Guru Menulis Buku
Ngainun Naim
Spirit literasi
guru-guru kita semakin hari semakin menggembirakan. Sejauh yang saya amati, semakin
banyak saja guru yang menulis dan menerbitkan buku. Tentu saja ini fenomena
positif yang menggembirakan. Jika spirit ini terus dijaga dan dikelola secara
baik, saya yakin ke depan, guru yang mau dan mampu bergelut dengan dunia
literasi bukan lagi barang langka yang sulit dicari.
Guru yang menekuni
dunia literasi jelas berbeda dengan yang tidak menekuni. Guru pegiat literasi jelas
memiliki pengetahuan yang lebih luas. Mereka juga memiliki tulisan yang bisa
dibaca oleh masyarakat luas. Hal ini menunjukkan bahwa guru pegiat literasi itu
memiliki peluang yang jauh lebih luas untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya dibandingkan
dengan guru yang tidak menekuni dunia literasi.
Saya menemukan kisah
heroik seorang guru di Jember dalam menulis. Kisah ini saya temukan di laman facebook.
Guru tersebut menulis panjang lebar statusnya dalam bahasa Jawa. Saya membaca
secara cermat kata demi kata. Maklum, bahasa Jawa saya—meskipun pernah menulis
artikel dan cerita berbahasa Jawa—kurang menggembirakan. Jadi saya harus
membacanya secara pelan-pelan agar bisa menangkap isi dan makna tulisannya.
Guru tersebut kini
telah menerbitkan beberapa judul buku. Buku yang awalnya berasal dari kumpulan
cerita pendek karya beliau yang dimuat di majalah berbahasa Jawa. Juga ada buku
dongeng berbahasa Indonesia. Sungguh saya sangat senang menemukan kisah yang
penuh semangat semacam itu.
Saya juga mengenal
seorang guru yang telah menulis beberapa buah buku. Buku-buku beliau cukup
inspiratif. Banyak ilmu dan perspektif mencerahkan yang beliau tawarkan di
buku-buku yang ditulisnya.
Guru-guru yang menulis
dan menerbitkan buku semakin hari semakin banyak. Seorang kolega dari Mojokerto,
Akhid Afnan, S.Ag., M.Pd. juga baru saja menerbitkan buku karyanya. Judul
bukunya Madrasah Inovatif. Buku ini kebetulan diterbitkan oleh Akademia
Pustaka, sebuah penerbitan indie yang kebetulan dikelola oleh anak-anak muda
yang saya bina. Tentu, saya ikut berbahagia atas terbitnya buku kolega yang
kini menjadi guru MI di Mojokerto tersebut.
Terbitnya buku ini
melalui proses yang cukup panjang. Awalnya hanya diskusi via WA. Saat saya
mengisi acara di Mojokerto, Akhid Afnan datang bersama istrinya. Mereka berdua
yang sesama penulis itu mengajak berdiskusi untuk mematangkan proses
penerbitan. Buku tersebut akhirnya betul-betul terbit di minggu kedua Februari
2019 ini.
Bersamaan dengan
terbitnya buku Akhid Afnan adalah buku antologi karya para guru dari LPI Al
Irsyad Tulungagung. Judulnya Pelangi Hati Sang Pejuang Pengabdian. Buku
ini melalui proses yang jauh lebih panjang lagi. Awalnya adalah pelatihan
menulis yang diselenggarakan pada tahun 2017. Kebetulan saya diminta menjadi
mentornya. Hasil dari pelatihan ini adalah kesepakatan untuk membukukan tugas
mereka.
Butuh beberapa waktu
sampai tugas betul-betul terkumpul. Setelah itu saya mengedit sekian puluh
tulisan yang ada di dalamnya. Saya juga membuatkan kata pengantar untuk buku
bersama ini. Rasanya lega sekali ketika buku ini akhirnya betul-betul terbit.
Membaca, menulis, dan
menerbitkan karya tulis sesungguhnya merupakan rangkaian kerja yang cukup
panjang. Tidak ada kata instan di dalamnya. Instan tampaknya kata yang lebih
lekat untuk mie atau kopi, tapi tidak dengan literasi. Semuanya membutuhkan
proses dan kesabaran dalam menjalaninya.
Kita selayaknya
belajar kepada para pegiat literasi negeri ini. Salah satu yang bisa saya
sebuat adalah Myra Sidharta. Myra Sidharta, seorang kolomnis terkenal Indonesia
dalam buku yang diedit oleh St. Sularto, Guru-Guru Keluhuran Zaman, Rekaman
Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman, (Jakarta: Kompas, 2010) menyatakan bahwa
menulis itu membutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Namun demikian, ternyata
basis kepenulisannya dia ada dua, yaitu tradisi membaca yang disemai sejak
belia dan mimpi besar. Tanpa membaca dan mimpi besar, ia sulit membayangkan apa
yang akan terjadi dalam perjalanan kehidupannya kelak.
Perjalanan menulisnya
ternyata tidak lancar, bahkan ketika ia sendiri sudah menjadi seorang peneliti
yang cuku disegani. Saat menulis esai untuk sebuah media, tulisan itu ditolak.
Bahkan redaksinya menyebut jika tulisan tersebut jelek.
Tetapi Myra Sidharta
tidak putus asa. Penolakan itu, meski menyakitkan, justru menjadi titik pijak
bagi usahanya untuk serius membuat esai. Usahanya berhasil. Jika sebelumnya
artikelnya banyak ditolak, berikutnya justru banyak media yang memintanya untuk
menulis esai. Jadi, kerja kerasnya berbuah manis. Penolakan yang disikapi
secara positif dan perbaikan pada akhirnya berbuah penerimaan, bahkan dari
pihak yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Coba simak
pernyataannya berikut ini. “Saya tidak mau menyerah dan terus menulis, sampai
dapat diterima di majalah. Setelah itu saya sering mendapat permintaan untuk
menulis kolom di surat kabar dan majalah, dan tiba-tiba saya dapat menamakan
diri saya sebagai penulis, atau paling tidak sebagai columnist” (h.
174).
Myra Sidharta telah
memberikan pelajaran yang sangat penting kepada kita, yakni pentingnya proses
dalam membangun budaya menulis. Tidak ada yang instan dalam membangun kultur
menulis. Justru substansi menulis itu, menurut saya, terletak pada bagaimana
kita menjalani proses secara baik. Kesadaran ini saya kira penting untuk
ditanamkan agar kita tidak terjebak pada cara-cara yang kurang elok.
Para guru yang kini
semakin banyak menulis buku harus kita apresiasi secara positif. Prestasi
mereka menjadi model yang dapat didesiminasi secara luas. Harapannya, semakin
banyak guru yang rajin menulis—apa pun bentuk tulisannya—akan berkontribusi
bagi kemajuan kehidupan secara luas.
Trenggalek—Tulungagung, awal Maret 2019
Tidak ada komentar: