Guru Menulis Buku

Maret 16, 2019

Ngainun Naim

Spirit literasi guru-guru kita semakin hari semakin menggembirakan. Sejauh yang saya amati, semakin banyak saja guru yang menulis dan menerbitkan buku. Tentu saja ini fenomena positif yang menggembirakan. Jika spirit ini terus dijaga dan dikelola secara baik, saya yakin ke depan, guru yang mau dan mampu bergelut dengan dunia literasi bukan lagi barang langka yang sulit dicari.
Guru yang menekuni dunia literasi jelas berbeda dengan yang tidak menekuni. Guru pegiat literasi jelas memiliki pengetahuan yang lebih luas. Mereka juga memiliki tulisan yang bisa dibaca oleh masyarakat luas. Hal ini menunjukkan bahwa guru pegiat literasi itu memiliki peluang yang jauh lebih luas untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya dibandingkan dengan guru yang tidak menekuni dunia literasi.
Saya menemukan kisah heroik seorang guru di Jember dalam menulis. Kisah ini saya temukan di laman facebook. Guru tersebut menulis panjang lebar statusnya dalam bahasa Jawa. Saya membaca secara cermat kata demi kata. Maklum, bahasa Jawa saya—meskipun pernah menulis artikel dan cerita berbahasa Jawa—kurang menggembirakan. Jadi saya harus membacanya secara pelan-pelan agar bisa menangkap isi dan makna tulisannya.
Guru tersebut kini telah menerbitkan beberapa judul buku. Buku yang awalnya berasal dari kumpulan cerita pendek karya beliau yang dimuat di majalah berbahasa Jawa. Juga ada buku dongeng berbahasa Indonesia. Sungguh saya sangat senang menemukan kisah yang penuh semangat semacam itu.
Saya juga mengenal seorang guru yang telah menulis beberapa buah buku. Buku-buku beliau cukup inspiratif. Banyak ilmu dan perspektif mencerahkan yang beliau tawarkan di buku-buku yang ditulisnya.
Guru-guru yang menulis dan menerbitkan buku semakin hari semakin banyak. Seorang kolega dari Mojokerto, Akhid Afnan, S.Ag., M.Pd. juga baru saja menerbitkan buku karyanya. Judul bukunya Madrasah Inovatif. Buku ini kebetulan diterbitkan oleh Akademia Pustaka, sebuah penerbitan indie yang kebetulan dikelola oleh anak-anak muda yang saya bina. Tentu, saya ikut berbahagia atas terbitnya buku kolega yang kini menjadi guru MI di Mojokerto tersebut.

Terbitnya buku ini melalui proses yang cukup panjang. Awalnya hanya diskusi via WA. Saat saya mengisi acara di Mojokerto, Akhid Afnan datang bersama istrinya. Mereka berdua yang sesama penulis itu mengajak berdiskusi untuk mematangkan proses penerbitan. Buku tersebut akhirnya betul-betul terbit di minggu kedua Februari 2019 ini.
Bersamaan dengan terbitnya buku Akhid Afnan adalah buku antologi karya para guru dari LPI Al Irsyad Tulungagung. Judulnya Pelangi Hati Sang Pejuang Pengabdian. Buku ini melalui proses yang jauh lebih panjang lagi. Awalnya adalah pelatihan menulis yang diselenggarakan pada tahun 2017. Kebetulan saya diminta menjadi mentornya. Hasil dari pelatihan ini adalah kesepakatan untuk membukukan tugas mereka.
Butuh beberapa waktu sampai tugas betul-betul terkumpul. Setelah itu saya mengedit sekian puluh tulisan yang ada di dalamnya. Saya juga membuatkan kata pengantar untuk buku bersama ini. Rasanya lega sekali ketika buku ini akhirnya betul-betul terbit.

Membaca, menulis, dan menerbitkan karya tulis sesungguhnya merupakan rangkaian kerja yang cukup panjang. Tidak ada kata instan di dalamnya. Instan tampaknya kata yang lebih lekat untuk mie atau kopi, tapi tidak dengan literasi. Semuanya membutuhkan proses dan kesabaran dalam menjalaninya.
Kita selayaknya belajar kepada para pegiat literasi negeri ini. Salah satu yang bisa saya sebuat adalah Myra Sidharta. Myra Sidharta, seorang kolomnis terkenal Indonesia dalam buku yang diedit oleh St. Sularto, Guru-Guru Keluhuran Zaman, Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, (Jakarta: Kompas, 2010) menyatakan bahwa menulis itu membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Namun demikian, ternyata basis kepenulisannya dia ada dua, yaitu tradisi membaca yang disemai sejak belia dan mimpi besar. Tanpa membaca dan mimpi besar, ia sulit membayangkan apa yang akan terjadi dalam perjalanan kehidupannya kelak.
Perjalanan menulisnya ternyata tidak lancar, bahkan ketika ia sendiri sudah menjadi seorang peneliti yang cuku disegani. Saat menulis esai untuk sebuah media, tulisan itu ditolak. Bahkan redaksinya menyebut jika tulisan tersebut jelek.
Tetapi Myra Sidharta tidak putus asa. Penolakan itu, meski menyakitkan, justru menjadi titik pijak bagi usahanya untuk serius membuat esai. Usahanya berhasil. Jika sebelumnya artikelnya banyak ditolak, berikutnya justru banyak media yang memintanya untuk menulis esai. Jadi, kerja kerasnya berbuah manis. Penolakan yang disikapi secara positif dan perbaikan pada akhirnya berbuah penerimaan, bahkan dari pihak yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Coba simak pernyataannya berikut ini. “Saya tidak mau menyerah dan terus menulis, sampai dapat diterima di majalah. Setelah itu saya sering mendapat permintaan untuk menulis kolom di surat kabar dan majalah, dan tiba-tiba saya dapat menamakan diri saya sebagai penulis, atau paling tidak sebagai columnist (h. 174).
Myra Sidharta telah memberikan pelajaran yang sangat penting kepada kita, yakni pentingnya proses dalam membangun budaya menulis. Tidak ada yang instan dalam membangun kultur menulis. Justru substansi menulis itu, menurut saya, terletak pada bagaimana kita menjalani proses secara baik. Kesadaran ini saya kira penting untuk ditanamkan agar kita tidak terjebak pada cara-cara yang kurang elok.
Para guru yang kini semakin banyak menulis buku harus kita apresiasi secara positif. Prestasi mereka menjadi model yang dapat didesiminasi secara luas. Harapannya, semakin banyak guru yang rajin menulis—apa pun bentuk tulisannya—akan berkontribusi bagi kemajuan kehidupan secara luas.

Trenggalek—Tulungagung, awal Maret 2019

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.