Mari Hidup Secara Harmonis
Oleh Ngainun Naim
Jangan pernah memimpikan
adanya keseragaman seluruh masyarakat Indonesia. Itu mustahil. Masyarakat
Indonesia itu sudah sangat berwarna. Ada banyak agama, suku, bahasa, budaya,
dan berbagai bentuk keanekaragaman lainnya. Jadi memimpikan keseragaman—apalagi
berupaya untuk mewujudkannya dalam kehidupan dengan cara pemaksaan—adalah suatu
hal yang absurb.
Justru yang jauh lebih
penting adalah bagaimana mengelola kondisi masyarakat kita yang beranekaragam
itu secara baik. Menurut para ahli, keanekaragaman itu bisa menjadi anugerah,
bisa juga menjadi bencana. Menjadi anugerah manakala keanekaragaman
menghasilkan harmoni dan memperkaya warna kehidupan. Masyarakat saling mengisi,
saling memperkaya, dan saling memberikan makna satu sama lain.
Namun semuanya berubah
menjadi bencana manakala saling menegasikan. Tidak ada lagi penghargaan. Adanya
pemaksaan. Masing-masing pihak merasa paling benar. Pada kondisi semacam ini,
permusuhan menjadi sesuatu yang tidak bisa untuk dihindarkan.
Jujur saya resah melihat kehidupan sosial
politik kita hari-hari ini. Saling
menjatuhkan, mencari kelemahan, saling buka aib, dan saling serang semakin
membanjiri semua jejaring sosial dan media; cetak maupun elektronik. Rasanya
sulit memahami realitas yang sesungguhnya. Ini memang zaman di mana kompetisi
dan persaingan menguasai media begitu menentukan.
Melihat realitas yang semacam ini, rasanya penting untuk mencari
kejernihan. Jika hanya menurutkan emosi, tentu kita yang rugi. Yang kita
butuhkan sekarang ini adalah saling menghargai, menghormati, dan memposisikan
masing-masing secara objektif, rasional, dan empatik. Saling menjatuhkan bukan
sebuah pilihan bijak. Jika pun Anda mendukung calon tertentu, tidak perlu
dengan menjelekkan calon yang lainnya.
Mari berpikir jernih.
Apa yang akan diperoleh dari semua jenis pertengkaran ini? Apa relevansinya
bagi kemashlahatan bagi bangsa ini secara keseluruhan?
Tidak ada. Ya, jika
cara-cara tidak manusiawi semacam ini yang terus dikembangkan, bangsa ini akan
bangkrut. Persatuan hanya akan sekadar mimpi. Kesatuan bangsa tidak mungkin ada
lagi. Indonesia pun sangat mungkin hanya tinggal imaji.
Tentu kita tidak
menginginkan hal yang semacam ini. Mari sekarang kita berpikir dengan hati dan
pikiran yang jernih agar bisa terwujud harmoni.
Berkaitan dengan
harmoni, saya menemukan penjelasan yang sangat menarik dari Prof. Dr. M.
Quraish Shihab. Lewat bukunya yang sangat menarik, Islam yang Saya Pahami:
Keragaman Itu Rahmat (2018: 267-268), pakar tafsir ini menulis bahwa
harmoni itu tidak akan datang dengan sendirinya. Harmoni harus diperjuangkan. Usaha
mewujudkan harmoni bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya dengan
menerapkan keadilan dalam seluruh dimensi kehidupan, termasuk terhadap mereka
yang telah berlaku jahil.
Memang tidak mudah
dalam menjalankannya. Berlaku adil sendiri membutuhkan perjuangan untuk
mewujudkannya. Persoalan tentu kian rumit manakala harus menerapkan sikap adil,
termasuk terhadap mereka yang jahil. Tetapi itu harus diperjuangkan. Menurut M.
Quraish Shihab, itu dilakukan dengan tujuan yang mulia, yaitu mencegah
timbulnya kejahilan yang lebih besar. Seiring perjalanan waktu, pelaku jahil
diharapkan juga berubah pikirannya. Model semacam ini disebut M. Quraish Shihab
sebagai “damai dalam bentuk pasif”.
Sedangkan damai dalam
bentuk aktif dilakukan melalui partisipasi aktif terhadap berbagai bentuk
kegiatan. Misalnya dengan memberikan bantuan, saling bertukar bantuan,
mengapresiasi orang lain, ikut berbela sungkawan, dan sejenisnya. Jika ini
dilakukan maka inilah yang oleh M. Quraish Shihab disebut dengan “damai
dalam bentuk aktif”.
Damai—baik aktif
maupun pasif—harus terus diperjuangkan. Ini merupakan salah satu strategi untuk
tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia merupakan sebuah negara dengan
tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi. Prof. Dr. Faisal Ismail dalam buku
karyanya, Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia, (2017: 10-11)
menyatakan bahwa heterogenitas Indonesia tertinggi di dunia. Indonesia memiliki
begitu banyak tradisi, kesenian, kultur, bahasa, dan kelompok etnis. Justru karena
itulah maka tantangan menjaga persatuan dan kesatuan menjadi sangat besar.
Berkaitan dengan ini,
saya menemukan nasihat menarik
dari K.H. Mustofa Bisri. Beliau mengatakan, ”Persaingan untuk mendapatkan kemuliaan seharusnya
dengan beradu kemuliaan. PENYANJUNGmu suatu saat bisa menjadi PEMAKImu.
Demikian juga sebaliknya. Maka jangan berlebihan menyanjung atau memaki”.
Nasihat ini terasa tepat untuk disuarakan sekarang ini. Mari
kita jaga persatuan dan kesatuan. Perbedaan itu biasa saja. Jangan diperuncing.
Tidak ada manfaatnya. Mari bersama hidup dengan harmonis.
Tulungagung, 8
November 2018
Tidak ada komentar: