Potret Studi Agama di Indonesia
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama Dari
Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015)
Buku tebal karya Dr.
Media Zainul Bahri ini sesungguhnya sudah cukup lama saya miliki. Catatan
tangan saya di buku menunjuk medio Maret 2016. Namun buku ini teronggok begitu
saja di tumpukan karena memang belum mendapatkan kesempatan untuk dibaca.
Barulah pada 6 November 2018 buku ini mulai saya buka, saya cicipi, saya kaji,
saya telusuri, dan saya baca bagian demi bagian.
Luar biasa. Sungguh,
ini buku yang sangat bergizi. Ada begitu banyak informasi, pengetahuan, dan
hal-hal baru yang dihadirkan. Dr. Media memang sangat serius menyusun buku ini.
Maklum, di bagian “Ucapan Terima Kasih”, ia menulis bahwa buku ini berasal dari
riset postdoktoral yang dilakukan di Universitas Köln Jerman selama 22 bulan.
Wajar jika buku ini sangat berbobot.
Buku yang terdiri dari
tujuh bab ini menyajikan banyak hal yang sarat informasi. Ada begitu banyak
wawasan yang saya peroleh setelah membaca buku ini.
Bagian yang menurut
saya sangat menarik adalah bab 3, “Teosofi: Pengertian dan Tujuan”. Teosofi
selama ini cenderung saya pahami hanya dalam konteks yang sangat terbatas.
Paparan Dr. Media memberikan saya pengetahuan yang cukup menarik dan
komprehensif. Saya menjadi tahu bagaimana sebuah kelompok bisa hadir,
memberikan kontribusi, dan mewarnai dinamika sejarah bangsa ini.
Tidak pernah
terbayangkan dalam benak saya jika pada awal abad ke-20 sudah ada kelompok
intelektual yang cukup progresif. Mereka tergabung dalam Masyarakat Teosofi
Indonesia (MTI). Kelompok ini, berdasarkan riset serius Dr. Media, telah
memberikan kontribusi pemikiran dan gerakan agar perbedaan tidak lagi
dipertentangkan. Substansi kehidupan adalah bagaimana membangun harmoni di
antara perbedaan yang ada.
Dr. Media menyebut
bahwa awal abad ke-20, yakni mulai tahun 1901, MTI mulai tumbuh dan berkembang
di Indonesia. Jumlah anggotanya semakin banyak. Masa keemasan MTI terjadi
antara tahun 1910-1930. Selama masa ini, buku-buku diterbitkan, berbagai usaha
dilakukan, dan berbagai saya organisasi dibuat (h. 89). Jumlah anggota terbanyak
berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (h. 91). Dan, ini yang mengejutkan
saya, ternyata H. Agus Salim adalah seorang anggota MTI (h. 93).
MTI adalah potret
pluralisme yang sesungguhnya. Mereka tidak hanya menggagas dalam perbincangan,
tetapi juga menuliskannya secara konsisten. Dokumen-dokumen mereka dianalisis
secara kritis oleh Dr. Media. Jauh sebelum pluralisme menjadi bahan
perbincangan seperti sekarang ini ternyata MTI di awal abad ke-20 sudah
mendengungkannya. Tentu ini merupakan fenomena sejarah yang sangat penting
ditinjau dari konteks Indonesia kontemporer.
Aspek lain yang cukup
menarik adalah pendekatan yang digunakan MTI. Ternyata mereka menggunakan
perenialisme. Saya cukup akrab dengan filsafat perenial karena memang pernah
melakukan penelitian secara khusus. Lewat buku ini saya mendapatkan perspektif
baru yang lebih kaya tentang filsafat perenial.
MTI tidak berkembang
karena berbagai faktor. Sayang tidak ada penjelasan tentang perkembangan MTI
ini lebih lanjut. Asumsi saya, tidak mungkin sebuah organisasi dan pemikiran
hilang begitu saja. Mungkin saja ada jejak-jejak sejarah yang bisa dilacak.
Tetapi memang menelusurinya bukan pekerjaan yang mudah. Saya kira Dr. Media
sudah bekerja luar biasa dalam menjelaskan fenomena MTI dalam jejak sejarahnya
di Indonesia.
Paparan Dr. Media
tentang dua intelektual—Mahmud Yunus dan Haji Zainal Arifin Abbas—yang mulai
memperkenalkan studi agama sungguh merupakan informasi yang—buat saya—sangat
berharga. Jejak pemikiran kedua intelektual menandai babak baru studi agama di
Indonesia. Lewat kedua intelektual tersebut, studi agama menemukan
perkembangnnya yang penting.
Seorang tokoh penting
Studi Agama di Indonesia adalah Prof. Dr. A. Mukti Ali. Beliau bisa disebut
sebagai “Bapak Perbandingan Agama Indonesia”. Selain memberikan catatan kritis,
Dr. Media juga memposisikan Mantan Menteri Agama tersebut secara objektif.
Secara jujur beliau mengakui bahwa Mukti Ali adalah sarjana istimewa yang
menorehkan pengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia.
Pembelaan Media
terlihat di banyak halaman buku ini. Di halaman 312-314, Media menulis bahwa
pandangan kesarjanaan dan keislaman Mukti Ali mendapatkan kritikan banyak ahli.
Boland menilai bahwa Mukti Ali kurang tepat jika disebut sebagai sarjana
Perbandingan Agama. Boland menyebut bahwa sebutan yang tepat untuk Mukti Ali
adalah sebagai “Teolog Muslim tentang agama-agama” (Muslim theology of
religions). Steenbrink menyebutnya sebagai designer of Muslim Theology
of Religion. Buku Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan
tentang Methodos dan Sistima (1965) dinilai Boland bukan karya
“Perbandingan Agama”, melainkan karya “teologi agama-agama”. Steenbrink juga
menilai bahwa Mukti Ali tidak pernah melakukan penelitian “mendalam” tentang
agama-agama lain. Menurut Media, kita harus melihat Mukti Ali dan karyanya
dalam konteks sosio-keagamaan saat itu. Ia berjuang keras “melahirkan” ilmu
baru di tengah kondisi sosial kemasyarakatan yang cenderung eksklusif.
Menawarkan sesuatu yang—Media menyebutnya sebagai--“ekstra ilmiah” jelas bukan
hal mudah. Karena itu usaha beliau seharusnya dihargai secara proporsional (h.
312-314).
Jika dicermati, sosok
Mukti Ali memang mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas. Saya kira itu
wajar karena Mukti Ali adalah sosok penting yang menandai perkembangan
Perbandingan Agama di Indonesia. Gagasan, pemikiran, dan kebijakannya
mempengaruhi terhadap wajah PA sekarang ini. Tidak hanya itu. Kehidupan
keagamaan di Indonesia hari ini pun sesungguhnya juga mendapatkan pengaruh dari
Mukti Ali.
Bisa dibilang buku ini
cukup komprehensif karena membaca sejarah perkembangan Perbandingan Agama di
Indonesia sejak awal sampai tahun 2014.
Pembaca sekalian bisa menemukan bagaimana dinamika, perkembangan, pertumbuhan,
dan perubahan yang berlangsung sedemikian dinamis. Membaca keseluruhan isi buku
ini memberikan informasi dan pengetahuan yang luas tentang bagaimana dinamika
sebuah ilmu: Perbandingan Agama.
Tulungagung,
21-11-2018
Tidak ada komentar: