkan tentang bagaimana caranya agar tetap eksis dan memberikan kontribusi
kepada masyarakat.
Salah satu yang
dikembangkan oleh Fahmina adalah dengan mendirikan Institut Studi Islam Fahmina
(ISIF) yang memberikan pengetahuan tentang banyak hal. Seiring dengan
perjalanan waktu, juga mendirikan Baitul Hikmah. Lembaga ini tujuannya
adalah untuk memberikan informasi tentang gender dan kesehatan
repropduksi bagi warga pesantren dan anak-anak SMA. Tuntutan pluralisme agama
di tengah dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks mendorong Fahmina
mendirikan Pemuda Lintas Iman. Selan itu juga mendirikan Setaman
(Sekolah Cinta Perdamaian). Mulai tahun 2018 Fahmina menginisiasi pendirian Sekolah
Dasar Islam Terpadu berbasis sistem Montessori. Perubahan itu dimulai dari
anak-anak karena banyak sekali pengaruh negatif yang dihadapi oleh anak-anak. Dan
yang terakhir sedang mengembangkan Pesantren Fahmina.
Pada bagian komentar
setelah pemaparan, Dr. Ahmad Zainul Hamdi memberikan komentar bahwa
transformasi sosial akan efektif jika berbasis budaya tempat lahir. Pendirian berbagai
lembaga di Fahmina adalah bukti yang penting untuk konteks pemberdayaan
masyarakat.
Tidak ada komentar: